KERAJAAN KEDIRI
![https://sabdadewi.files.wordpress.com/2014/06/kediri.jpg](file:///C:\DOCUME~1\Admin\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg)
Kerajaan Kediri adalah sebuah
kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini
merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi
S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai.
Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan
membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut
dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu
Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala
(Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai
Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama
(1365 M), dan serat Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan
menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian.
Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai
Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya
Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri,
Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan
masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga
sehingga terjadilah peperangan.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga.
Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga.
Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh
Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan
peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur
berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan
tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra
yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri. Hasil karya sastra tersebut
adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang
menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala.
Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha
tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga
Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala
mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum
ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan
Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan
golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung.
Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas
bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari,
dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di
bawah pemerintahan Kertanegara (1268 1292), terjadilah pergolakan di dalam
kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari
bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara.
Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun
kembali kejayaan Kerajaan Kediri.
Raja Kediri pertama Mapanji Garasakan memerintah
tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji
Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha.
Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama
60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga
munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.
Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang
Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah
kewibawaan kerajaan berhasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat
pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang
Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga
memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan
Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang
putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun
karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir
dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua
yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri
(Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal
ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan
yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang-
bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan
suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran
dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan
kekalahan Jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
Adapun raja – raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan
Kediri adalah:
Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu, Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.
Kameshwara Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai Kameshwara I (1115 – 1130 ). Lencana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab Smaradhana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.
Jayabaya Raja Kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasastinya pada tahun 1181. Prabu Jayabaya adalah raja Kediri yang paling terkenal, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.
Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu, Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu.
Kameshwara Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai Kameshwara I (1115 – 1130 ). Lencana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab Smaradhana. Dalam kitab ini sang raja di puji–puji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala.
Jayabaya Raja Kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasastinya pada tahun 1181. Prabu Jayabaya adalah raja Kediri yang paling terkenal, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalan–ramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggung–tanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang.
Prabu Sarwaswera, raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera
memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah
(semua) itu , semua makhluk adalah engkau . Tujuan hidup manusia menurut prabu
Sarwaswera yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan
paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala
sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
Prabu Kroncharyadipa Namanya
yang berarti benteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada
masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang taat, beliau mengendalikan diri dari
pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam
diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa
nafsu),loba (rakus),mada (mabuk), masarya (iri hati).
Srengga Kertajaya Srengga Kertajaya tak henti–hentinya bekerja keras demi
bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip
kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh Prapanca.
Pemerintahan Kertajaya Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia
serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang
berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa.
Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan
Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap
Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa mereka untuk menyembahnya sebagai
dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel.
Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M.
Dalam pertempuran itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu
menandai berakhirnya kerajaan Kediri.
Setelah berhasil mengalahkan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.
Setelah berhasil mengalahkan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri.
Prasasti pada Jaman Kerajaan Kediri antara lain:
1.
Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan
Panjalu atau Kadiri atas Jenggala
2.
Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau
Kadiri pada masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu
Jayati yang artinya Panjalu Menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam
pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama
perang dengan Jenggala.Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja
Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya
kembali dengan Kediri.
Prasasti Hantang
3.
Prasasti Jepun 1144 M
4.
Prasasti Talan 1136 M
Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan,kemenangan.
Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Kurawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Jenggala.
Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar