Minggu, 05 Februari 2017

Kumpulan Cerpen Bagian 3



RUANGAN ITU
Hari ini tidak seperti hari-hari biasanya, semua siswa ketakutan setelah mengalami insiden itu. Temanku yang memasuki ruangan itu meninggal, temanku yang bernama Chanzeol biasa kupanggil chan-chan, dia suka sekali menerima tantangan karena dia tidak takut pada siapapun kecuali kepada Allah swt. Pada hari itu dia dengar bahwa di sebelah kelas kami itu ada ruangan yang angker. Temanku yang bernama Zahra dia perempuan yang duduk di belakangku, menceritakan kronologis tentang ruang sebelah kelas kami. Tapi chan-chan malah tidak percaya sampai Zahra kesal padanya, saking kesalnya chan-chan ditantang Zahra untuk memasuki ruang itu pada malam hari.
“Aku terima tantanganmu, tidak ada yang begituan.” kata chan-chan angkuh.
“Tapi chan, kamu yakin?” tanyaku khawatir.
“Tidak apa.” ucapnya.
“Aku temani ya!” aku memohon karena chan-chan sahabatku.
“Boleh tapi kamu jangan takut!”
“Ya.”
Sepulang sekolah aku merebahkan diri ke kasur karena lelah. Kupikir-pikir nanti bagaimana ya jika aku dan chan-chan jadi merinding. Kata Zahra dahulu ada seorang siswa di sekolahku yang selalu dibully lalu dia ke ruangan tersebut entah apa yang dilakukan. Saat di toilet teman yang ngebullynya datang dan membunuh wanita tersebut. Lalu mayatnya dibuang ke ruangan tersebut. Setelah beberapa hari kemudian saat Raisa (anak yang bunuh Sita) memasuki ruangan itu untuk mengambil barang, dia dibunuh Sita seketika. Setelah kejadian tersebut ruangan itu pun ditutup.
Aku pun mengemasi barang untuk menyelidiki ruangan itu bersama chan-chan. Saat malam tiba aku dan chan-chan bertemu di depan sekolah. Pertama aku mengawasi pak penjaga agar tidak melihat saat kami masuk, dan chan-chan mencari jalan untuk memasuki sekolah. Setelah kami masuk, kami pun memasuki ruangan itu. Tetapi terkunci, kami melihat jendela yang terbuka kami pun masuk lewat jendela.
Aku dan chan-chan melihat seseorang di sudut pojok ruangan itu, lalu aku mendekati seseorang itu. Aku pun bertanya kepadanya.
“Sipa kau? aku tidak pernah melihatmu di sekolah ini dan kenapa kamu malam-malam di sini.”
Dan dia hanya diam.
“Hei jawablah aku.”
Lalu seseorang itu menjawab dengan sura menakutkan.
“Aku Sita.”
“Sita, kamu yang meninggal di ruangan ini.”
“Aku masih ingin balas dendam. Kamu akan menjadi korbanku selanjutnya.”
Aku pun memberhentikannya.
“Tunggu Sita, yang membunuhmu sudah meninggal dan balas dendam itu dosa Sita, Ibumu bunuh diri karena kamu meninggal kan. Apa kamu ingin ibumu tersiksa?” kataku
“Aku tahu kamu sakit hati, tapi kenapa kamu harus membunuh orang yang tidak bersalah. Kasihan ibumu Sita, biarkan ibumu tenang.”
Lalu Sita pun berkata.
“Benar kata kalian. maafkan aku, aku minta tolong. Kuburkanlah jasadku yang ada di sudut ruangan ini yang tertutup kain putih.”
Lalu Sita pun menghilang. Dan chan-chan menemukannya.
“Mari kita kuburkan jasad ini.” kataku
“Kita harus berkata pada pak penjaga.” kata chan
Kami pun mencari pak penjaga, pak penjaga pun datang.
“Anak-anak kenapa kalian ada di sini malam-malam begini.”
“Pak kami menemukan jasad Sita di ruangan itu.” kataku memberitahu.
“Ya sudah mari kita kuburkan bersama.”
Sejak saat itu Sita tidak mengganggu di sekolah ini lagi. Dia pasti sudah bahagia.
TAMAT










 

MBAH LANANG

Senja menyapa malu-malu di balik sang mega. Pekatnya jadi penghalang senyum perpisahan. Terang mengintip samar. Salam perpisahan terucap semburat jingga. Selamat sore!!
Dimana ada api, disitulah akan timbul asap. Dimana ada hujan, setelahnya akan ada teduh. Begitulah alam berjalan beriring berpasang. Tiada yang benar-benar sendiri.
Hujan turun dengan derasnya ketika bedug di langgar Mbah Lanang ditabuh, pertanda masuk waktu maghrib. Guntur bersaing memekakkan telinga. Suara bedug kini hampir tak terdengar. Tersamar derasnya pasukan langit yang turun ke bumi.

Mbah Lanang telah selesai menabuh bedug. Dengan segera, ia kumandangkan adzan. Seruan pada manusia yang masih ingat akan Tuhannya. Panggilan mulia tuk segera mendirikan tiang agama.
Allahu akbar Allahu akbar…
Allahu akbar Allahu akbar…
Asyhadu allaa ilaahaillallah…
Asyhadu allaa ilaahaillallah…
Asyhadu anna muhammadar rasululllah…
Asyhadu anna muhammadar rasululllah…
Hayya ‘alassholah…
Hayya ‘alassholah…
Hayya ‘alal falah…
Hayya ‘alal falah…
Allahu akbar Allahu akbar…
Laa ilaaha illallah…
(laa ilaaha illallah…)

Hati Mbah Lanang gerimis, menyadari betapa mulia panggilan Allah.
Do’a setelah adzan ia lantunkan dengan penuh harap dan syukur. Bersyukur karena hingga detik itu ia masih dapat menghela nafas. Shalawat serta puji-pujian pada Allah dan Rasulullah ia senandungkan di microphone. Pengeras suara itulah yang menjadi salah satu teman harian Mbah Lanang. Dengan sabar menunggu jama’ah yang akan shalat maghrib di langgar.

Hujan di luar semakin deras. Kilat menyeruak menimbulkan cahaya terang di dalam langgar. Beberapa kali Mbah Lanang beristighfar. Sesekali mengarahkan pandangan pada jalan di depan langgar. Sepi. Yang ada hanyalah genangan air yang makin meninggi di depan langgar.
Lima menit berlalu. Mbah Lanang berdiri dan siap mengumandangkan iqamah. Tiba-tiba…
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah…”
Mbah Lanang tersenyum menyambut siapa yang datang. Ia serahkan microphone kepada si pendatang. Shalat jama’ah didirikan.
“Allahu akbar…”
Mula-mula Mbah Lanang memulai dengan surah Al Fatihah. Kemudian dilanjutkan membaca surah Al Insyirah. Ia begitu menghayati setiap makna yang terkandung pada surah yang ia baca.
Meski berusia senja, namun bacaan Mbah Lanang masih jelas serta tartil. Membuat siapa saja akan merasa tenang dan hanyut dalam bacaan Mbah Lanang. Selesai shalat, dan berdzikir, ia masih sempat nderes Al Qur’an disimak oleh Ihya’, cucunya.

Langgar itu sebenarnya bernama mushola Al Ikhlas dan Mbah Lanang yang didaulat sebagai imam sekaligus penjaga mushola. Sehari-hari Mbah Lanang tinggal di sebuah kamar kecil di samping mushola. Selain menjaga dan membersihkan mushola, ia juga punya sepetak sawah yang ia tanami sayuran. Jadilah ia terkenal sebagai Mbah Lanang penjaga langgar sekaligus petani sayur. Mushola itu pun lebih dikenal dengan sebutan langgar Mbah Lanang daripada mushola Al Ikhlas.
Ihya’, merupakan cucu dari adiknya dan telah ia anggap sebagai cucunya sendiri. Ia tinggal tak jauh dari langgar. Ihya’-lah salah satu anak yang paling aktif untuk shalat berjama’ah di langgar itu. Meski masih duduk di kelas enam SD, ia sudah cukup paham akan kewajibannya sebagai seorang muslim. Berkat seringnya berjama’ah dengan Mbah Lanang pula, pengetahuan agamanya menjadi lebih luas dibanding teman-teman seusianya.
Selesai nderes, mereka biasa untuk berdiskusi dan terkadang ngopi bersama.
“Orang Le, kalau punya rumah, lebih enak yang dekat kuburan.”
“Kenapa , Mbah?”
“Lha iya, tiap hari lihat kuburan jadi ingat mati. Jadilah tiap saat istighfar.”
“Oh, gitu ya, Mbah. Berarti ada juga rumah yang paling gak enak dong Mbah?”
“Iya ada.”
“Yang dimana, Mbah?” Ihya’ begitu penasaran. Topik diskusi bersama Mbah Lanang selalu memantik keingintahuannya.
“Yang dekat masjid atau langgar.”
“Lho? Kok bisa, Mbah? Bukannya lebih enak kalau deket masjid atau langgar. Kan enak tiap shalat bisa jama’ah.”
Mbah Lanang terkekeh.
“Lha itu menurutmu, Le. Ya memang benar, shalat jama’ah jadi mudah dilaksanakan. Tapi, kalau kamu malas dan tidak melaksanakan shalat berjama’ah disana, kamu termasuk orang-orang yang mendapat peringatan dari Rasulullah.”
Ihya’ melongo. Remaja tanggung itu belum benar-benar memahami apa yang sedang ia dengarkan. Mbah Lanang hanya terkekeh melihat ekspresi bingung dari cucunya.
“Lha iya, kata Rasulullah, tidak sempurna shalat orang yang tempat tinggalnya dekat dengan masjid, tapi dia shalat di rumah dan tidak shalat berjama’ah di masjid.”

Hujan reda setelah hampir satu jam mengguyur. Tepat setelah Mbah Lanang dan Ihya’ selesai berjama’ah shalat isya’.
“Le, hati-hati. Jalan pelan-pelan, awas licin.”
“Iya, Mbah. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam warahmatullah…”
Mbah Lanang melepas Ihya’ hingga ke serambi. Kembali ia arahkan pandangannya pada rumah-rumah yang berdiri berjejal di sekitar langgar.

“Dulu, sekitar sini masih sepi. Hampir semuanya masih sawah. Rumah penduduk masih jauh-jauh jaraknya dan penduduknya juga masih sedikit. Meskipun begitu, dulu warga begitu rajin pergi ke langgar. Jama’ah shalat, mengaji, mengembangkan keilmuan dan keagamaan. Langgar ini dulu menjadi salah satu madrasah dan tonggak perkembangan umat. Sekarang penduduk banyak, rumah-rumah begitu dekat jaraknya, tapi kenapa langgar ini malah makin kosong?”

“Pak, anakmu tiap hari bergaulnya sama Mbah Lanang. Nanti lama-lama dia bisa jadi tua kayak Mbah.” Ibu Aisyah berbicara dengan kesal karena kelakuan Ihya’ yang tiap kali mendengar bedug ditabuh segera berlari menuju langgar. Meninggalkan segala pekerjaan yang tengah dibebankan padanya.
Seperti sore itu, hujan deras mengguyur dan Ihya’ diminta sang ibu membantu bapaknya membetulkan genting rumah yang sedikit bergeser. Begitu mendengar Mbah Lanang menabuh bedug, ia segera melesat ke sumur, mengambil wudhu, meraih sarung dan kopiah. Meski ditahan untuk membantu, tapi sebentar kemudian Ihya’ telah menyambar payung dan melangkah keluar.
“Nanti Ihya’ bantu lagi, shalat berjama’ah itu penting, Buk.” Begitu jawabnya tiap kali diomeli habis-habisan oleh sang ibu. Bapaknya pun sama sekali tidak menahan Ihya’ untuk terus membantunya.
Mendengar keluhan dengan nada mencibir terhadap Mbah Lanang itu, Pak Hamid hanya diam saja. Percuma meladeni istrinya yang memang sedang kesal dengan Ihya’ juga Mbah Lanang.

“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam. Udah selesai, Ya’?” tanya ibunya dengan sewot. Yang jadi obyek kemarahan hanya cengar-cengir.
Ihya’ mengalihkan pandangan pada bapaknya yang sedang sibuk membersihkan air yang masuk kedalam rumah dari genting yang bocor.
“Tuh bantuin bapak kamu, ibuk mau bikin adonan kue. Dari tadi nggak bisa kerja karena hujan. Genting bocor, lantai basah.” Omel ibunya sambil menyerahkan kain lap pel yang sejak tadi ia gunakan untuk mengeringkan lantai.
“Bukannya dari seminggu yang lalu, ibuk sendiri yang minta biar hujan? Ibuk juga yang paling rajin ikut shalat istisqo’ yang banyak dilaksanakan akhir-akhir ini. Lha sekarang, kenapa malah ibuk yang paling ngeluh? Ini hujan yang ibuk minta kemarin-kemarin itu lho, Buk. Masa nggak inget?” Dengan santai ia menyahut perkataan ibunya.
Bapaknya hanya nyengir mendengar Ihya’ memukul jatuh perkataan ibunya. Dengan manyun dan ngedumel ibunya beranjak ke dapur.
“Dasar temannya Mbah Lanang.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PEREMPUAN EMBUN PAGI

Senja yang indah di ufuk barat, berwarna merah dan semburat jingga disertai burung burung yang terbang kembali ke sarang setelah seharian mencari makan.
Aku duduk disini, di atas motorku memandangi luasnya lahan persawahan yang ditanami padi sudah mulai menguning dan juga memandangi karya sang Pencipta yang selalu membuat aku kagum atas cipataanNya, namun bukan itu saja, saat ini aku sedang memikirkan sesuatu ehh… seseorang lebih tepatnya, yaa.. dia adalah seorang gadis yang sejak SMK sudah membuat jantung ini bergedup lebih cepat seperti putaran mesin 1000 rpm. Entah apa yang membuatku begitu, aku tak tahu. Sekarang sudah sepuluh tahun setelah aku pergi meninggalkan tanah kelahiranku dan juga dia, mungkinkah sekarang dia masih mengingatku? bagaimana keadaan dia sekarang? Apakah dia masih menungguku? Pertanyaan itu selalu memenuhi otakku. Tiba tiba aku disadarkan dari lamunanku oleh bunyi ponselku…
“nak, kamu dimana? Cepat pulang, sudah mau maghrib.” Terlihat nama pengirimnya adalah Ibu. Segera saja kunyalakan motorku dan bergegas pulang ke rumah, dan benar saja suasana sudah mulai gelap, aku tidak menyadarinya karena terlalu sibuk dengan lamunanku.

Sesampainya di rumah, aku langsung saja bergegas menuju mushola yang terletak dekat rumahku untuk shalat berjamaah, sudah satu minggu aku berada di rumah dan selama itu pula ibuku selalu menanyakan pertanyaan yang sama setiap harinya. “kapan kamu mau nikah?” mendengarnya aku selalu mengingat dia, apakah dia sudah menikah? Apa dia mau menikah denganku? Huuhh… semakin menambah pusing kepalaku.
Namaku Muhammad rasyid. Seorang laki laki yang masih menyimpan perasaan yang sama untuk dia, yang masih mengharapkan dia, yang masih menginginkan dia, namanya adalah Annisa Fajria, perempuan embun pagi begitulah aku menyebutnya. Tatapan mata teduh yang sejuk bagai embun dipagi hari, wajah ayu Akhas Blora, tubuh mungil dengan kerudung panjangnya, selalu membuat aku senyum senyum sendiri bila mengingatnya. Asstaghfirullah… Kenapa aku membayangkanya?
Seusai melaksanakan shalat subuh, ternyata pagi ini embun pagi cukup banyak, dan aku ingat kepada dia lagi… hufftt. Pagi ini di rumahku ada tamu, dia adalah pamanku namanya pak dhe No, aku tak tahu apa maksud kedatanganya kemari.
“piye le? Sudah punya calon?” dengan logat khas Blora, pamanku membuka percakapan. (piye le artinya gimana nak)
“belum dhe, kalau ada yaa dicarikan dhe, siapa tahu cocok” balasku dengan sedikit nada bercanda.
“ada! anak perempuan tetangga pak dhe, belum menikah, kamu mau?”
Ternyata pamanku menanggapi serius, sesaat aku menoleh ibuku dan dibalas dengan senyum beserta anggukan.
“emm… boleh dhe,” balas singkatku
“kalau begitu lusa kamu datang ke rumah pak dhe, nanti tak ajak main ke rumahnya (anak perempuan itu)”.

Malam ini begitu indah, langit yang cerah dipenuhi milyaran bintang yang saling berlomba lomba menampakan sinarnya tetapi meraka tetap kalah dengan cahaya bulan purnama, walaupun hanya satu bulan, namun cahayanya sudah cukup menandingi bintang bintang itu. Aku kembali mengingat kata kataku kepada pak dhe tadi pagi, kenapa aku begitu mudah mengiyakan tawaran pak dhe? Padahal aku kan masih mengharapkan Annisa? Aahhhh… Aku marah pada diriku sendiri.
Hari ini aku ke rumah pak dhe No, setelah mendirikan shalat isya` tentunya. Dengan mengendarai motorku, aku masuk lorong yang menuju rumahnya, ke arah timur dari lorong rumahku tidak jauh memang. Aku dan pak dhe No mengobrol sebentar mengenai perempuan ini, dari keterangan pak dhe ternyata perempuan ini seorang akuntan dan saat ini sudah bekerja. Dia juga bercerita, teman temanya yang lain sudah menikah, hanya dia saja yang belum. Hanya kujawab perkataan pak dhe dengan anggukan pelan dan keragu raguan.
“ayo segera ke rumahnya, nanti kemalaman” ajaknya.
“nggeh dhe..” jawabku (iya)

Kami berjalan menuju rumahnya, tidak jauh dari rumah pak dhe karena memang tetanggaan. Sesampainya di rumahnya kami disambut oleh kedua orangtua perempuan ini. Aku tahu mereka orangtuanya karena sebelum memasuki rumah, pak dhe berbisik kepadaku.
Aku duduk di samping pak dhe, dan berhadapan dengan tuan rumah. Kami mengobrol sekedarnya dan bapak itu juga bebarapa kali bertanya kepadaku tentang berbagai macam hal, terlihat bapak itu tersenyum saat aku melontarkan jawaban atas pertanyaanya. Tiba tiba…
“assalamualaikum..” suara perempuan mengucapkan salam.
“waalaikumsalam…” kami serentak menjawab.
Semua melihat ke pintu tempat perempuan itu, tetapi aku hanya menunduk. Siapakah dia? Sebersit pertanyaan menyambar benakku.
“naahh… ini perkenalkan anak perempuan saya” ucap bapak itu kepadaku
“iyaa pak..” jawab singkatku sambil menunduk.

Tanganku disenggol oleh pamanku, aku mengerti maksudnya.
“ya sudahh.. kalian bicara disini yaa.. kami mau bicara di luar” ucapan ibu itu kepada kami berdua. (aku dan perempuan itu)
“nggeh” sahut kami hampir bersamaan.

Beberapa menit kami saling diam, sehingga menimbulkan suara binatang malam semakin terdengar jelas di telingaku. Suasana dingin sampai aku membuka percakapan.
“apa kabar?” ucapku pelan.
“sampai segitu kakunya, kamu nggak ingat aku?”
Mendengar kata kata itu, aku langsung melihat wajah perempuan berjilbab panjang di depanku, dia tersenyum begitu manisnya hingga membuat jantungku ini bergedup seperti putaran mesin 1000 rpm.
“masyaallah… Aku benar benar tak percaya ini.”
“ini kenyataan kok, kamu tidak bermimpi” kata perempuan itu meyakinkanku.
“apakah kamu tahu kenapa aku disini?” Tanyaku.
“emm.. jadi kapan kamu bawa rombongan keluargamu kesini?”
“haahh… kamu sudah menerimaku?”
Tidak ada jawaban dari perempuan di depanku, perempuan embun pagi, Annisa Fajria. Hanya tatapan teduh nan sejuk dari matanya lantas tersenyum lalu disertai anggukan kecil.

1 Bulan kemudian
Suasana begitu ramai di rumah calon istriku, kerabat dari kedua keluarga sudah berdatangan memenuhi undangan yang kami kirim, raut muka bahagia terlukis pada semua yang hadir, tetapi tidak denganku, aku sangat gugup menghadapi ini, walaupun aku sudah hafal lafal yang harus aku ucapakan tetapi entah mengapa aku begitu gugup. Tiba tiba perempuan di sampingku menyentuh lenganku, seketika aku menoleh ke arahnya.
“Aku yakin kamu bisa…” dengan senyum manisnya.
Aku tidak menjawab, tetapi ada rasa yakin luar biasa memenuhi dadaku. Tangan bapak dari perempuan di sampingku menjabat erat tanganku dan ijab qobul dimulai.
Setelah itu aku menjawab, ku dekatkan mikrofon ke mulutku, ku ucapkan dengan yakin “qobiltu nikaha…”
Sah! Alhamdulilah…

NOSTALGIA
Langit kuning kemerah-merahan, di ujung sana tampak setengah lingkaran matahari, cahayanya mulai meredup, teduh, terbias di permukaan danau yang terbentang luas. Angin nan dingin menyelimuti daerah puncak. Di dekat tepi danau terlihat seorang pria berbalut sweater abu-abu tebal tengah duduk di atas hamparan rerumputan yang menghadap ke danau.
“Hai, selamat ya atas keterimanya kamu di perusahaan kami.” Kataku sambil ikut duduk di dekatnya, dan menyodorkan tangan kananku ke arahnya sembari tersenyum.
“Eh, kamu. Makasih ya.” Sambil menjabat tanganku dan membalas senyumanku.
“Sama-sama, lang. Memang, tradisi di perusahaan kami, setiap menerima anggota baru, kita mengadakan kegiatan outing seperti ini—seperti sekarang kita ini. Tujuannya sih untuk menyambut anggota baru, itu saja.” mata kami tidak saling bertemu, hanya memandang lurus ke depan.
“Hm… cukup unik.”
“He em. (mengangguk setuju) by the way, apa nih alasan kamu ingin bekerja disini?” aku memalingkan wajahku ke arahnya.
Hening sejenak
“Sebelumnya, kita belum pernah ngobrol bareng seperti ini. Dan belum pernah berkenalan. Namaku Gilang, dan kamu tahu itu. Nama kamu Citra dan aku tahu itu. Dan sekarang kita mengobrol seperti sudah pernah berkenalan sebelumnya. Unik.”
“Ya, kita sama-sama tahu dari orang lain —teman kita masing-masing. Ya sudah, anggap saja kita pernah berkenalan.”
Dia menundukkan kepalanya sambil tersenyum geli.
“Sekarang aku baru menyadari, memang benar, kalimat dunia ini memang sempit. Buktinya, kita.” Tersenyum di akhir kalimat.
“Hm… tapi menurutku tidak.”
“Aku pro dan kamu kontra. Itu hal yang tidak bisa dihindari. Karena kita seperti yang kamu sebut-sebut tadi, unik. Haha..” tertawa pelan
“Ya, unik, haha..” tertawa pelan “minggu kemarin kamu tidak datang?”
“Tidak, tidak diundang.”
“Hm…” mengangguk-angguk pelan.
“Gimana acara pertunangannya? Lancar?”
“Lancar.”
“Bagus lah kalau begitu.” Jawabku sekenanya.
“Tidak mau titip salam ke dia?”
Aku menggelengkan kepala.
Langit mulai gelap, cahaya matahari berganti dengan cahaya lampu-lampu taman yang dinyalakan oleh petugas daerah setempat. Angin semakin dingin, menusuk kulitku sampai ke tulang. Gilang membuka sweater abu-abunya, lalu ia kenakan ke punggungku, dua lengan panjang sweaternya ia ikatkan.
“Tidak usah, lang. Kamu jadi kedinginan.” Sembari membuka ikatan lengan sweaternya.
“Sudah, tidak usah dibuka. Aku sudah biasa.”
“Hm.. Oke. Makasih ya.”
“Sama-sama, cit.”
Hening sejenak
“Lang?”
“Hm?”
“Aku pengen tahu, gimana perasaan Miko ke aku pada waktu itu?”
Hening kembali datang mengganggu.
Gilang bangkit berdiri, sambil melempar batu-batu kecil ke danau, dia berkata…
“Menurutmu gimana kelihatannya?”
“kok, balik nanya? Aku tidak tahu.”
“Ya, tidak apa-apa. Siapa tahu ada kesesuaian.” Masih melempar batu-batu.
Aku pun bangkit berdiri, kumasukan tanganku ke dalam saku jaket.
“Yang terlihat hanya ada tanda tanya saja ketika aku melihatnya. Kadang, dia terlihat cuek, tidak peduli. Tapi, kadang, dia terlihat memperhatikanku dari gerak geriknya, buat aku jadi Ge’eR tapi aku tetap tidak yakin soal itu. Terlebih, saat dia nembak Alya. Tanda tanya itu semakin besar kelihatannya. Dia itu abu-abu, gak jelas. Sama kaya seragam sekolah yang saat itu kita pakai, tahu gak.”
“Dia suka juga sama kamu, cit.”
Deg~ Ini kali keduanya aku tidak bisa mengekpresikan perasaan aku ke Miko gimana. Pertama kali, saat tahu Miko nembak Alya, rasanya campur aduk, apa ini jawabannya? Tapi rasanya itu bukan jawabannya, seakan berlawanan dengan apa yang aku rasain. Sekarang, ternyata Miko suka juga sama aku. Bingung, antara aku harus senang atau sedih, karena pada kenyataannya Miko sudah bertunangan dengan Gista, yang dulu teman sekantornya.
“terus, Alya?” sambil mengeryitkan dahi.
“Aku pun tidak tahu menahu soal itu sampai sekarang. Yang aku ingat, sebulan sebelum Miko nembak Alya dan jadian. Aku ngobrol berdua sama Miko, dan dia bilang dia tidak mau merusak persahabatan kita.”

 

 

 

 

 

 

 

 

AKHIR HAYAT SANG HONORER

Suasana pagi itu tak seperti biasanya, rumah yang sepi kini mendadak menjadi ramai. Banyak mobil-mobil mewah yang hilir mudik ke sebuah rumah kecil yang terbuat dari ayaman bambu. Tak ada sedikitpun kemewahan yang terlihat dari rumah yang berdiri di ujung kampung itu.
Seorang wanita tua sedang duduk di tikar dengan deraian air mata. Sementara di sampingnya tetangga mencoba menenangkan agar Sunarti tetap tabah dan tegar. Sebentar lagi pemakaman akan segara dilaksanakan. Pemakaman jasad suami yang amat dicintainya yang telah lima puluh tahun lebih bersamanya.
Pemakaman dilakukan dengan begitu hikmat banyak dari kalangan pejabat yang datang untuk mengucapkan belasungkawa. Berbagai bunga berderet di depan rumah. Bahkan dari orang nomor satu di negeri ini juga turut mengucapakan belasungkawa meskipun hanya dengan ucapan dari bunga hias.
Sunarti tak pernah berfikir kalau sore itu adalah pembicaraan yang terakhir antara dirinya dengan suami yang amat dicintainya. Tak pernah ada tanda-tanda yang diperlihatkan oleh suaminya kalau dia akan meninggalkan dirinya lebih dulu. Walaupun beberapa hari ini suaminya sering mengeluh kalau selalu ingin tidur. Namun tak disangka kalau semua itu adalah petanda ia akan pergi. Sunarti berpikir kalau semua yang dialami suaminya lantaran umur yang sudah tua dan pekerjaan yang semakin berat.
Sudah seringkali Sunarti membujuk suaminya untuk berhenti bekerja saja. Namun semua itu tak pernah didengar oleh suaminya. Dengan dalih mengabdi kepada bangsa pak Jamal enggan mengajukan pensiun meskipun sebenarnya umurnya tak muda lagi. Tapi begitulah watak pak Jamal, jika sudah mempunyai tekad maka tak ada yang mampu menceganhnya. Bukan hanya umur yang semakin tua akan tetapi penyakit Jantung yang kian parah yang membuat Sunarti sering memarahinya.
Sore itu pak Jamal baru saja pulang dari tempat kerjanya di SD yang sudah tiga puluh tahun lebih dirintisnya. Meskipun sebagai guru senior pak Jamal sampai sekarang belum diangkat menjadi pegawai negri sipil (PNS) seperti yang diimpikan oleh istrinya. Bermodalkan keihlasan pak Jamal senantiasa memberikan segala ilmu yang dimilikinya untuk semua anak-anak di sekolahnya. Banyak anak didiknya yang kini sudah menjadi orang yang sukses menjadi pengusaha, DPR, Mentri, Dokter, dosen dan masih banyak lain itulah yang menjadi kebanggaan pak Jamal.
“Assalamualaikum” Pak jamal memasuki rumah yang hanya berukuran lima kali enam meter. Sudah hampir lima puluh tahun sudah pak Jamal menempati rumah yang teramat sederhana. Tak ada barang yang mewan di dalamnya melainkan hanya sebuah kursi yang tua yang hampir habis dimakan rayap. Di pojok kanan sebuah lemari ukir khas Jawa masih berdiri tegak. Disanalah disimpannya berbagai kenangan dan penghargaan sebagai seorang guru teladan. Berbagai penghargaan telah diterimanya mulai dari tingkat kota sampai penghargaan dari Presiden.
Penghargaan yang sangat dibanggakan adalah saat ia bisa bertemu sang Presiden dan dapat bersalaman langsung dengan presiden. Penghargaan sebagai tokoh perubahan di dunia pendidikan yang membawa namanya sepat melejit di berbagai media masa maupun media elektronik. Setiap pulang dari tempat kerjanya ia selalu mengelus-elus penghargaan itu lanyakanya anak sendiri.
“Walaikumusalam” Jawab Sunarti seorang wanita yang senantiasa menemani perjuangan pak Jamal. Sudah hampir lima puluh tahun wanita itu menemani pak Jamal dalam keseharianya. Sunarti menjadi penyemangat disaat Pak Jamal sedang sedih.
“Tumben jam segini sudah pulang pak” tambah Sunarti yang sedang asik menenun. Seperti wanita pada umumnya Sunarti setiap hari hanya menenun kain. Namun itu bukan kain miliknya, Sunarti hanya bertugas menenun ketika sudah selesai maka akan ada yang mengambil hasil tenunannya. Ya sunarti hanya memperoleh upah 50 ribu. Lumanyan untuk menambal kekurang dan sedikit menghidupi agar dapur tetap bisa berasap. Dalam satu bulan Sunarti paling hanya mampu menenun dua buah saja. Paling banyak tiga buah per bulan. Namun semenjak matanya sudah tak senormal dulu Sunarti tak selincah dulu.
“Ya bu bapak ijin pulang lebih awal badan bapak tidak enak bu, sejak semalam rasanya mau tidur terus” Jawab Pak jamal
“Bukanya ibu sudah bilang sudah bapak mengajukan pensiun saja. Bapak sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan, biarlah para pemuda sekarang yang meneruskan perjuangan bapak” Balas Sunarti
“Tidak bisa bu sudah menjadi kewajiban bapak untuk tetap mengabdi” Jawab Pak Jamal
“Mengabdi sih mengabdi pak tapi ingat kondisi dan umur pak” Tegas Sunarti
“Memangnya kalau umur bapak sudah tua tidak boleh mengabdi kepada bangsa bu” Jawab pak Jamal yang masih asik memegang penghargaan yang pernah diberikan oleh presiden.
“Dari dulu bapak selalu bilang seperti itu mengabdi untuk bangsa dan negara. Sekarang ibu tanya pak apa yang telah negara berikan untuk bapak. Sudah Tigapuluh tahun lebih bapak mengabdi belum juga diangkat menjadi pegawai Negeri. Padahal bapak juga yang merintis sekolah sampai menjadi sekolah yang besar seperti sekarang” Balas Sunarti
“Pengabdian tidak bisa diukur dengan menjadi seorang pegawai Negeri saja bu. Buat apa menjadi pegawai Negeri tapi bisanya Cuma korupsi waktu. Mengbadi buat bapak adalah dengan ketulusan hati. Karena hanya dengan ketulusan hati saja kita sebagai guru dapat menciptakan para generasi bangsa yang mempunyai Ahlak yang mulia.” Tegas Pak Jamal
“Mengabdi untuk bangsa sementara kita makan saja susah, coba ibu tanya sudah berapa banyak para pemimpin yang bapak ciptakan, para dokter dan para wakil rakyat, tapi apa pernah mereka datang memberikan sesuatu atau sekedar mengucapkan terimakasih. Karena tanpa seorang guru tidak akan pernah mereka bisa menjadi orang yang sukses”
“Ya apa yang bapak lakukan benar-benar tulus dan ikhlas bu. Sudah bu aku tidak mau ribut bikinkan aku kopi saja rasanya mata ini tidak mau aku buka.” Jawab pak Jamal
“Ya pak” Sunarti segera meletakan kain teununnya dan pergi menuju dapur yang tak jauh dari tempat ia menenun.
“Ini pak kopinya” Sunarti menyodorkan secangkir kopi
“Mau sampai kapan pak, mengelus-elsu foto itu. Setiap hari selalu bapak elus-elus, apa tidak bosan. Lagipula semua yang bapak dapat itu tidaklah membuat hidup bapak menjadi lebih baik. Biarpun puluhan penghargaan bapak dapatkan, tetap saja bapak menjadi pegawai honorer dengan gaji hanya tiga ratus ribu.” Tambah Sunarti yang melihat Pak Jamal sedang asik mengelus-elus penghargaan yang ia dapatkan. Memang bukan hal baru bagi Sunarti yang melihat kelaukan suaminya. Sudah seringkali Sunarti mengingatkan suaimnya.
“Ini adalah penghargaan bapak yang paling berkesan, karena bapak bisa langsung bertemu dengan orang nomer satu dibangsa ini.” Tegas pak Jamal
“Memangnya setelah bapak bertemu dengan orang itu bapak dapat apa. Toh tetap saja bapak hanya pegawai honorer. Lagipula barang seperti itu tak laku kalau dijual” Jawab Sunarti dengan nada sedikit sinis.
“Ya terserah kamu bu, saya mau ke kamar dulu rasanya mata ini tidak bisa lagi ditahan” Sanggah pak Jamal
Tak terdengar lagi perdebatan di antara mereka. Memang akhir-akhir ini mereka sering bertengkar lantaran pak Jamal yang enggan untuk mengajukan pensiun. Padahal sakit yang dideritanya sudah semakin parah. Namun tetap saja pak Jamal tak mau mengajukan pensiun. Semua itulah yang membuat Sunarti menjadi sering marah tentunya marahnya karena sayang dengan suaminya.
Suara adzan Mahrib berkumandang namun pak Jamal tak bernajak dari tempat tidurnya. Sunarti sudah berulangkali memanggil-manggil namun tetap saja suaminya tak bergeming. Tak ada jawaban dari balik pintu itu. Karena tak ada jawaban Sunarti bergegas menju kamar tempat suaminya tertidur. Berulangkali Sunarti membangunkan suaminya namun tak mau bangun juga.
“Pak… pak bangun sudah Mahrib” pinta Sunarti
“Pak bangun…” Panggil Sunarti kembali sembari mengoyang-goyangkan tubuhnya. Tapi tetap saja suaiminya tak bergeming.
Sunarti sadar kalau suaminya ia tak akan bangun lagi. Karena tak kuat dengan kenyataan yang ada Sunarti pun tak sadarkan diri. Ketika bangun dari pingsanya rumah telah menjadi ramai oleh tetangga yang datang.
Air mata Sunarti kemabli meluncur dengan derasnya tatkala jasad suaminya dimasukan keliang lahat. “Karena hanya dengan ketulusan hati saja kita sebagai guru dapat menciptakan para generasi bangsa yang mempunyai Ahlak yang mulia” itulah kata-kata suaminya yang masih teringat dengan jelas. Semua itu bukan hanya perkataan saja karena sudah dibuktkan dengan pengabdiannya. Saat pemakaman banyak yang hadir mereka adalah mantan murid-muridnya yang telah ia bimbing.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MENUNGGU

Mengaguminya dalam diam, setiap detik hanya bisa mengingat tawanya, terkadang aku bisa mengingatnya sepanjang hariku pada seorang pria yang aku tunggu selama 1 tahun terakhir ini. Hay aku Asya, panggil saja caca. Aku siswi di salah satu SMK Di bandung, Pria yang aku ceritakan tadi ialah Rasya, kakak kelasku yang sebentar lagi akan lulus dari sekolah ini. Aku menyukainya saat pertama kali di eskul pramuka, dengan wajah dingin namun tampan, dia memperkenalkan diri pada siswa siswi baru, ya entah kenapa aku begitu tertarik padanya.
Namun sayang, sekarang dia sedang sibuk karena dia akan segera mengikuti Ujian Nasional, yang berarti dalam hitungan minggu dia akan segera lulus dari sekolah ini. Jujur, dia adalah pria yang membuatku berubah, dia yang telah mengisi kekosongan di hatiku, terasa sangat berat untuk berpisah dengannya.

“Bruk”
“maaf teh aku gak sengaja” ucapku pada kakak kelas yang aku tabrak tadi, entah kenapa kakak kelas itu malah memalingkan wajahnya seakan aku ini musuhnya, dia pun pergi meninggalkanku tanpa bicara. Aku pun mulai mencari tahu tentang kakak kelas itu, ternyata dia bernama Rea Putri, sering dipanggil Rere, dia adalah orang yang sudah menunggu ka Rasya dari mulai kelas 10 hingga sekarang, sepertinya dia tahu tentang perasaanku pada kak Rasya.

Ujian Nasional sudah selesai dilakukan oleh kelas 12, dan giliranku yang mengikuti UKK.
1 Bulan kemudian
Sekolah sudah akan mengadakan Perpisahan kelas 12, Aku Mengikuti OSIS, jadi aku akan menyaksikan perpisahan kelas 12, terkadang sangat sakit jika aku mengingat hal itu.
Perpisahan kelas akan dilaksanakan besok, aku pun sangat sibuk untuk mempersiapkan segalanya. Malam pun tiba, aku pulang ke rumah dengan muka sangat lemas. Aku langsung naik ke kamarku tanpa berbicara sepatah kata pun pada ibu dan ayahku. Aku membuka jendela kamarku dan duduk sambil melihat langit yang dihiasi dengan bulan dan bintang

“Tuhan, aku begitu mencintainya, dialah orang yang sangat aku sayangi, mengapa engkau harus memisahkan kami?. Tuhan tolong jaga dia untukku, karena dia adalah Anugerah terindah yang engkau beri padaku…” Ucapku dengan pipi yang dibasahi air mata.
Perpisahan kelas pun di mulai, semua menangis karena akan berpisah dengan kawan kawannya, begitu pun aku, namun aku mencoba menahan air mata ini. Semua kelas 12 memegang balon yang berisikan harapan mereka masing masing, lalu dalam hitungan ke 3, 1.. 2.. 3.. balon pun dilepas ke udara secara bersamaan, yang berarti mereka telah pergi dari sini..
Tuhan Entah apa yang aku rasakan kali ini, namun aku benar benar mencintainya, aku terlalu menyayanginya, aku hanya ingin dia bahagia, Tuhan tolong bahagiakan dia, jangan sampai kau buat Malaikatku menangis, dan kini aku hanya akan menunggunya datang kembali, menanti sebuah keajaiban, Menunggumu…

Selesai

 

 

 

ATAS NAMA CINTA

 “Aku cinta padamu Emma.” Ucap Sebastian lirih. “Aku juga cinta padamu, Ian. Tetapi, aku tidak bisa bersamamu. Aku adalah peri Musim Dingin. Sedangkan kamu adalah peri Musim Panas. Kamu tahu kan, Ian. Peri Musim Panas dan Musim Dingin tidak pernah akur. Mereka selalu memperebutkan mana di antara mereka yang paling pantas untuk membuat sebuah musim di bumi. Ditambah lagi, aku adalah putri seorang raja musim Dingin. Aku tak mungkin mempermalukan nama ayahku.” Emma menjawab. Terik siang itu seolah membakar hati Sebastian. Meninggalkan sekubangan air mendidih yang diam diam memakan cintanya. ‘Selalu kehilangan sebuah harapan’ mungkin seperti itulah posisi Sebastian saat itu. Sepasang peri jantan dan peri betina itu duduk di antara dahan pohon yang telah tumbuh dewasa nan kokoh. Emma mulai berkaca kaca lalu ia merintikan air mata. “Sebastian, apakah kau rela mati untukku?” Suara Emma agak bergetar. “Emma… sudahlah jangan menangis. Aku siap untuk apa pun yang menghalangi cinta kita, Emma.” Mereka pun saling berpelukan. Emma tenggelam dalam pelukan Sebastian sambil menangis haru. Mereka tahu, bahwa hari itu adalah hari terakhirnya mereka bertemu sebelum bangsa peri Musim Panas dan bangsa peri Musim dingin berperang. Mereka tahu, mungkin di hari esok salah satu dari mereka akan sirna dan kembali ke dalam pohon jiwa. Pohon jiwa, pohon yang menyimpan jiwa peri peri yang telah sirna. Entah itu Emma atau Sebastian yang akan sirna, mereka tidak tahu. Yang mereka pikirkan kini adalah bagaimana caranya untuk bertahan hidup dan mengukir kisah yang nantinya akan menjadi sebuah sejarah romantis.
Tibalah hari yang diramalkan itu. Hari dimana bangsa peri Musim Dingin dan Musim Panas berperang untuk membuktikan siapa yang paling pantas untuk membuat sebuah musim di bumi. Emma saat ini sedang berlari di koridor istana Musim Dingin. Brrak, “Ayahanda!!” Emma membuka pintu lalu berlari ke arah ayahnya. “Ayahanda, kumohon. Hentikan semua peperangan ini. Semua dapat dibicarakan dengan baik dengan pihak lawan, ayahanda.” Kata Emma perlahan sembari mencoba mengatur nafasnya yang tersenggal senggal. Plakk, ayah Emma menampar Emma. “Bodoh! bicara apa kamu ini?!! apa kamu tidak sadar juga bahwa ibumu telah dibunuh oleh bangsa mereka!. Jangan bilang ini semua karena peri jantan gelandangan dari pihak musuh kita?!. Kamu memang anak yang benar benar bodoh, Emma! sadarlah! dia hanya memanfaatkanmu!.” Ayah Emma marah besar. “Ayahanda…” kata Emma lirih memegangi pipinya yang panas akibat tamparan ayahnya. Dia menyeka airmatanya yang hanya tinggal di ujung bulu mata. “Itulah mengapa ayahanda tidak pernah mengerti! itulah mengapa ayahanda kehilangan ibunda! itulah mengapa Ayahanda bisa kehilangan semuanya!. Oh, ternyata ramalan kambing tua betina itu benar apa adanya. Bahwa ada seorang raja yang tidak pernah mau memikirkan perasaan orang orang di sekitarnya. Sehingga dia tenggelam dalam kebenciannya sendiri. Dan satu lagi, Ayahanda. Sebastian bukanlah seorang Gelandangan! bahkan ia jauh lebih berharga dibandingan denganmu!” bentak Emma yang menggema di seluruh sudut ruangan ayahnya itu. Lalu Emma bergegas pergi meninggalkan ayahnya begitu saja.
“Persiapan sudah siap, Tuanku.” kata Sebastian. “Bagus.” kata Raja Musim Panas tersenyum puas. “Tetapi, tuanku…” Sebastian tidak berani meneruskan perkataannya itu. “Ada apakah gerangan?” tanya sang raja itu. “Bukankah lebih baik kita berdamai dengan bangsa peri Musim dingin? seperti membuat kesepakatan yang bijak, Tuanku?” kata Sebastian. “Hahahahaha” raja itu malah tertawa terbahak bahak. “Sebastian, dengarlah. Ada hal yang perlu kau ketahui dan ada pula yang tidak. Tidak semua yang kita inginkan akan terwujud. Kita harus mempersembahkan kerja keras kita dan membuktikan kepada dunia bahwa perbedaan tidak menjadi halangan. Biarlah mereka tertusuk belati, namun di dalamnya akan ada sesuatu yang tidak pernah sirna.” kata Raja itu. Entah mengapa kata kata itu seperti merasuk ke dalam pikiran Sebastian. Kata kata yang membakar semangat Sebastian. Dia ingin membuktikan kepada dunia bahwa tidak hanya romeo dan juliet saja yang merasakan apa artinya cinta. Mereka, bangsa peri pun juga bisa merasakan cinta.
“Bidik!” Suara menggelegar. “Bersiap!” Para prajurit segera menarik pelontar. “Tembak!!” Ribuan anak panah berjatuhan di antara dua belah pihak. Bersamaan dengan itu, pasukan antara dua belah pihak saling menyerbu. Sebastian dengan gagah berani menunggangi kuda dan mulai mengayunkan pedangnya. Mempertaruhkan anatara hidup dan matinya demi Emma. Sementara itu, sebagai seorang wanita, Emma dilarang ikut berperang. Dia tetap tinggal di kamar istana bersama adiknya, Noe.
“Matahari kan bersinar. Menyinari alam. Di dalamnya ada cinta yang selalu terukir indah. Entah apa yang kau fikir. Cinta ini tak kan pernah hilang. Entah apa yang kau fikir. Cinta ini tak kan pernah hilang. Kesatria kan menjemputku dengan gagah berani. Kesatria kan menjemputku dengan gagah berani. Memperjuangkan cinta. Memperjuangkan hati. Berjuang antara hidup dan mati. Entah apa yang kau fikir. Cinta ini tak kan pernah hilang…” Emma bersenandung. Noe hanya mendengarkan. Adik perempuan Emma itu (Noe) mulai menguap lalu terlelap di atas kaki Emma. “Ian.., Ku kan selalu menunggumu.” Emma pun ikut terlelap.
Di dalam mimpinya Emma seperti berada di sebuah padang ilalang dengan cuaca yang sedikit mendung. Itu berarti Peri musim Panas dan Peri musim dingin sedang berperang. Ia duduk di bawah rindang pohon yang kini terlihat seperti rambut karena mendungnya langit. Emma mulai menangis. Ia menyesali apa yang digariskan oleh dewa untuknya. Ia menyesali perbuatannya saat 2 tahun yang lalu. Seharusnya hari itu dia tidak pergi ke hutan, ia mungkin tidak akan bertemu dengan Sebastian. Jika dia tidak pergi, mungkin Sebastian tidak pernah terjebak keadaan yang seperti ini. Ia mungkin tak pernah terlibat dalam peperangan yang memuakan ini. Ini semua salah Emma yang telah jatuh cinta padanya. Ia menyesali pertemuannya dengan Sebastian 2 tahun yang lalu karena sama saja dia membawa Sebastian menuju bahaya. Di dalam pikirannya hanya terdapat ‘jika dia’, ‘ia mungkin tak akan’, dan penyesalan penyesalan lainnya. Tanpa Emma sadari, munculah seekor kuda dengan penunggangnya yang gagah berani. Tubuhnya tegap. Rahang wajahnya kokoh. Ia berhenti di depan Emma. Tangan yang dingin itu menyentuh Emma. “Emma.. Jangan sesali apa yang pernah kita lakukan. Jangan pernah sesali itu. Mungkin setelah ini akan ada suatu pertanda yang akan membuatmu sadar bahwa aku memang tak pantas untukmu. Aku tidak berhasil Emma. Aku tidak berhasil menjadi Kesatriamu. Maafkan aku Emma.” Kata Sebastian lirih. Saat saat ini adalah saat saat yang sama dengan hari terakhir mereka bertemu lusa lalu. Tangis Emma semakin mejadi jadi. Ia jatuh ke dalam pelukan terdalam Sebastian. Namun kali ini sebastian ikut menangis. Dua sejoli di bawah naungan peperangan dan kehancuran. Hanya ada si awan hitam yang mempunyai pertanda. Mereka menguras seluruh sisa airmatanya. Lalu seketika itu munculah seberkas cahaya perpaduan antara kuning saga dan biru muda. Mereka menangis haru. Tak lagi menyesali apa yang dilalui selama ini. Lalu jatuh dalam hangatnya sentuhan bibir mereka yang sekian lama menanti keajaiban. Bibir yang sudah lama kelu menahan kata kata yang tercekat antara tenggorokan. Bibir yang sudah lama menangis berteriak meronta ronta. Mata mereka yang lelah itu terpejam sesaat. Menikmati setiap inci dari narasi saat ini. Emma tahu ini hanya ilusi. Tetapi tetap saja, ia ingin menumpahkan segalanya disini. Setetes sisa airmata terkhirnya menjadi cerah dan mengalir jatuh tepat di tangan Sebastian. Saat Emma membuka mata, narasi dan ilusi indah tadi telah berakhir. Ia menangis tak henti henti. Ia tersadar bahwa Sebastia telah sirna. Ia kembali ke pohon jiwa. Tak kuasa menahan sedih, Emma kabur dari istana dan menuju titik peperangan. Meninggalkan Noe yang masih tidur dengan lelapnya.
Ketika sampai disana, Emma histeris. Ia seolah tak percaya bahwa pertanda itu benar. Lututnya lemas, bibirnya kembali kelu, ia pun terjatuh tepat di samping mayat Sebastian. Air matanya telah habis, namun ia sedih sekali. Matanya terbelalak. Senada kemudian dia berteriak sekencang kencangnya lalu menangis darah. Darah dari matanya itu memenuhi wajahnya. Peperangan seketika itu berhenti karena teriakan Emma. Semua orang memandang Emma yang memeluk mayat sebstian itu. “S-sebastian…, kumohon… bangunlah. Aku akan menggantikan tempatmu. Sebastian!!” Darah semakin deras mengalir dari pelupuk matanya. Ia tak kuat menahan semua ini. Pikiran nostalgia bersama Sebastian pun muncul di kepalanya. Seperti layar proyektor yang tiba tiba hidup sendiri. Ia semakin tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam. Kubangan di dalam hatinya menjadi semakin besar dan membesar. Wajahnya dipenuhi darah segar dan darah kering. Sejurus kemudian dia mengambil pedang dan bunuh diri tepat di samping mayat sebastian. Brukk, tubuhnya terhantuk tanah. “Matahari kan bersinar. Menyinari alam. Di dalamnya ada cinta yang selalu terukir indah. Entah apa yang kau fikir. Cinta ini tak kan pernah hilang. Entah apa yang kau fikir. Cinta ini tak kan pernah hilang. Kesatria kan menjemputku dengan gagah berani. Kesatria kan menjemputku dengan gagah berani. Memperjuangkan cinta. Memperjuangkan hati. Berjuang antara hidup dan mati. Entah apa yang kau fikir. Cinta ini tak kan pernah hilang….” Disaat saat terakhirnya Emma bersenandung. Lagu yang menggambarkan kisah cinta mereka yang gagal namun tak pernah padam. Bak Adam dan Hawa dari kalangan peri. Bak Romeo dan Juliet yang menempuh kisah cinta yang haru dan menyakitkan. Emma dan Sebastian pun kembali ke Pohon Jiwa dengan damai dan tenang.
Karena kejadian itu, Raja peri Musim Panas dan Raja peri Musim Dingin berdamai. Mereka memutuskan menyelesaikan semua ini dengan cara yang aman dan kekeluargaan. Maka sejak dari itu, para pemimpin bangsa peri musim membagi waktu dan wilayah atas musimnya sendiri sendiri. Seperti musim panas di indonesia yang muncul pada bulan April – September dan musim dingin di indonesia yang muncul pada bulan Oktober – April. Akhirnya Kisah bak Adam dan hawa, Rama dan Shinta, Romeo dan Juliet, dan juga Ahei dan Ashima dari bangsa peri ini membuat musim musim menjadi berdampingan. Cinta yang tak pernah menjadi warna yang bias dan indah itu memberi bukti bahwa mereka mampu menaklukkan seluruh dunia peri musim karena kisanya.
TAMAT

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

MAS KUL BUKAN UNTUKKU

Pagi yang cerah dan matahari tak pernah lelah menyinari dunia dengan cahayanya yang menjadi sumber kehidupan bagi seluruh umat manusia. Kumulai hari ini dengan bersiap pergi ke sekolah. Aku selalu menyukai hari sekolah, karena entah mengapa aku selalu menunggunya. Tak ada yang spesial sebenarnya, hanya saja rasa ingin melihatnya dan melihat gerak geriknya yang menjadikanku semangat untuk sekolah. aku tau ini tak baik bagiku, tak ada ajaran di agama manapun di dunia yang memperbolehkan hal ini terjadi, tapi tidak denganku. tak bisa kupungkiri rasanya aku sekolah karena dirinya dan dirinya, melamunkannya setiap saat. melihatnya memakai baju rapi dengan rambut diberi gel bagai melihat seorang aktor dan tampan dari Indonesia. “Tukul Arwana” yah… artis tukul yang ada di benakku saat melihatnya. Tapi itu unik, dia terlihat tampan dengan caranya sendiri.
Tak lama teman baikku membubarkanku dari lamunan indahku
“Ira… kantin yuk” kata rinda
“Okok… ayok, emang jam istirahat rin?”
“Iyalah, ayo buruan ra!!”
“Ih… iya cerewet ayo”
Aku dan temanku berangkat ke kantin dan kita memesan makanan masing masing, sedang enak enaknya kami makan tiba tiba mas kul (mas tukul) datang untuk membeli minuman
“Woy.. tuh mas kul beli minum”
“Apaan?, emang ada hubungannya sama aku gitu?”
“Udahlah… jangan bohong aku tau kok kalau kamu ada rasa sama dia”
“Apaan sih…”

Setelah percakapan di kantin itu, aku jadi sering curhat tentang dia ke rinda, maklum kita sudah kayak sendok sama garpu, dimana ada aku selalu ada dia.
Pernah suatu hari aku lihat si mas kul senyum senyum sendiri, dengan reflek aku ikutan senyum dan bodohnya aku emang gak konsen sama jalan, dan bodohnya aku yang emang hobby bikin malu diri sendiri. Tanpa aku sadari di depan ada selokan, aku tiba tiba masuk ke dalam selokan depan kelas. aku bisa nahan sakit di kaki, tapi nahan malu depan si dia? banyak temen yang ketawa lihat aku jatuh dan aku hanya cengar cengir nahan malu gara gara jatuh. Yang lebih parahnya lagi dia malah ikutan ketawa, Oh God… Help me

Aku pulang dengan rasa malu yang amat sangat, aku bete gak ketulungan dan akhirnya aku mandi, terus tidur siang. Sekitar jam 3 sore saat matahari lagi ada di sudut 34,98 derajat aku bangun dan mandi.
Masih Jelas teringat kejadian tadi di sekolah, akhirnya dengan muka kusut bak baju belum disetrika aku iseng iseng buka fb, dan ternyata ada yang add fb aku, nama fbnya (Sensor) :D.
“Wah… mati aku, mas kul pake acara add aku lagi, terima gak ya? ok hitung sampek lima aja… nggak, terima, nggak, terima, terima. Oh.. ok terima ajalah”
Aku menerima permintaan pertemanannya dengan harapan bisa berteman lebih dekat dengannya. tak lama kemudian si mas kul kirim inbox di fb aku, senangnya hatiku turun panas demamku
“Hy… kamu ira kan?”
“Hy juga, iya aku ira kamu kok tahu? tahu dari temen aku atau emang cari tahu tentang aku? kamu suka aku ya? kamu penggemar rahasiaku ya? udah jujur aja, aku gak papa kok, ikhlas malah”
“Oh… nggak, aku tahu kamu gara gara kamu tadi masuk selokan dan diketawain sama anak anak”
“Oh… gitu ya, kirain”
“Emang kamu kenapa kok sampe masuk selokan gitu?”
“Itu gara gara aku lihat senyum kamu tahu” suara dalam hati
“Oh… aku cuman ngelamun kok” ngelamunin kamu maksudnya
“Oh…”
“Iya…”
“Iya…”
“Hmmm…”
“Ya udah…”
“Iya…”
“Udah dulu ya…”
“Iya…”
“Ya udah jangan dibales…”
“Iya aku gak bales kok”
“Ini kok dibales?”
“Hmmm…”
“Gue timpuk juga lu…”
“…”

Setelah kejadian itu setiap ketemu aku dimanapun dia pasti senyum senyum. aku pun membalasnya dengan sepenuh hati
Aku dibuatnya melayang dengan senyum indahnya dan deretan gigi putihnya, aku jadi lebih sering stalkerin dia di fb dan aku kaget bagai disambar kilat disiang bolong saat aku mengetahui bahwa dia memiliki status berpacaran dengan temanku sendiri rinda. jadi selama ini dia senyum senyum bukan buat aku? tapi buat rinda? ah… bete… ok gak papa kok, aku strong. Aku juga gak akan bikin perhitungan sama dia, soalnya aku lemah di bidang menghitung matematika. Tapi mungkin kalau bikin perhitungan siklus akuntansi aku masih mau. Soalnya ada Rp. xxx

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BUKAN HOME ALONE

Rasa takut masih terbayang-bayang di pikiran Hista, sebab tadi sore setelah pulang kuliah ia dan beberapa temannya pergi ke bioskop untuk menonton film horor yang sangat populer. Kemana pun melangkah ia seperti merasa ada yang mengikuti dari sudut manapun.
“Hista… Ayah dan ibu pergi dulu” Teriak ayah dari bawah rumah.
“Ayah… Tunggu, Hista Mau ikut” Hista pun berlari menuju ke bawah tetapi ayah dan ibunya telah pergi meninggalkan rumah. Yang tertinggal di rumah hanyalah bi Yuli, pembantu rumah tangga mereka.
Hista pun pergi menuju kamar dekat dapur. Kamar tempat bi Yuli. Sesampainya di depan kamar bi Yuli Hista mengetuk pintu, tetapi tidak ada suara ataupun jawaban dari bi Yuli. Akhirnya Hista lebih memilih untuk menunggu di pos satpam komplek perumahan sambil menunggu Ayah dan Ibunya kembali pulang ke rumah. Baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba pintu kamar bi Yuli terbuka. “Itu pasti bibi Yuli, mungkin dia tertidur tadi” Ucap Hista dalam hati.
Ternyata semua diluar dugaan Hista, tidak ada siapapun di kamar. Lantas siapa yang membukakan pintu, padahal pintu sama sekali terkunci. Hista pun segera berlari ke luar rumah, tetapi pintu rumah juga terkunci. Dan tiba-tiba saja lampu listrik di seluruh komplek padam yang membuat rasa takut Hista semakin menjadi-jadi. Ia berteriak minta tolong sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah, tetapi tidak ada satupun yang merespon.
Hista teringat bahwa ayahnya sering meletakan mancis di meja ruang tamu, dengan berjalan pelan-pelan ia menuju ruang tamu dan menyalakan mancis itu agar memberikan sedikit cahaya. Api dari mancis itu seperti mau redup, seolah-olah ada yang meniup agar api itu padam. Tetapi Hista merasa itu hanyalah tiupan angin biasa.
Terdengar ada suara seseorang yang sedang mengetuk jendela rumah dekat pintu masuk. Tetapi setelah dilihat lebih dekat tidak ada siapapun diluar. Kembali lagi terdengar suara, tetapi itu bukan suara ketukan melainkan suara ponsel Hista yang berbunyi dari atas tepatnya di kamar tidur Hista. Karena merasa takut ia pun memilih untuk tidak menuju ke kamar. Kembali terdengar suara. Suara hentakan kaki yang tidak jauh dari tempat hista berdiri, apakah ini ulah bi Yuli? tetapi bi Yuli tidak pernah sekalipun berbuat jail kepada Hista maupun keluarganya sejak bi Yuli pertama kali bekerja bersama mereka.
Tiba-tiba lampu menyala kedap-kedip. Hista pun melihat ada sosok makhluk aneh berdiri di dekat tangga dengan posisi membelakanginya. Mahluk itu berjubah putih, dari model rambut tampak seperti lelaki dan dari bentuk tubuh condong seperti wanita. Hista ingin berteriak tetapi ia menahannya, karena jika ia berteriak makhluk itu pasti mendatanginya. Lampu yang kedap-kedip itupun kembali padam, mancis yang di tangan Hista tidak dapat menyala.
Dari samping ia merasa seperti ada sebuah tiupan, tiupan yang keluar dari hembusan seseorang. Hista pun menangis. Karena ia pasti tau kalau makhluk itu sudah mendekatinya. Plaakk… Ada yang memukul bahunya sebanyak dua kali hingga ia terjatuh, Hista mencoba untuk bangkit tetapi rasanya tubuhnya ada yang menekan sehingga susah untuk berdiri. Akhirnya ia memilih untuk berjalan merangkak, tetapi baru beberapa meter merangkak ada yang menarik kakinya secara perlahan-lahan. Hista hanya memilih diam dan pasrah.
Kembali terdengar suara kecil yang memanggil namanya. “Hista… Hista…” suara itu terdengar seperti suara wanita, ia mencoba untuk cuek dan tidak merespon. Tetapi suara itu semakin terdengar keras dan sangat keras.
“Ahhh…. Ahhhhh…. Ahhhhh” teriak Hista, ibu Hista pun yang sedang berada di sampingnya merasa kaget dengan suara teriakan Hista. “Kamu ini kenapa? ibu bangunkan kok malah teriak-teriak?”
“Aku mimpi buruk bu” jawab Hista sambil memeluk ibunya.
“Pasti karena nonton film horor yang lagi ngetrend itu kan? lagian kamu ini tidurnya pas sore menjelang malam begini. Lebih baik kamu sekarang mandi dan langsung ke bawah, ayah sudah menunggu untuk makan malam bersama” ibu keluar kamar meninggalkan Hista. Ternyata yang dialami Hista hanyalah sebuah mimpi buruk.
Tiba-Tiba lampu di kamar Hista padam “Loh kok lampunya padam? ibu… Aku takut” Teriak Hista
Selesai

 

 

 

 

 

 

 

 

YOU AND MY LIFE

Mendung yang tak bergeming masih tertahan di langit. Tak jenuh namun juga tak ceria. Penuh aura negatif bagi kebanyakan orang, tapi tidak denganku… laut yang tenang tetap tenang tanpa ombak yang menghempas gusar. Matahari sudah tepat berada di atas ubun-ubun.
“Huftt!!” aku mendongak kesal. Lagi-lagi aku harus menatap nanar di kejauhan. Bukan karena aku sedang berada di bibir pantai yang menjadi sekat antara laut dan daratan. Namun aku masih menunggu kabar dari negeri seberang. Kuhitung jari jemari dari semenjak hatiku miskin segalanya. ya segalanya!! Karena hanya dia yang menurutku bisa mengembalikan senyumku yang lama hilang. Dulu, yah dulu aku tak punya semangat hidup, gelisah, resah, gundah, tiap hari aku merasakannya. Seorang diri termenung, tak jarang pula menangis di tepian trotoar. Tak peduli debu jalanan yang mungkin membuat rambut hitamku menjadi kusut, tapi siapa yang peduli? peduli denganku, maksudku. Mereka hanya berlalu lalang dan menatapku sesekali dengan angkuhnya. Serasa hidupku tak ada artinya. Bagaikan daun-daun yang berguguran di hadapanku kala itu. Tak berarti lagi, terinjak-injak dan terhempas kemanapun angin membawa. Aku bosan dengan hidupku, tiada arah dan tujuan yang harus aku tempuh. Bahkan aku harus terlunta-lunta walau hanya untuk sekedar melangkah. Siapa peduli aku yang sedang terjatuh? siapa peduli aku yang berjalan seorang diri, menangis, dan mengais sisa-sisa makanan manusia yang menyampah. Si miskin ini tak punya kendali. Tak ada yang bisa dirogoh saat dahaga memekakkan tenggorok. Berharap dan berharap akan ada seorang atau beberapa orang yang sekiranya sudi memberi receh demi receh rupiah untuk ditukar menjadi makanan yang layak.
Saat itu, adalah musim panas. Menyengat kulit serasa seperti terbakar. Belum lagi haus yang dirasakan oleh si miskin yang masih sepantasnya bersekolah menengah pertama, tapi apalah takdir tak berpihak kepadanya. saat ini Ia hanya berharap menemukan air atau beberapa gelas minuman yang bisa ia minum untuk terus berjalan walau tanpa arah. Ia merasa lelah, karena tak kunjung menemukan apapun disana. Yah, dia sudah hampir mengelilingi tiap sudut kota Sumenep, namun tetap saja hasilnya nihil. Lalu ia melepas penatnya hari itu di bangku kecil yang berada di alun-alun kota. sesaat kemudian seseorang menyodorkan sebotol air mineral kepadanya. “haus kan?” katanya memastikan. Gadis itu hanya manggut-manggut melihat seorang lelaki yang lebih tua darinyaa berada tepat di hadapannya. “hei, kamu haus kan? ini untukmu!” katanya mengulang. “eh iyaa.. aku haus, terimakasih!” ia mengambil botol mineral yang disodorkan lelaki itu. Kemudian meneguknya perlahan… benar-benar nikmat, katanya dalam hati. lelaki itu duduk di sampingnya seraya memperhatikan gadis mungil yang berwajah kusut di depannya. “boleh tau namamu?” tanya lelaki itu. “aku? namaku.. Dea”. “Dimana rumahmu dan keluargamu?” tanyanya lagi. “aku tak punya rumah, aku bisa tinggal dimanapun aku mau, dan keluargaku… aku juga tak pernah bertemu mereka sebelumnya.” jawabnya. tatapan laki-laki itu berubah menjadi sedih. “jadi selama ini kau tinggal sendiri?” katanya berempati. “iya begitulah.. aku hidup sendiri.” “bagaimana jika kau kuajak ke rumahku? Dan tinggal disana bersama keluargaku?”. dahinya mengerut, “kenapa? kenapa kau cepat sekali percaya padaku, aku hanya seseorang yang baru saja kau kenali”. “hemm, kelihatannya kau orang yang baik, dan kau tidak punya siapa-siapa lagi disini. Jadi tidak ada salahnya jika aku membantumu”. gadis itu merasa tidak percaya dan hanya bisa mengangguk menyetujuinya.
Sejak saat itulah aku mengenalnya dan memulai kehidupan baru bersama keluarga baru yang menyetujui kehadiranku.. bahkan, mereka menganggapku seperti anak mereka sendiri. aku bisa tersenyum lagi… laki-laki itu selalu menghiburku setiap waktu.
Namun, tahun demi tahun telah berganti. aku sudah berubah menjadi wanita dewasa, pun dirinya. sesuatu yang tak pernah kuduga telah terjadi. Hati ini begitu nyaman di dekatnya, aku merasakan yang namanya cinta. begitupun dirinya, ia juga sempat menyatakan cintanya padaku. jelas aku sangat bahagia. Kini ia sedang menempuh pendidikan di negeri seberang, dan saat ini, aku sedang menunggu kedatangannya, kehadirannya… yah, dia yang aku rindu dan sangat-sangat aku inginkan detik ini.
Ia melambaikan tangannya dari kejauhan tepat dari arah yang berlawanan dari pandanganku, kemudian berlari memelukku.
Laki-laki itu… lelakiku…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PELANGI SETELAH HUJAN

Namaku Fadara Anastasha. Semua orang sering memanggilku Dara. Aku ditakdirkan menjadi wanita yang memiliki kekurangan. Aku Lumpuh sejak lahir dan tidak akan bisa berjalan selamanya. Entah kenapa aku sangat menyukai Hujan. Pelangi? entahlah.. Aku tidak terlalu suka pelangi. mungkin nanti kalian akan tau alasannya.
“Dara” seseorang memanggilku. aku menengok ke arah suara itu. seorang lelaki berdiri di sana. kemudian dia berjalan menghampiriku.
“di sini kamu rupanya” dia tersenyum manis. namanya Dimas Dirgantara. Sahabatku dari kecil yang selalu menemaniku. Dimas mengelus kepalaku lembut.
“lihat hujan lagi ya?” tanyanya. aku hanya tersenyum kemudian mengangguk.
“Ayo masuk ke kelas” Dimas mendorong kursi rodaku.
“Kenapa kamu mencariku lagi? aku tidak akan kenapa kenapa Dim..” ujarku sambil mendongakkan kepala ke atas untuk melihat wajahnya.
“iya ra, tapi jam pelajaran selanjutnya sudah mau dimulai. Dan Rio dari tadi nyari kamu” Aku bersekolah di sekolah anak anak Normal. dan menurutku itu tidak menjadi masalah selama aku masih bisa membaca dan menulis. Aku juga punya Pacar bernama Rio Mahendra. Aku beruntung bisa mempunyai Dimas dan Rio karena mereka berdua bisa menerima keadaanku.

“coba kamu perhatikan Pelangi yang datang setelah hujan. Di saat Jutaan butir air selesai jatuh, pelangi yang indah akan terlukis di langit sana. Hujan bagaikan Air Mata seseorang yang sedih dan Pelangi bagaikan kegembiraan seseorang setelah sedih. jadi, di balik kesedihan pasti akan datang ke bahagiaan”


– Dimas Dirgantara –
“namun jika sudah takdir, pelangi bisa saja tidak akan menghiasi langit lagi setelah hujan. Ada juga kesedihan yang tidak ada obatnya. Aku tidak suka pelangi. Kamu harus seperti hujan yang terus datang meskipun tau rasanya jatuh berkali kali itu sakit”


– Fadara Anastasha –
Entah apa yang sedang aku lamunkan saat ini. yang jelas, aku tidak bisa mendengar perbincangan perbincangan teman teman di kelasku. hingga seseorang menepuk bahuku.
“Dara” Aku tersadar dari lamunanku. ternyata dia Rio kekasihku.
“eh iya Yo. maaf, kenapa ya?” tanyaku ke Rio
“kamu ngelamun ya ra? nge-lamunin apa sih?”
“iya, maaf ya Yo” aku tersenyum lebar.
“gak papa kok ngelamun. asal jangan mikirin yang jorok jorok ya” goda Rio
“hehe enggak kok” aku tertawa renyah. mataku sempat menangkap Dimas yang memperhatikan kami berdua dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan. yang jelas, wajahnya terlihat murung.

Aku dan dimas berada di balkon kamarku. dimas memang sering main ke rumahku dari kecil sehingga ibuku tidak khawatir kalau dimas akan melakukan hal yang tidak tidak. malam ini sangat cerah hingga kami bisa melihat bintang di atas sana.
“dim, kamu pernah nonton film yang judulnya a little thing called love gak?” aku menghadap ke dimas yang sedang asik melihat bintang
“enggak. emangnya kenapa?”
“di film itu ada sebuah dialog yang menyebutkan salah satu metode dari 9 metode cinta. katanya kita harus mencari sebuah tempat dimana kita bisa melihat banyak bintang di sana. lalu gunakan jarimu untuk menghubungkan bintang bintang tersebut menjadi inisial orang yang kamu suka. nanti orang yang kamu tulis itu bisa merasakan apa yang kamu rasakan” jelasku panjang lebar
“memangnya itu bisa beneran ya?” tanyanya penasaran
“gak tau juga sih. tapi aku pengen coba”
“kamu mau nulis inisial R ya pasti”
“iya” aku tersenyum. dia juga tersenyum namun, senyumannya sedikit aneh kali ini.
“sudah malam ra. aku pulang dulu ya” dimas bangkit dari tempat duduknya. sebelum dia benar benar pergi, seperti biasanya dimas mengusap kepalaku dengan lembut.

Aku mengangkat jariku ke atas kemudian menghubungan bintang bintang itu membentuk huruf D.
Aku membaringkan tubuhku di kasur dengan hati hati. Aku menatap langit langit kamarku dan sesekali menarik nafas dalam dalam. Aku mulai memikirkan sesuatu yang terjadi dalam diriku. tentang Dimas.
Aku senang saat Dimas mendorong kursi rodaku, Aku senang saat Dimas memberiku kata kata yang puitis, Aku senang saat Dimas menatapku dengan tatapan lembutnya, Aku senang saat Dimas mengelus kepalaku, Aku senang semua yang dilakukan Dimas. entah ini perasaan apa aku tidak tau. semuanya tersimpan di ruang spesial di hatiku. Aku rasa aku menyukai Dimas. Tapi bagaimana mungkin? Aku sudah mempunyai Rio di hatiku. Namun, perasaanku terhadap Rio hanya seperti layaknya seorang sahabat. Sedangakan Dimas, dia adalah seseorang yang spesial dalam hidupku.

Siang hari yang seharusnya panas tiba tiba mendung. Dimas duduk di balkon kamarnya sambil memperhatikan setiap tetes butiran air yang turun membasahi bumi.
“Hujan. Dara sangat menyukai ini” Ujarnya pelan. Dimas memperhatikan Tiket pesawat di meja nya. tiket menuju ke London.
“Sepertinya benar kalau takdir sudah berkata, pelangi tidak akan pernah muncul kembali. kesedihan yang tidak ada obatnya.” Dimas memperhatikan setiap foto yang ada di albumnya saat bersama Dara.
“Aku harus menjadi hujan yang selalu datang meskipun tau rasaya jatuh berkali kali itu sakit”

Hatiku berdegup kencang saat ingin membicarakan ini dengan Rio. aku harus mengatakan yang sejujurnya bahwa aku sudah tidak memiliki perasaan terhadapnya. mungkin yang dulu itu hanya rasa kagum. aku sudah membuat janji dengan rio untuk bertemu di taman berhubung ini adalah hari minggu.
Aku mendorong kursi rodaku mendekati Rio yang sudah duduk di salah satu kursi taman untuk menungguku.
“hmb..” Aku berdehem pelan. rio langsung berbalik menghadapku.
“Dara. Ada apa ya?” Rio langsung menanyakan apa tujuanku mengundangnya kemari.
“rio, terimakasih kamu sudah pernah membuat moment indah di hidupku. aku sangat menghargai itu dan tidak akan menghapusnya dari ingatanku. tapi maaf, hubungan kita sampai di sini saja” Aku menarik nafas dalam dalam kemudian menghembuskannya dengan perlahan.
“iya aku tau ra. selama ini yang kamu cinta adalah Dimas” Ujarnya. aku sedikit terkejut dengan pengakuan Rio
“Kamu tau itu?” Rio hanya mengangguk kemudian tersenyum.
“kamu harus bilang sebelum terlambat ra” Aku mengernyitkan dahiku bingung
“terlambat? maksud kamu apa yo?” Aku mulai panik
“Hari ini Dimas akan berangkat ke London bersama kedua orang tuanya. Satu jam lagi pesawatnya akan berangkat dan dimas saat ini sudah ada di bandara” Aku benar benar terkejut. kenapa dimas dimas tidak memberitahuku? Keringat dingin keluar dari badanku. aku tidak mau berpisah dengan Dimas.
“hah? Rio tolong antar aku ke sana. aku mohon” Panik. aku sangat panik.
“baiklah. ayo naik ke mobilku. aku bantu kamu” Rio pun mendorong kursi rodaku menuju ke tempat mobilnya di parkir.

Rio mendorong kursi rodaku di bandara yang luas ini. mataku terfokus untuk mencari satu orang yaitu Dimas. 15 Menit Lagi pesawatnya akan berangkat. Rio pun dengan tergesa gesa mendorong kursi rodaku ke ruang tempat biasanya para penumpang menunggu sebelum pesawat berangkat. Dari kejauhan aku bisa melihat Dimas sedang berdiri sendirian melamun.
“Itu dimas. kamu kesana sendiri ya ra aku tunggu di depan” Ujar Rio
“iya. makasih ya yo” Rio pun meninggalkan aku sendiri. aku memutar roda kursiku untuk bisa menghampiri dimas.
“hai dim” sapaku yang sepertinya mengagetkannya.
“Da.. Dara”
“kamu kenapa gak bilang ke aku kalau mau ke London?”
“Aku gak tega sama kamu. nanti kamu sedih”
“tapi aku lebih sedih lagi kalau kamu kayak gini. main rahasia rahasiaan.”
“maafin aku ra” ujarnya lirih. dimas menyamakan tingginya dengan ku.
“Dim, aku nyaman sama kamu, Aku suka sama kamu, aku.. aku cinta sama kamu. aneh memang kalau wanita yang mengungkapkan lebih dulu, entah kamu mau bilang aku ini seperti apa, tapi aku” Belum selesai aku berbicara tiba tiba dimas menempelkan jari telunjuknya di mulutku.
“ssttt.. Aku juga cinta sama kamu Fadara Anastasha” Dimas menatapku dengan tatapannya yang sangat menenagkan.
“tapi kamu mau pergi” Aku menunduk lesu.
“Pergi untuk kembali.”
“sekarang, Pelangi tak akan muncul lagi setelah hujan”
“Tunggulah pelangi itu datang kembali. lalu, kesedihanmu akan hilang” Aku tersenyum mendengar kata kata yang di ucapkannya. Dimas langsung memelukku, akupun membalas pelukannya.
“Hujan berjanji akan menunggu sang Pelangi”

TAMAT

 

 

 

 

 

 

 

DIMENSI LAIN

Aku baru saja mulai menapaki jejak-jejak petualangan dalam mimpiku ketika jeritan keras yang berasal dari ruang tamu kudengar, aku langsung terbangun, jantungku berdebar tak menentu, kesadaranku belum benar-benar terkendali, mataku masih memandang samar-samar. Dengan langkah gontai aku menuju ruang tamu yang entah kenapa mati lampu, kupaksa retinaku agar terbiasa secepat mungkin dengan keadaan sekitarku. Klik! Lampu menyala dan hal pertama yang menjadi titik fokus pandangku adalah keadaan ruang tamu amburadul bagai kapal pecah, sofa terkoyak sana sini, dua buah lampu hias pecah berserakan di lantai, dan yang paling mengerikan yaitu darah berceceran di semua tempat, dinding yang dicat putih, kini bercampur darah. Aku mematung, otakku tak bisa berkompromi dengan apa yang kulihat, aku gemetar hebat.
Aku kumpulkan sisa-sisa keberanianku untuk mencari sumber daripada ceceran darah itu. Aku melangkah perlahan dan pelan, ada bekas pijakan di samping sofa menuju ke dapur. Kuputuskan untuk mengikuti jejak itu, makin mendekati dapur, darah yang menjadi jejak pijakan itu semakin mengental dan banyak. Bau amis mulai menusuk hidung hingga perutku mual rasanya. Keringat membasahi area pelipis dan dahiku bercampur dengan kecemasan tentang hal apa yang sedang terjadi menimpa keluargaku.
Di pintu dapur, aku mulai berjalan sepelan mungkin ke arah gudang yang terletak hanya beberapa langkah dari tempatku berdiri, pintunya sengaja dibikin mirip dengan pintu lemari untuk mengecoh siapa saja yang baru datang di rumah kami. Aku benar-benar takut kali ini. Aku mengintip dari celah pintu yang tidak terlalu besar.
Tiba-tiba ada sesuatu yang berjalan memasuki dapur, suaranya terdengar sengau dan berat, kakinya berbulu hitam lebat, cakar hitam yang tajam, dan oh dia menyeret sesuatu. Sesuatu itu adalah Sepupuku Linda yang menginap di rumahku. Diangkatnya Linda ke atas meja makan di tengah ruangan, perutku makin mual ketika melihat kepala Linda yang hancur setengah bagian, mata kirinya copot, wajahnya penuh cakaran. Oh my god! Makhluk apa ini sebenarnya, jeritku tertahan. Dengan cakarnya yang tajam, makhluk yang ternyata bertaring dan bermata merah itu mencabik tubuh Linda yang tergolek tak berdaya, makhluk buas itu melakukannya tanpa henti hingga usus Linda berpindah tempat, bercampur darah yang juga berceceran kemana-mana.
Kengerian kian menyelimutiku, aku melangkah mundur. Baru kali ini seorang Vera Zenny mengalami hal seperti ini, wajar saja bila ketakutanku memuncak. Praakk!! Bunyi keranjang yang jatuh karena tersenggol olehku, matilah aku. Jangan sampai makhluk buas itu menemukanku, keringat bercucuran deras ke seluruh tubuhku. Mataku fokus mengawasi celah yang tadi menjadi tempaku mengintip dan ada siluet yang bergerak maju ke arah gudang, ke arahku. Tuhan, tolong aku! Butiran hangat perlahan membasahi pipiku lagi dan lagi, hingga pintu itu benar-benar dibuka yang menimbulkan bunyi memilukan.
Kini di hadapanku berdiri makhluk bertubuh tegap dengan tonjolan tak beraturan di sekujur tubuhnya, mata merah menyala, taring tajam, cakar panjang penuh darah, dan bau tubuhnya sangat menyengat. Jejak-jejak darah masih ada di wajahnya yang bersisik. Aaaaaaaaaaaa!!!! Aku menjerit sekeras-kerasnya ketika tangan makhluk buas itu menyentuh pipiku, kulitnya begitu kasar. Namun tiba-tiba dilepas, aku mendengar namaku dipanggil.
Kupaksa mataku agar terbuka, kulihat ibuku tengah memandangku prihatin. Matanya meneduhkanku, “Kamu demam sayang, jadi mimpi yang aneh-aneh” ucap beliau lembut. Kemudian memelukku, aku tersenyum, nyaman. Kutepis semua rasa kekhawatiranku.
Semoga tak ada mimpi aneh lagi.

MUSUH VS TEMAN

Namaku Zilsilia aku bersekolah di smp nusa dan bangsa. Aku punya sahabat namanya Liana dan seorang musuh bernama Intan. Liana sangat baik dia selalu ada di suka maupun duka yang kualami. Sedangkan Intan dia dibenci teman-temannya dan suka mencium bau kaos kaki.
Suatu hari di kantin…
“Kau jangan asal tuduh begitu! Aku tidak sengaja!”. Intan berusaha membela diri.
“Bilang saja kau yang senggol es cendolku!”. Aku marah Intan menyenggol minumanku.
“Ada bu eli!”. Liana mencoba melerai perkelahianku dengan berbohong.
Intan berlari sambil berkata. “Lihat saja nanti zilsilia!”.
Aku jadi takut dengan ancaman itu.

Malam harinya Liana menginap di rumahku karena orangtuanya sedang ada di luar negeri untuk pekerjaan. Malamnya aku tertidur pulas tapi, terbangun pada pukul 3 subuh. Suara rintihan Liana! Aku ke ruang tengah, saklarnya tidak bisa dinyalakan, apa ini karena Intan?
Suara rintihan Liana semakin menyayat hatiku. Aku ke dapur asal suara itu, saklarnya rusak semua! Tiba-tiba ada yang memukul dari belakang dan aku pun pingsan.

Aku terbangun di dalam sebuah gubuk.
Aku melihat gadis berjubah hitam dengan topeng milik Intan! Liana, pasti disakiti olehnya!
“Di mana Liana Intan?!! Dasar kau..!”. Ucapanku terpotong oleh Intan, tapi suaranya seperti… “Brengsek hahaha!”. Suaranya Liana!.
“Liana? Apa maksudnya ini?!!”. Aku mulai menangis.
“Nona cantik, mungkin kau tidak tau tapi, aku tau!”. Ucap Liana.
“Orangtuamu membuat perusahaan orangtuaku bangkrut! Dia akan ditangkap polisi karena dianggap melakukan pemalsuan tanda tangan! Dia akan dieksekusi mati di luar negeri!”. Liana mulai menangis lalu tersenyum lagi. “Sekarang penggantinya adalah kau!”. Liana mulai mengangkat pisau dan…
Bruk!
Intan memukul Liana dengan balok kayu!
Kenapa dia mau menolongku?
“Aku sudah tau rencananya dari dulu! Ayo kita pergi!”. Intan melepaskan ikatan tali yang kuat itu. Lali kami pun kabur dari gubuk itu. “Kenapa kau mau menolongku?”. Tanyaku.
“Orangtuaku seorang mata-mata, Liana sudah lama dicurigai akan melakukan ini!”. Jawab Intan.

Aku melapor ke kantor polisi dan Liana akhirnya ditangkap polisi dengan bantuan orangtua Intan. Karena Liana kurang cukup umur untuk dimasukkan ke penjara, Liana dimasukkan di rumah sakit jiwa karena gila. Sejak saat itu aku berteman dengan Intan.
The End

 

 

 

 

 

KUE APEM FITRAH

Saya mengenalnya sudah cukup lama. Dan saya bukanlah tipikal orang yang pilih-pilih dalam berkawan. Karena saya menyadari setiap manusia adalah terlahir ke dunia ini sesuai fitrahnya. Saya berprinsip, jika saya bisa mengambil manfaat dari setiap relasi dari kalangan yang saya kenal, mengapa saya tidak bisa memberi manfaat juga kepada mereka?
Selama perjalanan menyusuri waktu hidupnya inilah, begitu banyak “warna” yang mewarnai hidupnya. Satu rahasia hati terdalam –dari sosok yang terlihat periang, sosok yang memandang hidup dengan penuh percaya diri dan mandiri– yang akhirnya ia ceritakan kepada saya.
Dan saya menuliskan apa yang dikatakannya ini melalui gaya penyampaian tulisan ‘narasi’ “Aku”.
Aku lahir dan dibesarkan dari keluarga yang mapan. Orangtuaku hanya memiliki dua orang anak. Dan aku adalah si bungsu. Dan kakak aku satu-satunya adalah perempuan. Aku dan dan kakakku hanya berbeda umur satu tahun. Keakraban kami sebagai kakak-beradik begitu dekatnya. Kami tidur satu tempat tidur, bermain mainan yang tidak pilih-pilih. Mainan kakakku sering aku gunakan saat kami bermain. Bahkan, boneka kakakku sering menjadi teman tidurku saat kami sudah lelah bermain.
Mama Papaku begitu sibuknya bekerja, hingga yang mereka perhatikan hanya mencukupi kebutuhan sandang, pangan kami saja. Tapi kurang memperhatikan perkembangan kejiwaan kami, anak-anaknya. Hingga aku beranjak remaja pun, mereka tidak berubah.
Satu kesalahan yang aku pun tidak menyadari hingga aku beranjak dewasa. Ditambah juga akibat dari pergaulanku saat dewasa semakin menjadikan aku merasa bersalah dengan “sesuatu” yang ada di tubuhku.
Hingga aku bekerja dan mendapat porsi gaji yang lumayan akibat bantuan dari relasi Papa, “sesuatu” yang aku rasakan aneh itu belum mau juga pergi dari pikiranku juga hatiku, bahkan semakin meraja. Aku pun berusaha mencari referensi-referensi –yang salah– untuk mengetahui “Mengapa aku terjebak dalam tubuh yang salah ini”.
Setelah aku memahami apa “sesuatu” yang aku alami, aku pun berusaha “menyelesaikan” permasalahanku dengan kemampuanku. Aku bekerja, punya penghasilan. Itu (uang) dapat menyelesaikan masalahku. Saat itu, karena merasa sudah begitu yakin bahwa dengan “cara itu”, permasalahanku dapat selesai dan aku bisa mulai merasakan pikiran dan jiwaku menjadi tenang dan “terbebas” dari jebakan tubuhku ini.
Singkat cerita, aku pun menggunakan “cara itu” dan berlalulah waktu dengan pikiran dan jiwaku yang beberapa saat merasa nyaman. Beberapa tahun aku menapaki hidup dengan tubuh baruku, cemoohan kuacuhkan dari lingkungan sekitar.
Hanya saja, beberapa waktu belakangan ini, hatiku terketuk dan ini membuatku merenungi kembali “sesuatu” dan “cara itu”. Aku menyadari, aku sudah salah mengambil pilihan hidup, dan salah menafsirkan apa kehendak Tuhan atas diriku. Bahwa, sebenarnya segala sesuatu sudah ditetapkan-Nya. Begitu juga dengan diriku. Jika dulu aku menyadari, tentu aku tak ‘kan mengambil keputusan besar yang serampangan itu.
Aku tidak bakal mendapatkan cinta seutuhnya sesuai fitrahku sebagai manusia. Dengan keadaanku yang sekarang, aku akan selalu mengalami apa yang disebut “cinta yang salah”, jika pun aku menikah. Selain itu, aku juga tidak akan mampu mengalami kebahagiaan murni layaknya mereka yang sudah sejak lahir ditakdirkan dengan tubuh dan jiwanya.
Kini… aku menyesal… tapi, nasi sudah menjadi…

Maaf, narasi “Aku”-nya saya cukupkan sampai di sini, sebab apa yang dia ceritakan tentang apa penyesalannya, saya perlu menggunakan gaya bahasa lain supaya lebih santai dibaca.
Sebut saja dia, Mawar. Jadi, Mawar itu menyesal, setelah ia memutuskan membeli. Ya, ia ibarat membeli kue apem, tapi… setelah ia membayar harga untuk kue apem yang diinginkannya, ia juga harus menukar dengan pistol airnya. Ditambah lagi, harga kue apem yang diinginkannya mahal, lebih mahal dari harga kue apem umumnya.
Setelah ia mendapatkan kue apem dan kehilangan pistol airnya, ternyata, ia harus merogoh koceknya lebih dalam lagi. Sebab untuk mendapatkan hasil yang sempurna, dibutuhkan lagi satu proses yang memakan waktu dan biaya. Sebab kue apem itu ternyata dijual terpisah.
Dan kini, Mawar menyesal… pistol air sudah menjadi kue apem. Namun, jika bisa dan mampu, marilah kita ikut membantu, atau mencegah agar supaya penyesalan itu tidak meliputi hati para Mawar yang lain.
Pelajaran yang bisa kita petik dari kisah fiktif ini adalah:
1. Segala yang diciptakan Tuhan sudah sesuai fitrahnya.
2. Renungi lagi, apa hakikat kita, manusia, diciptakan dan membiak di muka bumi ini.
3. Biar bagaimanapun, “kue apem” original ‘asli’ masih lebih enak rasanya, dan kita bisa membeli dengan harga ikatan sakral pernikahan dan penuh cinta yang fitrah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HUJAN MENYATUKAN KITA

Teeet… teeeeet… teeeeeet…
Waktu menunjukkan jam 14.00 WIB tapi hujan masih saja belum teduh. Aku menunggu. Teman-temanku sudah mulai pulang, ada yang dijemput ada yang langsung pulang karena mereka membawa jas hujan. Dengan rasa menyesal kenapa tadi pagi aku tidak membawa jas hujan tadi pagi, biasanya aku selalu membawa dan kutaruh di dalam bagasi motorku. 1 jam menunggu masih saja hujam belum reda. Di depan kelas hanya ada seorang dan di depan kelas seberang hanya ada seorang, tetapi dia cowok. Cowok itu tersenyum padaku, aku membalas senyumnya.

Aku masih berdiri di depan kelas sambil memainkan tangan dan bersendu. Aku menengok ke arah kelas seberang. Cowok itu sudah tidak ada. Aku beranggapan bahwa dia sudah pulang dan sekarang hanya ada aku disini. Tiba-tiba ada tangan yang menepuk pundakku. Aku terkejut dan reflek menarik tangan itu dan membantingnya hingga terjatuh ke lantai.
“aduh” kata cowok itu sambil memeang pinggangnya
“ha, kamu? Adu duh maaf kamu sih ngagetin” sambil membantu dia bangun
“iya maaf. Wih kamu kerannya bisa kaya gitu” pujiannya terhadapku
“ah biasa aja”
“kamu ikut ektrakuliuler tapak suci ya?”
“iya kak aku ikut ektra tapak suci”
“wah keren juga ya, cewek berkerudung, alim kaya kamu ikut kegiatan yang menantang kaya gini ya” dengan senyum manis
“makasih kak atas pujiannya. Oh ya kak mana yang sakit?” tanyaku dengan kawatir
“iya gak papa, santai aja. Aku Rama anak kelas 12 IPS 1” menjulurkan tangannya kepadaku
“aku Syita kelas 10 A. kenapa kakak gak pulang?”
“masih hujan, masak ya mau hujan-hujanan. Walaupun aku suka suara hujan tapi aku gak suka hujan-hujanan.” Jawabnya sambil menatap hujan yang tak kurun reda
“kalau aku malah suka hujan, suka suaranya juga sih. Menurut aku hujan itu tenang, dan damai”
“iya bener hujan itu damai bikin nyaman”

Gak terasa kami ngoblor begitu lama. Hujan pun akhirnya reda. Kami memutuskan untuk pulang. Kami jalan menuju parkiran bersama. Aku nyari kunci motor di tas begitupun dia. Aku menyalakan motor, berusaha, berusaha dan berusaha.
“kenapa tak motornya gak nyala?” tanyanya sambil turun dari motornya membantu aku
“iya kak, gak tahu nih lagi ngambek mungkin motornya.”
Dengan segala usaha dia membantuku untuk menyalakan motor, tetepi semua usahanya gagal. Aku ada niatan untuk meminjam hp dari dia untuk menghubungi ayahku yang di rumah kalau motorku mogok. Aku memberanikan diri.
“hmm… kak, ada hp gak? Pinjem boleh?” kataku dengan ragu-ragu
“iya boleh ini.”
“makasih kak, pinjem dulu ya bentar.”
Aku mencoba menghubungi ayahku untuk menjemput dan meminta bantuan. Berkali-kali aku mencoba, sama saja hasilnya tidak ada jawaban. aku mengembalikan hp ke dia.
“gimana ta? Udah nelponnya?”
“gak kak, udah aku coba berkali-kali tapi gak keangkat mungkin ayah lagi gak di rumah juga.”
Tiba-tiba ada seorang polisi yang gagah dan masih muda menghampiri kita berdua. Maklum sekolahku sampingan dengan kantor polisi.
“eh Rama, kok belum pulang? Kenapa?” tanya polisi itu kepada Rama yang terlihat sudah akrab dengannya
“oh ya kak, ini motor temen aku mogok gak tahu tuh kenapa.”
Semuanya Rama jelaskan kepada polisi gagah itu. Polisi itu menyuruh Rama mengantarku pulang, sedangkan motorku beliau yang tanggung, dibawanya ke bengkel. Rama menyetujui itu. Aku pun tidak bisa menolak, karena waktu sudah semakin sore.

Hingga perjalanan hampir setengah jam kami hanya terdiam, sibuk dengan pkiran kita masing-masing. Hingga akhirnya Rama yang mulai ngomong.
“Ta rumah kamu sebelah mana? Masih jauh gak?”
“masih ada 15 menitan lagi gak. Kenapa kak? Kakak lagi buru-buru ya? Ya udah kak, aku turun disini aja gak papa kok” jawabku dengan rasa bersalah karena aku membonceng dia
“gak ta, kalau masih jauh kita berhendi dulu yuk ditaman kita ngobrol-ngobrol aja dulu”
“terserah kakak aja”
“ya udah kita berhenti di taman dulu ya?”
“iya kak.”

Kami berhenti di taman untuk beristirahat sejenak dan ngobrol-ngobrol.
“kamu selain ikut ektrakulikuler tapak suci, ikut apa lagi Ta?” tanyanya penasaran
“ikut drumband kak, kalau kaka sendiri ikut ektra apa?”
“wih kamu jago main alat musik juga ya. Kalau aku ikut paskibra..”
“pasti ada cita-cita pengen jadi polisi kalau gak TNI ya kak?”
“kenapa emang?”
“biasanya kan kalau yang suka paskibra itu cita-citanya kalu gak polisi ya TNI, pokoknya aparat Negara lah. Keren tau kak jadi polisi atau TNI itu gagah, pemberani. aku seneng banget deh kalau ada yang berpakain polisi ataupun TNI. Kagum aku sama mereka.”
“oh pantes aja tadi kamu lihat kak Dani sampe segitunya.”
“oh ya aku juga mau tanya nih kak, penasaran soalnya. Tadi tu temen kakak?” tanyaku penasaran
“oh yang tadi itu, dia kakak sepupu aku. Kenapa emang kamu suka sama dia?” dengan nada meledek
“oh pantes sama-sama ganteng hehhe.”
“berarti aku ganteng dong menurut kamu.”
Kami lupa waktu karna keasikan ngobrol. Suara adzan magrib pun berkumandang. Segera aku tersadar.
“eh kak udah adzan magrib nih kita ke mushola dulu yuk untuk sholat.”
“oh ya udah adzan, ya udah ayuk.”
Segera Rama dan aku menuju mushola terdekat untuk sholat. Selesai sholat kami memutuskan untuk langsung pulang. Rama mengantarku sampai depan rumah. Dia berpamitan menadakan akan pulang. Dia sempet mengucapkan “sampai ketemu besok ya Ta” padaku.

Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan naik ojek karena motorku masih dibengkel. Tepat setelah aku membayar ojek Rama tiba dengan sepeda motornya dan mengucapkan selamat pagi padaku. Aku menunggunya untuk memarkirkan motor. Kami berjalan berdua menuju ruang kelas.
Jam menunjukkan pukul 09.15 itu artinya jam istirahat berlangsung. Aku keluar kelas menuju kantin untuk membeli makanan ringan. Sampai di depan kelas, aku terkejut dengan adanya Rama. Dia tiba-tiba saja sudah ada di depan kelasku. Aku menyapanya dan menanyakannya kenapa tiba-tiba ada disini. Kami menuju kantin bersama. Rama memesankan makanan dan minuman buat aku. Kami ngobrol. Dia menawariku untuk mengantarkan pulang. Tapi aku mengalhkan perhatiannya dengan menanyakan sepeda motor aku yang ada di bengkel.
Bel sudah berbunyi tanda pulang sekolah tapi aku masih ada di dalam kelas. Aku tidak langsung pulang karena ada ekstra tapak suci nanti jam 3. Aku sendirian di dalam kelas karena yang lain sudah pada pulang. Rama datang padaku.
“kamu gak pulang Ta?”
“gak kak, aku masih ada ektra tapak suci nanti jam 3. La kakak sendiri kenapa gak pulang?”
“oh aku, gampanglah kalau itu.” Jawabnya santai

2 bulan aku lewati hari-hariku bersamanya. Kami semakin dekat. Malah ada yang bilang bahwa kami sudah resmi berpacaran. Aku menanggapi semuanya dengan senyum. Tapi untuk akhir-akhir ini aku merasa ada yang beda. Aku merasa sangat nyaman sekali berada di dekatnya, aku selalu deg-degan saat dia bicara sama aku. Aku merasakan kasih sayangnya padaku.
Suatu malam aku dijemput olehnya untuk makan malam bersama. Entah kenapa aku kesulitan untuk memilih baju yang akan kupakai untuk nanti. Hingga pilihannku jatuh pada baju warna merah, warna kesukaan aku. Aku dandan cantik malam itu. Sesampainya di tempat makan, aku diajaknya ke tempat yang sudah dia pesan yaitu di pojok deket kolam. Di tengah-tengah kami makan, ada pelayan yang menbawakan coklat berbentuk hati dan memberikannya padaku.
“selama ini aku merasa nyambung ngobrol sama kamu, nyaman sama kamu, setiap aku teringat kamu aku selalu bersemangat untuk melakukan apa saja. Aku ingin kamu menjadi udara bagiku yang selalu ada di setiap helai hafasku. Kamu mau gak menjadi udaraku?” katanya smabil memengang kedua tanganku
“jujur selama ini juga aku nyaman sama kamu, seneng bisa sama kamu. Dan aku… aku mau menjadi udaramu yang selalu ada di setiap helai nafasmu.”
Dengan seketika hujan pun turun. Seakan mengetahui kebahagiaan kami dan merestui kami berdua. Aku percaya bahwa hujan bukan hanya membawa kerugian tetapi juga membawa keberuntungan buktinya aku dan Rama dipertemukan pertama kali oleh hujan dan kini kami dipersatukan dalam ikatan saling menjalin kasih pun dengan adanya hujan. Aku dan Rama lebih lebih dan lebih lagi menyukai hujan dan suaranya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

AKU

Aku adalah Nisa, seorang gadis yang lemah, aku terlahir dari keluarga yang sederhana. Ibuku bekerja setiap paginya sebagai penjual kue. Beliau sendiri harus menafkahi aku dan kedua adikku karena ayahku sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Aku anak pertama dari 3 bersaudara. Dengan semangat ibu bekerja, aku tamat dari Akademi Keperawatan. Sebelum aku tamat kuliah, aku selalu bertekad untuk membantu ibu pergi merantau ke negeri orang untuk mencari pekerjaan agar bisa meringankan bebannya, dan ibuku pada saat itu tidak mengizinkanku pergi, beliau merasa bahwa aku tidak bisa mandiri, beliau selalu bilang kalau di negeri orang itu kehidupan keras, lebih keras dari ibu tiri. Tapi itu tidak menyurutkan semangatku untuk pergi. Setiap hari aku selalu meyakinkannya dan karena aku terus meminta akhirnya aku diizinkan oleh ibu.
“Percaya samaku bu, aku pasti bisa membahagiakanmu!” kataku kepada ibu.
Ibuku hanya bisa menangis, memelukku dengan penuh kasih sayang, dalam hati penuh harap aku berkata, aku pasti akan menggantikan tangisnya dengan tawa kebahagiaan.

Sesampaiku di perantauan, aku langsung mencari tempatku untuk tinggal, dan tidak terlalu sulit bagiku untuk mencarinya karena kebetulan yang kutanya itu ada satu kamar yang kosong sehingga aku bisa langsung membereskan barang bawaanku. Merasa sangat bersyukur karena Tuhan memberi aku kemudahan. Aku mandi dan langsung beristirahat. Hari pertama di perantauan suasana dan cuaca sangat jauh berbeda, sehingga membuatku aneh, tapi dalam hati lama kelamaan pasti juga aku akan terbiasa.
Keeseokan harinya aku mempersiapkan lamaranku ke rumah sakit sebanyak-banyaknya. Setelah aku melamar di berbagai rumah sakit, aku sempat putus asa dan putus harapan karena selama sebulan tidak ada satu pun panggilan. Dan aku menyembunyikan semua ini dari ibu karena aku takut beliau mengkhawatirkanku. Di sela-sela penantianku, aku terus mencoba untuk tetap semangat, menguatkan diri dengan berdoa, dan tetap melamar di rumah sakit yang lain. Dan puji Tuhan selama penantian satu bulan lebih akhirnya aku dipanggil di satu rumah sakit yang katanya terkenal di kota ini. Aku diterima dengan gaji yang cukup membuatku mengelus dada, dan pada saat itu juga aku langsung mengabari ibu di kampung.
“Ibu, aku sudah diterima bekerja di satu rumah sakit”. Kataku dengan bahagia
Ibuku mendengarnya sangat senang dan berpesan “Iya nak, ibu sangat senang mendengarnya, bekerjalah dengan baik dan setulus hati!”
Kata-kata ibu membuatku terharu dan aku pasti akan melakukan pesan ibu, aku tidak akan mengecewakannya.

Hari pertama bekerja, aku merasa sangat lelah karena mungkin tidak terbiasa dengan jam kerja dengan waktu 8 jam dan juga harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman sekerja. Aku harus terbiasa merawat pasien selama itu. Tapi itu semua itu tidak menyurutkan semangatku karena ibu dan kedua adikku, karena aku sudah berjanji untuk membahagiakan mereka.
Setiap akhir bulan aku selalu mengirimkan uang kepada ibu untuk membantu sekolah adik-adikku dan biaya hidup di kampung. Aku selalu bilang sama ibu agar berhenti saja bekerja sebagai penjual kue, tapi ibuku ngotot tidak mau, beliau tetap bekerja setiap paginya menjajakan kue dari rumah ke rumah sebelum matahari menampakkan wajahnya. Aku kehabisan akal untuk merayunya, dalam hati mungkin ibu sudah terlalu terbiasa dan terlalu nyaman dengan pekerjaan yang digelutinya sedari dulu.
Setelah 3 tahun lamanya aku bekerja, banyak pengalaman yang aku dapatkan, banyak pujian dan banyak juga omelan dari pasien yang terkadang membuatku tidak enak hati. Tapi apa dayaku, aku hanya bisa berdiam diri dan berusaha memperbaiki diri karena ini sudah menjadi profesiku. Aku akan terus berjuang untuk menjadi yang terbaik di mata ibuku, saudara-saudaraku, teristimewa di mata Tuhan. Bersyukur pada Tuhan yang tidak berhenti untuk memberiku ujian dan masalah sehingga membuatku belajar untuk selalu pasrah kepadaNya.
Di tengah pekerjaanku, suatu hari ada seorang ibu yang sudah lima hari aku rawat, dia sudah terbiasa melihatku, kami pun mengenal satu sama lain. Karena beliau sudah mengenalku dengan baik, mengetahui latar belakangku sehingga dia pun tidak ragu untuk mengenalkanku dengan seorang laki-laki.
Dia berkata, “Suster, mau gak aku kenalkan sama saudaraku?”
Aku terdiam dan sempat ragu mau menjawab ia atau gak.
Aku bilang, “Hmmm, boleh bu.”
Beliau pun langsung minta nomor hpku dan juga memberikan nomor laki-laki itu yang sama sekali aku belum tau wujudnya tapi aku mencoba untuk berpikir positif.

Selama dua minggu kurang lebih kami hanya berkenalan melalui telepon dan sosial media karena sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga tidak bisa menyempatkan waktu untuk bertemu muka dengan muka.
Pada hari Minggu sepulang ibadah, dia langsung menjemputku ke kos karena aku libur tidak ada shift, sehingga memudahkan kami untuk bertemu. Aku bersalaman dengannya sambil dia menyebut namanya Erri meskipun aku sudah tahu sebelumnya.. Pada pandangan pertama entah kenapa aku gak suka melihatnya. Tapi pada saat mengobrol untungnya masih bisa nyambung. Kami saling menceritakan kehidupan keluarga, pengalaman pribadi masing-masing, bagaimana di tempat kerja, dan banyak hal lain yang membuat kami sampai lupa waktu dan jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 22.00. Kami pun beranjak pulang, dia langsung mengantarkanku ke kos dan dia pulang ke rumahnya

Keesokan malam, sepulang kerja dia mampir ke kosku, karena dia pengen ngobrol, bosan di rumah alasannya. Dan anehnya bukan hanya malam itu saja, malah dia terbiasa setiap malamnya mampir di kosku setelah pulang dari tempat kerja meskipun itu sudah pukul 22.00, terkadang aku bohong bilang aku kerja padahal sebenarnya aku di kosan karena setiap bertemu pasti aku merasa jengkel dan tidak enak hati.
Setelah 3 bulan lebih kami pendekatan, saling mengenal satu sama lain, suatu malam dia menyatakan perasaannya,
“Nes, aku mau bilang sesuatu dan ini sudah lama aku pendam, dan selama aku memendamnya dadaku terasa sesak, setiap aku melihatmu ada rasa getaran yang aku tidak tahu darimana asalnya dan perasaan ini sudah lama semenjak kita masih kenalan lewat hp. Aku sayang sama kamu, kamu mau gak jadi pacarku?”
“Kasi aku waktu dua minggu untuk bisa menjawabnya,” kataku dengan santai.
“Iya, aku sabar dan pasti menunggu,” jawabnya.
Dia sama sekali gak marah, malah hanya bilang sabar dan selalu menunggu, dalam hati terbesit apakah dia mungkin tulus dan serius? Tapi aku tetap gak mau langsung kasih jawaban pada saat itu. Meskipun perhatian, kasih sayang, dan pengorbanan yang sudah ditunjukkannya kepadaku belum ada sedikit pun tumbuh rasa suka dan sayangku sama dia.

Aku mencoba untuk memikirkan apa jawaban utuk membalas perasaannya. Kalau aku menerima, sampai detik ini pun aku belum menyukainya, tapi kalau aku menolak sama saja aku tidak menghargai semua perjuangannya. Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk menerimanya sebagai pasangan kekasih dengan harapan semoga dengan sering bertemu, menghabiskan waktu bersama tumbuh rasa sayang dan cintaku sama dia.
Dua minggu berlalu, kami pun bertemu, pada saat itu, dia sempat bimbang dan takut mendengarkan jawabanku ketika aku bilang,
“Gak, gak, aku gak mau menolak.”
Dan langsung spontan dia memelukku, dari wajahnya terpancar kebahagiaan yang menurut aku itu tulus dan tidak dibuat-buat. Berbeda dengan laki-laki yang mendekatiku sebelumnya yang hanya memberi janji-janji palsu.

Dua minggu bersama sempat aku dan dia berantam karena selama pacaran aku terlalu cuek dan dia merasa tidak dianggap dan tidak diperhatikan. Aku mengakui semua itu, tapi apa dayaku aku sudah berusaha mencoba tapi aku belum bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Ditambah lagi mantanku masih sering menanyakan kabar setiap hari yang sering membuatku susah untuk move on karena selama aku pacaran dengannya aku terlalu mencintainya tapi apa yang aku dapatkan dia selingkuh dengan wanita lain sehingga membuat hubungan kami kandas. Walaupun tidak ada lagi hubungan tapi dia masih sering menghubungi aku dan anehnya aku lebih mencintainya daripada Erri. Betul kata orang bijak bahwa memang jarak tidak menentukan seseorang setia atau tidak namun yang dibutuhkan adalah rasa percaya dan rasa memiliki dengan pasangannya. Aku tidak pernah menceritakan ini kepada Erri yang seharusnya dia tau semuanya tapi pernah suatu kali dia tidak sengaja membuka Hpku dan membaca semua chattinganku dengan mantanku. Dia terdiam dan menangis, melihat itu aku merasa bersalah besar dan aku hanya bisa minta maaf. Tapi jawaban yang aku peroleh dia bilang,
“Gak apa-apa sayang, aku tau kok kamu belum bisa sepenuhnya mencintaiku tapi aku mohon tolong beri aku sedikit tempat di hatimu, karena aku tulus mencintaimu dan tidak main-main.”
Aku kaget dan benar-benar terperanjat melihat sikapnya yang benar-benar membuatku ternganga. Dari masalah itu aku mulai belajar memberi hati, belajar untuk mencintainya, dan aku memutuskan kontak dengan mantanku karena aku tidak mau kejadian itu terulang kembali. Alhasil, sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama membuatku merasa nyaman dengannya sehingga tumbuh rasa sayang dan cintaku untuknya. Aku juga bisa merasakan bahwa dia semakin sayang dan semakin cinta bahkan terkadang perhatiannya berlebihan tapi dia mengatakan bahwa memang dia benar-benar tulus mencintaiku dan dia juga bilang kalau dia sama sekali tidak main-main.

Selama satu tahun kami menjalin hubungan, kami pun berencana untuk membawa hubungan kami ke jenjang pernikahan. Sebelum kami resmi menikah kami berkomitmen kelak setelah menikah akan bergereja di gerejaku karena gereja kami tidak sama tapi pemberkatan nikah akan dilangsungkan di gerejanya. Aku dan dia sama-sama setuju dan berjanji akan memberitahu orangtua masing-masing. Segala sesuatu kami persiapkan dengan baik agar semua berjalan dengan lancar dan semua harapan dan angan-angan dipermudah oleh Tuhan. Kami resmi menikah pada tanggal 01 Mei 2015 aku sangat terharu bahagia di hari pernikahanku, aku bisa melewati masa lajangku dengan penuh kebahagiaan. Begitu juga dengan ibu yang menangis bahagia melihat hari bahagiaku itu.
Selama setahun kami membina rumah tangga, kami dikaruniai seorang putri, bahagiaku lengkap dengan kehadirannya. Aku merasakan bahagia yang tidak bisa aku gambarkan. Aku tau bahwa setiap ada suka pasti juga ada duka yakni ketika mertuaku mengetahui bahwa kami tidak ibadah di gereja orangtuanya sehingga membuat ibunya berontak, marah sejadi-jadinya kalau aku itu tidak punya hati, bilang suamiku laki-laki yang takut istri, laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Untuk pertama kalinya aku merasa gagal, merasa bahwa berkeluarga itu tidak semudah yang aku bayangkan.
Dalam sepi aku termangu seakan tidak punya tujuan, seakan tidak ada tempatku untuk berteduh, tempatku untuk berbagi keluh kesah, tempatku untuk melampiaskan segala yang pahit di dalam hati. Sering aku bertanya kepada yang Maha kuasa mengapa harus aku yang menjalani semua ini, mengapa bukan orang lain, mengapa setiap aku melihat teman sebayaku yang juga sudah lebih duluan menikah dariku kelihatannya bahagia menjalani kehidupannya, sepertinya tidak ada yang kurang. Dan di setiap saat aku bertanya dan mengeluh hatiku sesak, menangis sejadi-jadinya. Tapi tidak pernah sekalipun jawaban yang pasti membuat aku bisa bertahan, yang bisa membuat aku kuat dalam menjalani proses hidupku. Yang membuat aku semakin sedih mengapa aku menjadi kambing hitam atas masalah ini seakan-akan belum ada pembicaraan sebelumnya, seakan-akan tidak ada komitmen, seakan-akan tiak ada pemberitahuan kepada orang tua masing-masing kalau setelah menikah akan beribadah di gerejaku. Aku merasa bodoh dan terperangah dengan masalah ini, untungnya ada ibuku yang selalu menguatkanku untuk tetap mendoakan suamiku dan selalu sabar untuk melalui semuanya.
Akhirnya, aku harus mengikuti suami dan mertuaku, tidak ada lagi yang dapat aku lakukan, selain mendoakan yang terbaik agar rumah tangga kami menjadi utuh sedia kala kami pertama membangunnya. Meskipun rasanya berat, namun aku harus menahan dan merasakan kepahitan, mau tidak mau aku harus menghormati suamiku yang telah aku pilih menjadi penolong dan pendamping hidupku untuk selamanya. Tidak ada kata menyesal saat masalah itu datang karena aku harus tetap melanjutkan hidupku.
Sampai detik ini ibuku yang selalu menjadi motivator bagiku, meski hidupku bagaikan badai dan gelombang yang tidak tahu arah. Namun, seperti biasa kata-kata emasnya selalu tergiang di otakku bahwa semua hal ada hikmah dari setiap masalah yang aku hadapi. Segala niat, harapan untuk keluargaku semua kuserahkan kepada sang Pemilik hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar