KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillahhirabbill ‘alamin kami panjatkan kehadirat Allah
Swt. Atas limpah ramat serta karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah
Mata Kuliah “Sejarah
Pendidikan Islam” ini dengan lancar dan pada waktu yang telah ditentukan.
Dalam kesempatan ini tidak lupa kami ucapkan banyak trima kasih kepada Ibu. Selaku dosen pembimbing dan kepada
seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas
dari kekurangan dan kelemahan sehingga saran dan kritik diharapkan untuk
menambah dinamika pemikiran Islam yang saat ini mulai tampak lemah di tengah –
tengah kehidupan bermasyarakat. Semoga amal baik kita semua dalam memberikan
kontribusi bagi bangkitnya pemikiran Islam di tengah masyarakat menjadi
investasi akhirat dengan keridhoan-Nya tentunya.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih dan mohon ma’af apabila ada
kekurangan atau kesalahan dalam mengerjakan tugas ini.
Bogor, Oktober 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dalam
sejarahnya, pendidikan Islam telah mengalami pasang surut. Dari zaman
Rasulullah saw. hingga tiga rezim sesudahnya (kekhalifahan Rasyidin, Daulah
Umaiyyah, dan Abbasiyah) masing-masing dengan karakteristik perkembangannya
yang beragam sesuai dinamika yang berkembang pada masa itu. Masa keemasan Islam
atau sering disebut peradaban Islam dalam bidang pendidikan ditancapkan pada
masa Daulah Abbasiyah. Sebuah rezim yang dalam sejarah Islam dinisbahkan dari
mana silsilah keluarga Nabi Muhammad saw., al-Abbas (paman Nabi). Kemajuan yang
pesat diperoleh dinasti Abbasiyah dalam berbagai bidang kehidupan pada masa itu
untuk sekedar membandingkan dengan peradaban Islam kini secara jujur diakui,
belum tertandingi.
Masa ini dengan
dimulai dengan berkembang pesatnyya kebudayaan Islam, yang ditandai dengan
berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan Islam dan madrasah-madrasah
(sekolah-sekolah) formal serta universitas-universitas dalam berbagai pusat
kebudayaan Islam. Lembaga-lembaga pendidikan, sekolah-sekolah dan
universitas-universitas tersebut nampak sangat dominan pengaruhnya dalam
membentuk pola kehidupan dan pola budaya kaum muslimin. Berbagai ilmu
pengetahuan yang berrkembang melalui lembaga pendidikan itu menghasilkan
pembentukan dan perkembangan berbagai macam aspek budaya kaum muslim.
2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah berdirinya Dinasti Abbasiyah…………?
2.
Apa tujuan
pendidikan pada masa Dinasti Abbasiyah….?
3.
Apa ilmu
pengetahuan yang berkembang pada masa Disanti Abbasiyah…..?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah Berdirinya
Dinasti Abbasiyah
Kesuasaan
dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebangaimana disebutkan
melanjutkan kekuasaan dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah
keturunan dari pada Al-Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah
Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan
penderiannya dianggap suatu kemenangan bagi idea yang dianjurkan oleh kalangan
Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah, agar jabatan khalifah diserahkan
kepada keluarga Rasul dan sanak-saudaranya. Tetapi idea ini telah dikalahkan di
zaman permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa
jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka
berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah mendapat
dukungan. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Tetapi,
orang-orang parsi yang masih berpengang pada prinsip hak ketuhanan yang suci,
terus berusaha menyebarkan prinsip tersebut, sehingga mereka berhasil membawa
Bani Hasyim ke tampuk pemerintahan. Pada pandangan publik umumnya, golongan
Alawiyin adalah lebih dekat kepada Rasulullah SAW, karena kedudukan Fatimah
yang menjadi anak baginda, dan juga karena keduduk an Ali yang menjadi sepupu
dan menantu baginda.
Kemudian karena
keutamaan Ali yang telah memeluk agama Islam lebih dahulu dari yang lain-lain
serta perjuangannya yang terkenal untuk menegakkan Islam. Tetapi, golongan
Abbasiyah setelah berkuasa lantas mengumumkan bahwa mereka lebih utama dari
Bani Hasyim untuk mewarisi Rasulullah karena moyang mereka ialah paman baginda
dan pasukan peninggalan tidak boleh diperoleh oleh pihak sepupu, jika ada
paman, dan keturunan dari anak perempuan tidak mewarisi pusaka datuk dengan
adanya pihak ‘ashabah.
Faktor-faktor
pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu :
1.
Banyak terjadi
perselisihan antara interen Bani Ummayah pada dekade terakhir pemerintahannya
hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kehalifahan dan harta.
2.
Pendekanya masa
jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah, seperti khalifah
Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.
3.
Dijadikan putra
mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang di kerjakan oleh Marwan bin
Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra mahkota.
4.
Bergabungnya
sebagai afrad keluarga Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang tidak
benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.
5.
Hilangnya
kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah.
6.
Kesombongan
pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir pemerintahannya.
7.
Timbulnya
dukungan dari Al-Mawali (non Arab)
Dari berbagai penyebab-penyebab di atas dan
dengan ketidaksenangan Mawali pada Binasti Ummayah mengakibatkan runtuhnya
dinasti dan berdiri Dinasti Abbasiyah hal ini dapat dilihat dengan bantuan para
Mawali dari Khurasan dan Persi. Misalnya, bergabungnya Abu Muslim al-Khurasani,
ia berhasil menjadi pemimpin di Khurasan yang pada awalnya di bawah kekuasaan
Ummayah.
2.
Perkembangan
Pendidikan dan Tujuannya
Sejak lahirnya
agama Islam, lahirnya pendidikan dan pengajaran Islam. Pendidikan dan
pengajaran Islam itu terus tumbuh dan berkembang pada masa khalifah-khalifah
Rasyidin dan dan masa Ummayah. Pada permulaan masa Abbasiyah pendidikan dan
pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di seluruh negara Islam, sehingga
lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya, tersebar dari ke
kota-kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba
menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat-pusat pendidikan, meninggalkan
kampung halamannya karena cinta akan ilmu penegtahuan.
Charles Michael
Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik Islam, penentuan sistem dan
kurikulaum pendidikan berada ditangan ulama, kelompok orang-orang yang
berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum,
bukan ditentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa. Agaknya, kesimpulan ini
tidak dapat dipertahankan dengan kenyataan kasus lembaga pendidikan Madrasah
al- Mustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara melakukan
kontrol terhadap pengaruh- pengaruh yang ditimbulkan oleh madrasah ini bahkan
juga melakukan investigasi metode pengajaran. Dengan intervensi semacam ini
dimungkinkan negara (State) menetapkan struktur kurikulum yang
dijalankan oleh lembaga-lembaga pendidikan dikalangan masyarakat luas.
Sekedar untuk
menetralisir perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton itu lebih ditujukan
pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk madrasah, seperti kuttab.
Sebab sistem pendidikan yang dioperasikan oleh madrasah ternyata memiliki
kepentingan-kepentinga tertentu, baik kepentingan mazhab fiqih, teologi, atau
kepentingan politis. Bahkan, dalam pendidikan klasik, madrasah itu dibangun
atas dasar wakaf seseorang yang dalam kebiasaannya memang menargetkan tujuannya
masing-masing.
Pada masa Nabi
SAW.masa khalifah-khalifah Rasyidin dan Ummayah, tujuan pendidikan satu saja,
yaitu keagamaan semata-mata. Mengajar dan belajar karena Allah dan mengharapkan
keridaanNya, lain tidak.
Pada masa
Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah bermacam-macam karena pengaruh masyarakat
pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Tujuan
keagamaan dan akhlak, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak didik
diajar membaca/menghafal Al-Qur’an, ialah karena hal itu suatu kewajiban dalam
agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama. Begitu
juga mereka diajar ilmu tafsir, hadis dan sebagainya adalah karena tuntutan
agama, lain tidak.
2.
Tujuan
kemasyarakatan, Selain tujuan keagamaan dan akhlak ada pula
tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu, supaya
mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh
kejahilian menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat
yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan makmur.
Ilmu-ilmu yang
diajarkan di madrasah-madrasah, bukan saja ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab,
bahkan juga diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan
masyarakat.
3.
Selain itu ada
lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan serta senanag dan
lazat mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa,
selain dari pada berdalam-dalam dalam ilmu pengetahuan. Mereka melawat
keseluruh negara Islam untuk menuntut ilmu tanpa mempedulikan susah payah dalam
perjalanan, yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai
keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu
pengetahuan.
4.
Disamping itu
ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum muslimin , yaitu tujuan kebendaan.
Mereka menuntut ilmu supaya mendapat penghiduapn yang layak, dan pangkat yang
tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini,
seperti tujuan setengah orang pada masa kita sekarang.
2.1. Berkembangnya Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam
Sebelum timbul
sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga pendidikan
formal, dalam dunia islam sebenarya telah berkembang lembaga lembaga pendidikan
Islam yang bersifat non formal. Lembaga lembaga ini berkembang terus dan bahkan
bersamaan denganya tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non
formal yang semakin luas. Di antara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang
bercorak non formal tersebut adalah :
1.
Kuttab sebagai
lembaga pendidikan dasar
Kuttab atau
maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat
menulis. Jadi katab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya Islam
Kuttab telah ada di negeri Arab, walaupun belum banyak dikenal. Diantara
penduduk Mekkah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah Sufyan Ibnu
Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhroh Ibnu Kilat.
Keduanya mempelajari di negeri Hirah.
2.
Pendidikan
Rendah di Istana
Timbulnya
pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat, adalah berdasarkan
pemikiran bahwa pendidikan itu hanya harus bersifat menyiapkan anak didik agar
mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Pendidikan anak di
istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab pada umumnya. Tetapi
rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja
dengan rencana pada kuttab-kuttab, hanya ditambah atau dikurangi menurut
kehendak para pembesaryang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk
menyiapkan anak tersebut secara khususuntuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab
yang akan dihadapinya dalam kahidupannya nanti.
3.
Toko-toko kitab
Pada
permulaannya masa Daulah Abbasiyah, di mana ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam sudah tumbuh dan berkembang dan diakui oleh penulisan kitab-kitab dalam
berbagai cabang ilmu pengetahuan, maka berdirilah toko-toko kitab. Pada mulanya
toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-ktab yang
telah ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu.
Mereka membeli dari para penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang
berminat untuk mempelajarinya. Dengan demikian toko-toko kitab tersebut telah
berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempatmenjual beli kitab-kitab saja,
tetapi juga merupakn tempat berkumpulnya para ulama, pujangga, dan ahli-ahli
ilmu pengetahuan lainnya, untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam
berbagai maslah ilmiah. Jadi sekarang berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan
dalam rangka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
4.
Rumah-rumah
para ulama (ahli ilmu pengetahuan)
Walaupun
sebelumnya ruumah bukanlah merupakan tempat yang baik untuk tempat memberikan
pelajaran namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaaan Islam, banyak juga rumah-rumah para ulama dan para ahli ilmu
pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal itu
pada umumnya disebebkan karena ppara ulama dan ahli yang bersangkutan yang
tidak mungkin memberikan pelajaran dimesjid, sedangkan pelajar banyak yang
berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan dari padanya. Diantara rumah ulama
terkenal yang menjadi tempat belajar adalah rumah Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ali
Ibnu Muhammad Al-Fasihi, Ya’qub Ibnu Killis, Wazir Khalifah Al-Aziz billah
Al-Fatimy, dan lain-lainnya.
5.
Majelis
atau saloon kesusasteraan
Dengan majelis
atau saloon kesusasteraan, dimaksudkan adalah suatu majelis khusus yang
diadakan oeh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majelis
ini bermula sejak zaman Khalifah Rasyidin, yang biasanya memberiikan fatwa dan
musyawarah dan diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pada masa itu adalah masjid.
Pada masa Harun
Al-Rasyid (170-193 H) majelis sastra ini mengalami kemajuan yang luar biasa,
karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunyai kecerdasan,
sehingga khalifah sendiri aktif didalamnya. Disamping itu ppada masa itu dunia
Islam memang diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan negara
berada dalam kondisi yang aman, tenagng dan dalam zaman pembangunan. Pada
masanya sering diadakan perlombaan antar ahli-ahli syair, perdebatan antar
fuqaha, dan diskusi di antara para sarjana berbagai macam ilmu pengetahuan,
juga diadakan sayembara diantara ahli kesenian dan pujangga.
6.
Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)
Sejak perkembangan
luasnya Islam, dan bahasa Arab digunakan sebagai bahsa pengantar oleh
bangsa-bangsa di luar bangsa Arab yang beragama Islam, dan terutama di
kota-kota yang banyak percampurannya dengan bahasa lain, masa bahasa Arab
berkembanga luas, tetapi bahasa Arab cenderung kehilangan keaslian dan
kemurnian. Orang-orang di luar bangsa Arab sering tidak bisa mengucapkan
lafaz-lafaz dengan baik, tidak tahu kaidah-kaidahnya sehingga sering salah
mengucapkannya. Bahasa Arab menjadi rusak dan menjadi bahasa pasaran. Oleh
karena itu khalifah-khalifah biasanya mengirimkan anak-anaknya ke badiah-badiah
ini untuk mempelajari bahasa Arab yang fasiih dan murni, dan mempelajari pula
syair-syair serta sastra Arab dari sumbernya yang asli. Banyak ulama-ulama dan
ahli ilmu pengetahuan lainnya yang pergi ke badiah-badiah dengan tujuan untuk
mempelajari bahasa dan kesusasteraan Arab yang asli lagi murni tersebut.
Badiah-badiah tersebut lalu menjadi sumber ilmu pengetahuan terutama bahasa dan
sastraArab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.
7.
Rumah sakit
Pada zaman
jayanya perkembangan kebudayaan Islam, dalam rangka menyebarkan kesejahteraan
di kalangan umat Islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh khalifah
dan pembesar-pembesar negara.rumah sakit tersebut bukan hanya berfungsi sebagai
tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik
tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka
mengadakan berbagai penelitian dan percobaab dalam bidang kedokteran dan
obat-obatan, sehingga berkembang ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu obat-obatan atau
farmasi.
Rumah sakit ini
juga merupakan tempat praktikum dari sekolah-sekolah kedokteran yang didirikan
di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula sekolah-sekolah kedokteran
tersebut didirikan tidak tterpisah dari rumah sakit. Dengan demikian, rumah
sakir dalam dunia Islam, juga juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
8.
Perpustakaan
Pada zaman
perkembanga ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, buku mempunyai nilai yang
sangat tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu
pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Orang dengan
mudah dapat belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam
buku. Dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan
penyebaran ilmu pengetahuan.
Para ulama dan
sarjana darri berbagai macam keahlian, pada umumnya menulis buku-buku dalam
bidangnya masing-masing dan selanjutnya untuk diajarkan atau disampaikan kepada
para penuntut ilmu. Bahkan para ulama dan sarjana tersebut memberikan
kesempatan kepada para penuntut ilmu untuk belajar di perpustakaan pribadi
mereka.
Di samping itu
berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari pera ulama dan
sarjana. Baitul Hikmah di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah Harun Al-Rasyid,
adalah merupakan salah satu contoh dari perpustakaan Islam yang lengkap, yang
berisi ilmu-ilmu agama Islam dan bahasa Arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan
yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-uku terjemahan dari
bahasa-bahasa Yunani, Persia, India, Qibty, dan Aramy.
Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia Islam pada masa jayanya, dikatakan sudah
menjadi aspek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dan sumber
pengembangan ilmu pengetahuan.
9.
Masjid
Semenjak
berdirinya di zaman Nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan
informasi berbagai masalah kehidupan kaum muuslimin. Ia menjadi tempat
bermusyawarah , tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama
dan informasi-informasi lainnya dan tempat menyelanggarakan pendidikan, baik
bagi anak-anak maupun orang-orang dewasa. Kemudian pada masa Khlifah Bani
Ummayah berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan,
terutama yang bersifat keagamaan. Para ulama mengajarkan ilmu di masjid, tetapi
majelis khalifah berpindah ke masjid atau ke tempat tersendiri.
Pada masa Bani
Abbasiyah dan masa perkembangan kebudayaan Islam, masjid-masjid yang didirikan
oleh pera penguasa pada umumnya dilengkapi dengan berbagai macam sarana dan
fasilitas untuk pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak, tempat-tempat untuk
pengajian dari ulama-ulama yang merupakan kelompok-kelompok (khalaqah), tempat
untuk bediskusi dan munazarah dalam berbagai ilmu pengetahuan, dan juga
dilengkapi dengan ruang perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu
pengetahuan yang cukup banyak.
Demikianlah
masjid dalam dunia Islam, sepanjang sejarahnya tetap memegang peranan yang pokok,
di samping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan, sebagai lembaga
pendidikan dan pusat komunikasi sesama kaum muslimin.
2.2. Sistem Pendidikan di Sekolah-Sekolah
Sebenarnya
timbulnya lembaga pendidikan formal dalam bentuk sekolah-sekolah dalam dunia
Islam adalah merupakan pengembangan semata-mata dari sistem pengajaran dan
pendidikan yang telah berlangsung di masjid-masjid, yang sejak awal telah
berkembang dan dilengkapi dengan sarana—sarana untuk memperlancar pendidikan
dan pengajaran di dalamnya.
Diantara
faktof-faktor yang menyebabkan berdirinya sekolah-sekolah di liar masjid adalah
:
1.
Khalaqah-khalaqah
(lingkaran) untuk mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan, yang di dalamnya juga
menjadi diskusi dan perdebatan yang ramai, sering satu sama lain saling
menggangu, disamping sering pula menggangu orang-orang yang beribadah dalam
masjid. Keadaan demikian, mendorong untuk dipindahkannya khalaqah-khalaqah
tersebut ke luar lingkungan masjid, dan didirikanlah bangunan-bangunan sebagai
ruang-ruang kuliah atau kelas-kelas tersendiri. Dengan demikian kegiatan
pengajaran dari khalaqah-khalaqah tersebut tidak saling menggangu satu sama
lain.
2.
Dengan
berkembang luas ilmu pengetahuan, baik mengenai agama mapun umum maka
diperlukan semakin banyak khalaqah-khalaqah (lingkaran-lingkaran
pengajaran), yang tidak mungkin keseluruhan tertampung dalam rruang masjid.
Disamping itu
terdapat faktor-faktor lainnya, yang mendorong bagi pera penguasa dan pemegang
pemerintahan pada masa itu untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai
bangunan-bangunan yang terpisah dari masjid, antara lain :
1.
Pada masa
bangsa Turki mulai berpengaruh dalam pemerntahan Bani Abbasiyah, dan untuk
mempertahankan kedudukan mereka dalam pemerintahan, mereka berusaha untuk
menarik hati kaum muslimin pada umumnya, dengan jalan memperhatikan pendidikan
dan pengajaran bagi raknya umum. Mereka berusaha untuk mendirikan
sekolah-sekolah di berbagai tempat dan dilengkapi dengan segala sarana dan
fasilitas yang diperlukan. Guru-guru digaji secara khusus untuk mengajar di
sekolah-sekolah yang mereka ajarkan.
2.
Mereka
mendirikan sekolah-sekolah tersebu, disamping dengan harapan untuk mendapatkan
simpati drrai rakyat umumnya, juga berharap mendapatkan ampunan dan pahala dari
Tuhan.
Para pembasar
negara pada masa itu, dengan kekayaan mareka yang luar biasa, banyak yang hidup
dalam kemewahan dan sering pula berbuat maksiat. Dengan mendirikan
sekolah-sekolah dan membiayainyya secukupnya, berarti mereka telah mewakafkan
dan membelanjakan harta bendanya di jalan Allah. Mereka berharap hal demikian
dapat menjadi penebus dosa dan maksiat yang telah mereka kerjakan. Kalau para
ulama dan para ahli berbagai ilmu pengetahuan banyak berbuat amal salaeh dengan
keahlian mereka masing-masing, maka mereka pun ingin berbuat yang serupa
sebagai imbalannya.
1.
Para pembesar
negara pada masa itu dengan kekuasaannya, telah berhasil mengumpulkan harta
kekayaan yang banyak. Mereka khawatir kalau nantinya kekayaan ttersebut tidak
bisa diwariskan keppada anak-anaknya, karena diambil oleh sultan. Anak-anak
mereka akan menjadi terlantar dan hidup dalam kemiskinan. Untuk menghindari hal
tersebut, mereka mendirikan madrasah-madrasah yang dilengkkapi oleh
asrama-asrama, dan dijadikan sebagai wakaf keluarga. Anak-anak dan kaum
keluargalah yang berhak mengurus harta kekayaan wakaf tersebut, sehingga
kehidupan mereka dengan demikian akan tetap terjamin.
2.
Disamping itu,
didirikannya madrasah-madrasah tersebut ada hubungannya dengan usaha untuk
mempertahankan dan mengembangkan aliran keagamaan dari para pembesar negara
yang bersangkutan. Dalam mendirikan sekolah ini, mereka mempersyaratkan harus
diajarkan aliran keagamaan tertentu, dan dengan demikian aliran keagamaan
tersebut akan berkembang ke masyarakat. Walau bagaimanapun motivasinya namun
jelas bahwa dengan berkembangnya madrasah-madrasah karena muslim in telah
mendapat kesempatan yang luas untuk mendapat pendidikan yang lebih baik.
Dengan
berdirinya madrasah-madrasah tersebut, lengkaplah lembaga pendidikan Islam yang
bersifat formal. Lembaga-lembaga pendidikan formal ini belum memppunyai
kurikulum yang seragam, tetapi masih bervariasi antara madrasah satu dengan
lainnya. Hal itu sangattergantung kepada keahlian guru-gurunya, pandangan
tentang kepentingan suatu ilmu pengetahuan, ddan berhubungan pula dengan
perhatian dari pada pembesar pendiri sekolah-sekolah atau madrasah yang
bersangkutan.
2.3. Tingkat-tingkat Pengajaran
Pada masa
Abbasiyah sekolah-sekolah terdiri atas beberapa tingkat :
1.
Tingkat sekolah
rendah, namanya kuttab jamak (katatib), untuk tempat belajar anak-anak.
Disamping kuttab adapula anak-anak belajar dirrumah, di istana, di toko-toko,
dan dipinggir-pinggir pasar.
2.
Tingkat sekolah
menengah, yaitu di masjid dan dimajelis sastera dan ilmu pengetahuan, sebagai
sambungan pelajaran di kuttab.
3.
Tingkat
perguruan tinggi, seperti Baitul Hikmah di Baghdad dan Darul ilmu di Mesir
(Kairo), di masjid-masjid dan laqin-lain.
2.4. Rencana Pengajaran Kuttab (Tingkat Rendah)
Rencana pengajaran
Kuttab umumnya sebagai berikut :
1.
Membaca
Al-Qur’an dan menghafalnya
2.
Pokok-pokok
agama Islam, seperti cara berwudhu, sembahyang, puasa, dan sebagainya.
3.
Menulis
4.
Kisah (riwayat)
orang-orang besar Islam
5.
Membaca dan
menghafal syair-syair atau Natsar-Natsar (prosa)
6.
Berhitung
7.
Pokok-pokok
Nahwu dan Syaraf ala kadarnya.
Demikian
rencana pengajaran Kuttab umumnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini
tidak dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masinng-masing daerah terkadang
berbeda. Seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh Hasan ‘Abd al-‘Al, di
Maroko (Maghribi) hanya diajarkan Al-Quran dan Rasm (tulisan)nya.
Di Andalusia, diajarkan Al-quran, menulis serta syair, pokok-pokok nahwu dan
sharaf serta tulisan indah (khath). Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan
Al-quran, hadis dan pokok-pokok ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan
Al-Quran.
Waktu belajar
di Kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar mulai hari sabtu
sampai dengan hari kamis. Sedangkan hari Jum’at merupakan hari libur. Selain
hari Jumat hari libur juga pada setiap tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari
raya Idul Adha. Jam pelajaran biasanya di bagi tiga. Pertama, pelajaran
Al-quran dimulai dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis
dimulai pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak
diperbolehkan untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain, seperti nahwu,
bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya. Dimulai setelah zhuhur hingga akhir
siang (Ashar). Pada tingkat rendah ini tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa
bangku, meja, dan papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan
berganti-ganti satu persatu. Begitu juga tidak ada standar buku yang dipakai.
Pada jenjang
pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode pengulangan dan hafalan.
Artinya, guru mengulang-ulang hafalan Al-qur’an di depan murid dan murid
mengikitinya yang kemudian diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan hafalan
itu tidak terbatas pada materi-materi Al-qur’an atau hadis, tetapi juga pada
ilmu-ilmu lain. tak terkecuali untuk pelajaran syair, guru menggungkapkan syair
dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga murid mampu
menghafalkannya dengan cepat.
2.5. Rencana Pembelajaran Tingkat Menengah
Rencana
pelajaran tingkat menengah juga tidak sama di seluruh negara Islam karena
negara Islam pada masa itu telah bercerai antara satu dengan yang lainnya.
Umumnya rencana pengajaran itu sebagai berikut: Al-Qur’an, Bahasa Arab dan
kesusateraannya, Fiqhi, Tafsir, Hadis, Nahwu/saraf/balaghah, ilmu-ilmu pasti,
mantiq, falak, tarikh (sejarah), ilmu-ilmu alam, kedokteran, musik.
Pada jenjang
pendidikan menengah disediakan pelajaran-pelajaran sebagai berikut : Al-qur’an,
bahasa Arab dan kesusateraan, fiqih, tafsir, hadis, nahwu/sharaf/balaghah,
ilmu-ilmu eksakta, mantiq, falak, tarikh, ilmu-ilmu kealaman, kedokteran,
musik, seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum jenjang pendidikan menengah
di beberapa daerah juga berbeda.
Menurut Hasan
‘Abd al-‘Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang bersangkutan.
Menurutnya secara garis besar metode pengajaran dibedakan menjadi dua, pertama,
metode pengajaran bidang keagamaan, (al-manhaj al-diniy al-adabiy) yang
diterapkan pada meteri-materi berikut : (a) fiqih (‘ilm al-fiqh). (b)
tata bahasa (‘ilm al-nahwu), (c) teologi (‘ilm al-kalam), (d)
menulis (al-kitabah), (e) lagu (‘arudh), (f) sejarah (‘ilm
al-akhbar terutama tarikh). Kedua, metode pengajaran bidang intelektual (‘ilm
manhaj al’ilmiy al-adabiy) yang meliputi olahraga (al-riyadhah),
ilmu-ilmu ekstra (al-thabi’iyah), filsafat (al-falasafah),
kedokteran (thibb), dan musik yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan keagamaan yang lain.
2.6. Rencana Pelajaran Pada Tingkat Tinggi
Rencana
pelajaran pada tingkat tinggi tidaklah sama diseluruh negara Islam. Bahkan
berlain-lain pula dengan berubah masa dan keadaan. Umumnya perguruan tinggi itu
terdiri dari dua jurusan:
1.
Jurusan
ilmu-ilmu Agama dan bahasa Arab serta kesusateraan, Ibnu khaldun menamai
ilmu-ilmu itu : Ilmu Naqlih
2.
Jurusan
ilmu-ilmu hikmah (filasfat). Ibnu khaldu menamainya : Ilmu-ilmu ‘Aqlih.
Ilmu-ilmu yang
diajarkan pada jurusan ilmu-ilmu Naqlih sebagai berikut : tafsir Al-Qur’an,
hadis, fiqhi dan ushul fiqhi, nahwu/ saraf, balagah, bahasa Arab dan
kesusateraannya. Semua mata pelajaran itu diajarkan pada perguruan tinggi dan
belum diadakan takhassus (spesialisasi) dalam satu mata pelajaran saja, seperti
sekarang. Takhassus ituu hanya lahir kemudian, sesudah tamat perguruan tinggi,
semua bakat dan kecenderungan ulama-ulama itu sendiri, sesudah praktek mengajar
beberapa tahun lamanya.
Ilmu-ilmu yang
diajarkan pada jurusan Aqliah sebagai berikut : mantiq, ilmu-ilmu alam dan
kimia, musik, ilmu-ilmu pasti, ilmu ukur, falak, ilahiyah (ketuhanan), ilmu
hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, kedokteran.
Jenjang
pendidikan yang tinggi tampaknya memiliki perbedaan di masing-masing lembaga
pendidikan. Namun secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi mempunyai dua
fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta bahasa dan bahasa arab.
Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu berikut: tafsir Al-qur’an, Hadis, Fiqih dan
Ushul Al-Fiqih, Nahwu/Sharaf, Balaghah, bahasa dan sastra Arab, Kedua, Fakultas
ilmu-ilmu hikmah (filsafat). Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut:
mantiq, ilmu-ilmu alam dan kimia, musik, ilmu-ilmu eksakta, ilmu ukur, falak,
ilmu,ilmu teologi, ilmu hewan, ilmu-ilmu nabati, dan ilmu kedokteran. Semua
mata pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan spesialisasi
mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu ditentukan setelah tamat dari
perguruan tinggi, berdasrkan bakat dan kecenderungan masing-masing sudah
praktik mengajar beberapa tahun. Hal itu dibuktikan oleh Ibnu Sina, sebagaimana
diterangkan dalam karya-karya Thabaqat Athibba, bahwa setelah Ibnu Sina
menamatkan pendidikan tinggi menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi
selama 1,5 tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmu-ilmu
eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu ketuhanan dengan membaca
kitab Ma Wara al-Thabi’ah (metafisika), karya Aristoteles, juga
karya-karya Al-Farabi. Ibnu Sina mendapat kesempata membaca literatur-literatur
di perpustakaan Al-Amir, seperti buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair,
fiqih, dan sebagainya. Literatur-literatur itu dibacanya sehingga ia mendapat
hasil yang memuaskan. Ia selesai studi di sana dalam usia 18 tahun. Hal iini
seperti juga berlaku kepada semua orang.
Metode yang
dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah guru
duduk diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru memberikan
semua materi kepada semua mahasiswanya yang hadir. Jumlah mahasiswa yang harir
tergantung kepada guru yang mengajar. Jika guru itu ulama besar dan mempunyai
kredibilitas intelektual, para mahasiswa banyak, namun jika sebaliknya ulama
tidak terkenal dan tidak mempunyai kredibilitas niscaya sepi dari para
mahasiswa, bahkan mungkin halaqahnya ditutup.
Menurut Charles
Michael Stanton sebelum guru menyampaikan materi, ia terlebih dahulu menyusun
ta’liqah. Ta’liqah ini menurut silabus dan uraiannya yang disusun oleh
masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan perkuliahannya ketika menjadi
mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang bersangkutan.
Ta’liqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran dan dapat disampaikan
untuk jangka waktu 4 tahun. Mahasiswa menyalin ta’liqah itu dalam proses dikte,
bahkan kebanyakan mereka betul-betul menyalin. Namun sebagian yang lain,
menambahkan pada salinan ta’liqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri
sehingga ta’liqahnya merupakan refleksi pribadi tentang materikuliah yang
disampaikan gurunya.
Menurut Hasan
‘Abd al-‘Al, metode pendidikan yang digunakan pada jenjang tingkat tinggi ini
meliputi metode-metode sebagai berikut : Pertama, metode ceramah
(al-muhadlarah). Dalam metode ini guru menyampaikan materikepada mahasiswa
dengan diulang-ulang sehingga mahasiswa hafal terhadap apa yang dikatakannya.
Pada metode ini terbagi dua cara, metode dikte dan metode pengajuan kepada guru
(al-qiraat ‘ala al syaikh). Kedua, metode diskusi (al-
munadzarah).metode ini digunakan untuk menguji argumentasi-argumentasi yang
diajukan sehingga dapat teruji. Metode ini oleh kalangan Mu’tazilah menjadi
salah satu pilar uang sangat penting dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode
korespondensi jarak jauh (al-ta’lim bi al-murasilah), metode ini merupakan
salah satu metode yang digunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu
masalah kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan
jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah, metode
ini dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun secara kelompok
dengan cara mendatangi guuru dirumahnya yang biasanya jarak jauh untuk
berdiskusi tentang suatu topik. Guru yangdidatang biasanya adalah guru yang
dianggap memiliki keahlian dalam bidangnya.
Mahasiswa yang
telah menamatkan pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus
ujian dan maupun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika
munaqasyah. Ijazah terkadang berbentuk lisan dan dalam bentuk tulisan. Ijazah
itu tidak diberikan oleh sekolah, tetapi oleh guru yang mengajarinya. Dengan
diberikannya ijazah berarti yang bersangkutan diperbolehkan meriwayatkan atau
menyampaikan pelajaran kepada mahasiswa yang lain.
Perkembangan
lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangn bahasa Arab, baik
sebagai bahasa Administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Ummayah, maupun
sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga
ditentukan oleh dua hal, yaitu :
1.
Terjadinya
asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu
mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan bani
Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk islam. Asimilasinya berlangsung
secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam islam. Pengaruh Persia, sangat kuat
dibidang pemerintahan. Selain itu bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang
kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk
dalam banyak bidang ilmu terutama filsafat.
2.
Gerakan
terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Pertama, pada khalifah al-Mansyur
hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah
karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua berlangsung
mulai masa khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300H. Buku-buku yang banyak
diterjemahkan yaitu dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga
berlangsung setelah tahun 300H, terutama setelah adanya pembuatan kertas,
bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengaruh dari
kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan
saja membawa kemajuan dibidang ilmu pengetahuan umum. Tetapi juga ilmu
pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode
penafsiran, pertama, tafsir bi al-ma’tsur yaitu, interpretasi tradisional
dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Kedua, tafsir
bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat
dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang
berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan tetapi jelas sekali bahwa
tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh
perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan, hal yang sama juga
terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi perkembangan logika
dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu
tersebut.
3.
Perkembangan
Ilmu Pengetahuan
Perkembangan
ilmu pengetahuan yang berlangsung pada zaman Abbasiyah hampir belum ditemukan
kesamaannya dalam perkembangan peradaban dunia Islam sesudahnya. Peradaban yang
ditemukan dan dihasilkan dalam kurun zaman itu belum maksimal menjadi rujukan
berharga bagi peradaban umat Islam saat ini. Malah Islam sebagai ajaran
pengetahuan tidak teraplikasi kecuali hanya pada aspek normatifnya belaka yang
berupa ibadah. Spirit kekaryaan belum sepenuhnya membumi sebagaimana
seharusnya. Akhirnya tampak beberapa ajaran yang menghendaki kedinamisan dan
kekreatifitasan dalam mengelola alam tidak terbukti kecuali hanya ucapan
–ucapan lisan yang tak berbekas.
Masa antara
tahun 750-935 M, merupakan puncak perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam yang ditandai dipraktekkannya kehidupan Islam yang demokratis sebagai
ciri orang beradab. Tindakan penguasa Abbasiyah pada masa-masa awal yang tak
mengenal warga kelas dua berimplikasi pada pemberian kesempatan sama dalam
meraih prestasi khususnya bekerja di pemerintahan dan Istana Khalifah al-Mahdi
(775-785M).
Berbeda dengan
kepemimpinan Harun al-Rasyid (786-809M) dan puteranya al-Ma`mun (813-833M),
yang kurang demokratis, absolut, hidup mewah, raja yang menentukan
segala-galanya, tanpa jelas perbedaan tuan dan budak, tetapi di sisi lain
tanpak keberpihakan pada pengembangan ilmu, ekonomi, sosial, budaya, teknologi,
dan menyediakan beasiswa yang banyak. Dan yang paling pokok adalah mempelopori
kebangkitan budaya-budaya besar.
Kritik sastra,
filsafat, puisi, kedokteran, matematika, dan astronomi berkembang pesat tidak
saja di Baghdad tetapi juga di Kufah, Basrah, Jundabir, dan Harran. Pada
masa-masa awal sudah ada sekitar 800 orang dokter dengan berbagai kehliannya,
apoteker, dan kelengkapan-kelengkapan kesehatan lainnya. Sementara putranya
al-Ma’mun, dikenal sebagai khalifah yang cinta ilmu. Pada masanya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia memberi
gaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang
ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah. Salah satu karya besarnya adalah
pembangunan Bait al-Hikmah sebagai perpustakaan besar. Pada masa al-Ma’mun
inilah Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Pada periode
pertama, pemerintahan bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politik para
khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan
agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat
tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setalah periode ini berakhir,
pemerintah Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan
ilmu pengetahuan terus berkembang.
Tampak bahwa
kemajuan pendidikan yang dialami ummat Islam masa itu tidak mengenal dikotomi
atau sekularisasi ilmu, duniawi dan ukhrawi, melainkan integrasi keilmuan tanpa
memandang objek kajian.
Semangat
pluralitas rupanya juga sangat terpelihara baik pada masa Ma`mun. Kepercayaan
Sultan yang diberikan kepada para penerjemah nonmuslim menandakan bahwa
peristiwa itu sebuah keharmonisan bersama tanpa pandang SARA.
Dalam beberapa
literatur sejarah tentang perkembangan masa Abbasiyah, tak ditemukan satu pun
kata adanya dualisme pendidikan di dalamnya. Kemajuan ilmu filsafat,
kedokteran, astronomi, matematika, dan gerakan-gerakan penterjemahan lainnya
berjalan seiring lahirnya para fuqaha, mufassir, muhaddis dan keahlian-keahlian
lainnya. Ibnu Sina terkenal dengan Avicenna cukup heboh dengan ilmu
tabib/kedokteran yang ditemukannya. Namun di sisi lain beliau juga cukup
menguasai filsafat, matematika dan lain-lain.
Hal yang paling
mengagumkan adalah para kaum dzimmi yang juga berpartisipasi mencapai zaman
keemasan dengan menerjemahkan naskah-naskah filsafat dan kedokteran Hellenisme
klasik dari bahasa Yunani dan Syiria ke dalam bahasa Arab.
Dengan belajar
dari masa lalu, menjadikan para ahli muslim membuat penemuan-penemuan ilmiah
yang lebih banyak pada masa itu dari pada masa-masa sebelumnya yang pernah
tercatat dalam sejarah. Selain itu, juga berkembang industri-industri
perdagaangan.
Kemajuan lain
yang dicapai yang sangat bermanfaat dalam perjalanan Islam kemudian adalah
berkembangnya ilmu dan ushul fiqhi, disusun dan dicetaknya kitab-kitab hadis,
penafsiran Alquran. Dan tidak kalah pentingnya adalah lahirnya para filosof dan
sufi yang cukup memberi pengaruh pada dinamika umat sampai sekarang, misalnya
al-Kindi (w. 870), filosof pertama dalam Islam, al-Farabi (w. 960), Ibnu Rusyd,
dan lain-lain. Di bidang Tasawuf dikenal tokoh perempuan, Rabiah al-Adawiyah
(w.801), Abu Yazid al-Bustami (w.874), Husain al-Mansyur atau dikenal al-Hallaj
(w.922), dan lain-lain.
Masyarakat
Islam pada masa Abbasiyah ini, mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat
pesat yang dipengaruhi oleh dua faktor :
1) Faktor Politik
Faktor politik
yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan peradaban Islam, adalah sebagai
berikut :
1.
Pindahnya ibu
kota negara dari Syam ke Irak dan Bagdad sebagai Ibu kotanya [146 H].
2.
Banyaknya
cendekiawan yang diangkat menjadi pegawai pemerintahan dan istana.
Khalifah-khalifah Abassiyah, misalnya Al Mansur, banyak mengangkat pegawai
pemerintahan dan istana dari cendekiawan cendekiawan Persia.
3.
Diakuinya
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara pada masa khalifah Al Ma’mum pada tahun
827 M. Mukhtazilah adalah aliran yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan
berpikir pada manusia. Aliran ini telah berkembang dalam masyarakat terutama
pada masa Dinasti Abassiyah I.
2) Faktor Sosiografi
a)
Meningkatnya
kemakmuran umat Islam pada waktu itu.
b)
Luasnya wilayah
kekuasaan Islam menyebabkan banyak orang Persia dan Romawi yang masuk Islam
kemudian menjadi muslim yang taat.
c)
Pribadi
beberapa khalifah pada masa itu, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah I,
seperti Al Mansur,Harun al Rasyid, dan Al Ma’mum yang sangat mencintai ilmu
pengetahuan sehingga kebijaksanaanya banyak ditujukan kepada kemajuan ilmu
pengetahuan.
d)
Selain itu
semua, menurut Ahmad Amin, karena permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam
semakin kompleks dan berkembang. Maka, untuk mengatasi semua itu diperlukan
pengaturan, pembukuan dan pembidangan ilmu pengetahuan,khususnya ilmu-ilmu
naqli yang terdiri dari ilmu agama, bahasa, dan adab.Adapun ilmu aqli, seperti
kedokteran, manthiq, dan ilmu-ilmu riyadhiyat, telah dimulai oleh umat Islam
dengan metode yang teratur.
4.
Kemajuan Ilmu
Pengetahuan
Aktivitas
ilmiah yang dilakukan oleh kaum muslimin mengantarkan mereka mencapai puncak
kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah.Penerjemahan yang dilakukan
dengan giat menyebabkan mereka dapat menguasai warisan intelektual dari tiga
jenis kebudayaan, yaitu Yunani, Persia, dan India, yang pada akhirnya kaum
Muslimin mampu membangun kebudayaan ilmu, baik ilmu agama maupun filsafat dan
sains [ilmu umum]. Fenomena ini menarik perhatian para ahli sejarah kebudayaan
Islam karena sebagian besar orang yang berkecimpung dalam dunia ilmu
pengetahuan adalah kaum Mawaly [muslim bukan turunan Arab atau bekas budak],
terutama mereka yang berasal dari keturunan Persia. Kemjuan ilmu pengetahuan
itu antara lain:
1.
Kemajuan Ilmu
Agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam dan ilmu fikih.
2.
Ilmu-ilmu Umum
seperti filsafat, kedokteran, astronomi, ilmu pasti dan geografi.
Namun demikian,
pada masa awal Abbasiyah, pemikiran pendidikan masih bercampur dengan pemikiran
di bidang lain. seperti kita ketahui, masa awal Abbasiyah ditandai dengan
munculnya sejumlah ulama pendiri mazhab fiqih (Abu Hanifah, Malik bin Anas,
Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal), ulama-ulama Hadis sepeti Bukhari dan Muslim,
serta ulama tafsir dan sejarawan terkenal, seperti Al-Thabari (w. 310/923).
Mereka itu banyak menulis tentang Islam yang digali dari sumber-sumber
terpercaya. Diantara yang menreka tulis adalah butiir-butir pemikiran
pendidikan, meskipun masih bercampur dengan bidang-bidang lainyang menjadi
disiplin mereka (Adud,1977: 132).
Disamping empat
pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak
mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan
mazhabnya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan
mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran-aliran
teologi sudah ada pada mas Bani Ummayah, seperti Khawarij, Murjiah, dan
Mu’tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi
rasional Mu’tazilah muncul diujung pemerintahan Bani Ummayah. Namun,
pemikiran-pemikirannya yang olebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada
masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan
pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam. Tokoh perumus
pemikiran Mu’tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/
752-849 M) dan al-Nizzam (185-221H/ 801-835 M). Asy’ariyah, aliran tradisional
di bidang teologi yang dicetuskkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ri (873-935 M) yang
lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika
Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy’ri sebelumnya adalah pengikut mu’tazilah.
Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan Hadis, juga
berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh
tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan
penulis hadis bekerja.
Pengaruh
gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama
di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam lapangan
astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali
menyusun asrtolobe. Al-Fargani yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus,
menulis ringkasan ilmu astronomi yang di terjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh
Gerard Cremona dan Johannes Hispelensisi. Dalam lapangan kedokteran dikenal
nama al-Razi dan Ibnu Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara
penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku
mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteran berada di tangan Ibnu
Sina. Ibnu Sina yang hjuga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran
darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qanun fi al Thibb yang
merupakan ensiklopedi kedoteran paling besar dalam sejarah. Dalam bidang optika
Abu Ali al-Hasan ibnu al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazan,
terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke
benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya,
bendalah yang mengiim cahaya ke mata. Di bidang Kimia, terkenal nama Jabir Ibnu
Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi, dan tembaga dapat
diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan zat tertentu . di bidangg
matemmatika terkenal nama Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir
dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata “aljabar”
berasal dari judul bukunya, al-jabr wa al- muqabalah. Dalam bidang
sejarah terkenal nama al-Mas’udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Di antara
karyanya adalah Muruj al- Zahab wa Ma’adin al-jawahir.
Tokoh-tokoh
terkenal dalam bidang filsafat antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu
Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tenang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan,
etika dan interpretasi terhada filasfat Aristoteles. Ibnu Sina juga banyak
mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal di antaranya adalah al-Syifa.
Ibnu Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averrose, banyak berpengaruh
di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebutt
dengan Averroisme.
Demikianlah
kemajan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintah Islam pada
masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Paa masa ini,
kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaannya,
sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan
ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama.
Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Jika dilihat
dari penjelasan diatas, maka bisa ditarik kesimpulan dari pembahasan yang ada,
yaitu:
Kesuasaan
dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebangaimana disebutkan
melanjutkan kekuasaan dinasti Umayyah. Dimana pemerintahan Abbasiyah adalah
keturunan dari pada Al-Abbas, paman Nabi SAW pendiri kerajaan al-Abbas ialah
Abdullah as-Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Abbas, dan
pendiriannya dianggap suatu kemenangan bagi ide yang dianjurkan oleh kalangan
Bani Hasyim setelah kewafatan Rasulullah, agar jabatan khalifah diserahkan
kepada keluarga Rasul dan sanak-saudaranya. Tetapi ide ini telah dikalahkan di
zaman permulaan Islam, dimana pemikiran Islam yang sehat menetapkan bahwa
jabatan khalifah itu adalah milik kepunyaan seluruh kaum muslimin, dan mereka
berhak melantik siapa saja antara kalangan mereka untuk menjadi ketua setelah
mendapat dukungan. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya.
Faktor-faktor
pendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah dan penyebab suksesnya yaitu :
1.
Banyak terjadi
perselisihan antara interen Bani Ummayah pada dekade terakhir pemerintahannya
hal ini diantara penyebabnya yaitu memperebutkan kursi kehalifahan dan harta.
2.
Pendekanya masa
jabatan khalifah di akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah, seperti khalifah
Yazid bin al-Walid lebih kurang memerintah sekitar 6 bulan.
3.
Dijadikan putra
mahkota lebih dari jumlah satu orang seperti yang di kerjakan oleh Marwan bin
Muhammad yang menjadikan anaknya Abdulah dan Ubaidilah sebagai putra mahkota.
4.
Bergabungnya
sebagai afrad keluarga Ummayah kepada mazhab-mazhab agama yang tidak
benar menurut syariah, seperti Al-Qadariyah.
5.
Hilangnya
kecintaan rakyat pada akhir-akhir pemerintahan Bani Ummayah.
6.
Kesombongan
pembesar-pembesar Bani Ummayah pada akhir pemerintahannya.
7.
Timbulnya
dukungan dari Al-Mawali (non Arab)
Pada masa Abbasiyah tujuan pendidikan itu telah
bermacam-macam karena pengaruh masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Tujuan
keagamaan dan akhlak, seperti pada masa sebelumnya. Anak-anak didik
diajar membaca/menghafal Al-Qur’an, ialah karena hal itu suatu kewajiban dalam
agama, supaya mereka mengikut ajaran agama dan berakhlak menurut agama. Begitu
juga mereka diajar ilmu tafsir, hadis dan sebagainya adalah karena tuntutan
agama, lain tidak.
2.
Tujuan
kemasyarakatan, Selain tujuan keagamaan dan akhlak ada pula
tujuan kemasyarakatan, yaitu pemuda-pemuda belajar dan menuntut ilmu, supaya
mereka dapat mengubah dan memperbaiki masyarakat, dari masyarakat yang penuh
kejahilian menjadi masyarakat yang bersinar ilmu pengetahuan, dari masyarakat
yang mundur menjadi masyarakat yang maju dan makmur.
Ilmu-ilmu yang
diajarkan di madrasah-madrasah, bukan saja ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab,
bahkan juga diajarkan ilmu-ilmu duniawi yang berfaedah untuk kemajuan
masyarakat.
3.
Selain itu ada
lagi tujuan pendidikan, ialah cinta akan ilmu pengetahuan serta senanag dan
lazat mencapai ilmu itu. Mereka belajar tak mengharapkan keuntungan apa-apa,
selain dari pada berdalam-dalam dalam ilmu pengetahuan. Mereka melawat
keseluruh negara Islam untuk menuntut ilmu tanpa mempedulikan susah payah dalam
perjalanan, yang umumnya dilakukan dengan berjalan kaki atau mengendarai
keledai. Tujuan mereka tidak lain untuk memuaskan jiwanya yang haus akan ilmu
pengetahuan.
4.
Disamping itu
ada pula tujuan pendidikan sebagian kaum muslimin , yaitu tujuan kebendaan.
Mereka menuntut ilmu supaya mendapat penghiduapn yang layak, dan pangkat yang
tinggi, bahkan kalau mungkin mendapat kemegahan dan kekuasaan di dunia ini,
seperti tujuan setengah orang pada masa kita sekarang.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang berlangsung
pada zaman Abbasiyah hampir belum ditemukan kesamaannya dalam perkembangan
peradaban dunia Islam sesudahnya. Kemjuan ilmu pengetahuan itu antara lain :
1.
Kemajuan Ilmu
Agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kalam dan ilmu fikih.
2.
Ilmu-ilmu Umum
seperti filsafat, kedokteran, astronomi, ilmu pasti dan geografi.
Kemudian munculnya sejumlah ulama pendiri
mazhab fiqih (Abu Hanifah, Malik bin Anas, Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal),
ulama-ulama Hadis sepeti Bukhari dan Muslim, serta ulama tafsir dan sejarawan
terkenal, seperti Al-Thabari (w. 310/923). Mereka itu banyak menulis tentang
Islam yang digali dari sumber-sumber terpercaya. Diantara yang menreka tulis
adalah butiir-butir pemikiran pendidikan, meskipun masih bercampur dengan
bidang-bidang lainyang menjadi disiplin mereka (Adud,1977: 132).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Karim, Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book
Publisher, 2007
Al-Isy
Yusuf, Dinasti Abbasiyah,Jakarta: Al-Kautsar,2007
As-Suyuti
Imam, Tarikh Khulafa, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2000
Hitti
Philip,History of The Arabs, New York : PT Serambi Ilmu Semesta,2002
Kurniawan
Samsul, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, Jogjakarta: Az-Ruzz
Media, 2011
Nizar
Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana,2011
Suwendi,
Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : PT raja Grafindo
Persada, 2004
Syalabi,
Sejarah Dan Kebudayaan Islam , Jakarta: PT Al-Husna Zikra,1997
Umam
Chatibul, Sejarah Kebudayaan Islam MTs,Semarang: Menara Kudus, 1995
Yatim
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2001
Yunus
Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1963
Zuhairi,
Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar