SUNAN
AMPEL
1. Asal usul SUNAN AMPEL
Tahukah
anda dengan daerah Bukhara? Bukhara terletak di Samarqand. Sejak dahulu daerah
Samarqand dikenal sebagai daerah Islam yang melahirkan ulama-ulama besar
seperti Imam Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadist shahih.
Disamarqand
ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra, seorang
Ahlussunnah bermazhab syafi’I, beliau mempunyai seorang putera bernama Ibrahim,
dan karena berasal dari samarqand maka Ibrahim kemudian mendapatkan tambahan
nama Samarqandi. Orang jawa sukar menyebutkan Samarqandi maka mereka hanya
menyebutnya sebagai Syekh Ibrahim Asmarakandi.
Syekh
Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh Jamalluddin Jumadil
Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia. Perintah inilah yang dilaksanakan
dan kemudian beliau diambil menantu oleh Raja Cempa, dijodohkan dengan puteri
Raja Cempa yang bernama Dewi Candrawulan.
Negeri
Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai. Dari perkawinan
dengan Dewi Candrawulan maka Syekh Ibrahim Asmarakandi mendapat dua orang
putera yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik
Dewi Candrawulan yang bernama Dewi Dwarawati diperisteri oleh Prabu Brawijaya
Majapahit. Dengan demikian keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan
tergolong putera bangsawan atau pangeran kerajaan. Para pangeran atau bangsawan
kerajaan pada waktu itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam
proses selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat dengan Raden.
Raja
Majapahit sangat senang mendapat isteri dari negeri Cempa yang wajahnya dan
kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga isteri-osteri yang
lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang tersebar
di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah isteri yang bernama Dewi Kian,
seorang puteri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario Damar di Palembang.
Ketika
Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu sedang hamil tiga
bulan. Ario Damar menggauli puteri Cina itu sampai si jabang bayi terlahir
kedunia. Bayi yang lahir dari Dewi Kian itulah yang nantunya bernama Raden
Hasan atau lebih dikenal dengan nama “ Raden Patah “, salah satu seorang
daru murid Sunan Ampel yang menjadi Raja di Demak Bintoro.
Kerajaan
Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk
mengalami kemunduran Drastis. Kerajaan terpecah belah karena terjadinya perang
saudara. Dan para adipati banyak yang tidak loyal dengan keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu
Brawijaya Kertabumi.
Pajak
dan upeti kerajaan tidak ada yang sampai ke istana Majapahit. Lebih sering
dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat sang Prabu bersedih hati.
Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum bangsawan dan para pangeran
yang suka berpesta pra dan main judi serta mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar
betul bila kebiasaan semacam ini diteruskan negara/kerjaan akan menjadi lemah
dan jika kerajaan sudah kehilangan kekuasaan betapa mudahnya bagi musuh untuk
menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu
Dwarawati, yaitu isteri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati suaminya.
Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada suaminya. Saya mempunyai
seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal mengatasi kemerosotan budi
pekerti, kata Ratu Dwarawati.
Betulkah?
Tanya sang Prabu . Ya, namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putera dari kanda Dewi
Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya akan meminta Ramanda
Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah ke Majapahit ini.
Tentu
saja aku merasa senang bila Rama Prabu di Cempa Berkenan mengirimkan Sayyid Ali
Rahmatullah ini kata Prabu Brawijaya.
2. Ketanah Jawa
Maka
pada suatu ketika diberangkatkanlah utusan dari Majapahit ke negeri Cempa untuk
meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke Majapahit. Kedatangan utusan tersebut
disambut gembira oleh Raja Cempa, dan Raja Cempa bersedia mengirim cucunya ke
Majapahit untuk meluaskan pengalaman.
Keberangkatan
Sayyid Ali Rahmatullah ke tanah Jawa tidak sendirian. Ia ditemani oleh
ayah dan kakaknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sayyid Ali Rahmatullah
adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya bernama Sayyid Ali
Murtadho. Diduga tidak langsung ke Majapahit, melainkan terlebih dahulu ke
Tuban. Di Tuban tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi
jatuh sakit dan meninggak dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih
termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.
Sayyid
Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah keliling daerah Nusa
Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Disana beliau mendapat sebutan raja
Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di Gresik mendapat sebutan Raden Santri,
beliau wafat dan dimakamkan di Gresik, Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan
perjalanan ke Majapahit menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu
Dwarawati.
Kapal
layar yang ditumpanginya mendarat dipelabuhan Canggu. Kedatangannya disambut
dengan suka cita oleh Prabu Brawijaya. Ratu Dwarawati bibinya sendiri
memeluknya erat-erat seolah-olah sedang memeluk kakak perempuannya yang di
negeri Cempa. Karena wajah Sayyid Ali Rahmatullah memang sangat mirip dengan
kakak perempuannya.
Nanda
Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau mendidik kaum
bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti mulia!! Tanya sang
Prabu kepada Sayyid Ali Rahmatullah setelah beristirahat melepas lelah. Dengan
sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus Sayyid Ali Rahmatullah
menjawab. Dengan senang hati Gusti Prabu, saya akan berusaha sekuat-kuatnya
untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik mereka.
Bagus!
Sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah sebidang tanah berikut
bangunannya di Surabaya. Disanalah kau akan mendidik para bangsawan dan
pangeran Majapahit agar berbudi pekerti mulia.”
“Terima
kasih saya haturkan Gusti Prabu”, Jawab Sayyid Ali Rahmatullah. Disebutkan
dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah menetap beberapa hari
di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah satu puteri Majapahit yang
bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila. Dengan demikian Sayyid Ali
Rahmtullah adalah salah seorang Pangeran Majapahit, karena dia adalah menantu
Raja Majapahit.
Semenjak
Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya maka beliau adalah
anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang pangeran, para pangeran
pada jaman dahulu ditandai dengan nama depan Rahadian atau Raden yang berati
Tuanku. Selanjutnya beliau lebih dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
3. Ampeldenta
Selanjutnya,
pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke sebuah
daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan Ampeldenta.
Rombongan
itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki Kembangkuning. Selama dalam
perjalanan beliau juga berdakwah kepada penduduk setempat yang dilaluinya.
Dakwah yang pertama kali dilakukannya cukup unik. Beliau membuat kerajinan
berbentuk kipas yang terbuat dari akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan anyaman
rotan. Kipas-kipas ini dibagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para
penduduk hanya cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat.
Penduduk
yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah mereka
mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam bersama rotan itu
ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena penyakit batuk dan demam.
Dengan cara itu semakin banyak orang yang berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada
saat demikianlah ia memperkenalkan keindahan agama Islam sesuai tingkat
pemahaman mereka.
Cara
itu terus dilakukan sehingga rombongan memasuki desa kembang kuning. Pada saat
itu kawasan desa kembang kuning belum seluas sekarang ini. Disana sini masih
banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan karomahnya Raden Rahmat
bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan tempat sembahyang sederhana atau
langgar. Tempat sembahyang itu sekarang dirubah menjadi mesjid yang cukup besar
dan bagus dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Mesjid Rahmat Kembang
Kuning.
Ditempat
itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh masyarakat yaitu
Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh masyarakat itu bersama
keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut Raden Rahmat.
Dengan
adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden Rahmat untuk
mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya. Terutama kepada masyarakat
yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama. Beliau tidak langsung melarang
mereka, melainkan memberikan pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya
ajaran ketauhidan. Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan
Pencipta Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepecayaan
lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah
sampai ditempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah membangun mesjid
sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang dilakukan Nabi Muhammad
SAW saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan
karena menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah tersebut maka
kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal dari kata Susuhunan
yang artinya yang dijunjung tinggi atau panutan masyarakat setempat. Ada juga
yang mengatakan Sunan berasal dari kata Suhu Nan artinya Guru Besar atau orang
yang berilmu tinggi.
Selanjutnya
beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan dan pangeran Majapahit
serta siapa saja yang mau datang berguru kepada beliau.
4. Ajarannya yang terkenal
Hasil
didikan mereka yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau tidak mau melakukan
lima hal tercela yaitu :
1. Moh Main atau tidak mau berjudi
2. Moh Ngombe atau tidak mau minum arak
atau bermabuk-mabukan
3. Moh Maling atau tidak mau mencuri
4. Moh Madat atau tidak mau mengisap
candu, ganja dan lain-lain.
5. Moh Madon atau tidak mau
berzinah/main perempuan yang bukan isterinya.
Prabu
Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama
Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka ketika Raden Rahmat
kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak
marah, hanya saja ketika dia diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia
ingin menjadi raja Budha yang terakhir di Majapahit.
Raden
Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya bahkan
diseluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa,
Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
5. Sesepuh Wali Songo
Setelah
Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat sebagai sesepuh
Wali Songo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se-Tanah Jawa. Beberapa
murid dan putera Sunan Ampel sendiri menjadi anggota Wali Songo, mereka adalah
Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota
atau Raden Patah, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
Raden
Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Wali Songo menggantikan
kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan diangkatnya Sunan
Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh kepada kata-katanya.
Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan dengan pihak Majapahit.
Para
wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut dalam tempo
secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa masalah tahta Majapahit
tidak perlu diserang secara langsung, karena kerajaan besar itu sesungguhnya
sudah keropos dari dalam, tak usah diserang oleh Demak Bintoro sebenarnya
Majapahit akan segera runtuh. Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel
terlalu lamban dalam memberikan nasehat kepada Raden Patah.
“Mengapa
Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah yang juga adalah menantunya
sendiri. “Krena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang menuduh Raja Demak
Bintoro yang masih putera Raja Majapahit Prabu Kertabumi telah berlaku durhaka,
yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”. Jawab Sunan Ampel dengan tenang.
“Lalu
apa yang harus saya lakukan?”
“Kau
harus sabar menunggu sembari menyusun kekuatan”, ujar Sunan Ampel. “Tak lama
lagi Majapahit akan runtuh dari dalam, diserang Adipati lain. Pada saat itulah
kau berhak merebut hak warismu selaku putera Prabu Kertabumi”.
“Majapahit
diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkwajiban membelanya?”
“Inilah
ketentuan Tuhan”,sahut Sunan Ampel. Waktu kejadiannya masih dirahasiakan. Aku
sendiri tidak tahu persis kapankah persitiwa itu akan berlangsung. Yang jelas
bukan kau adipati yang menyerang Majapahit itu. Sunan Ampel adalah penasehat
Politik Demak Bintoro sekaligus merangkap Pemimpin Wali Songo atau Mufti Agama
se-Tanah Jawa. Maka fatwa nya dipatuhi semua orang.
Kekhawatiran
Sunan Ampel pun terbukti. Dikemudian hari ternyata orang-orang pembenci Islam
memutar balikkan fakta sejarah, mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh
diserang oleh kerajaan Demak Bintoro yang rajanya adalah putera raja Majaphit
sendiri. Dengan demikian Raden Patah dianggap sebagai anak durhaka. Ini dapat
anda lihat didalam serat darmo gandul maupun sejarah yang ditulis sarjana
kristen pembenci Islam.
Raden
Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan Ampel.
Tibalah saatnya Sunan Ampel Wafat pada tahun 1478 M. Sunan Kalijaga diangkat
sebagai penasehat bagian politik Demak, Sunan Giri diangkat sebagai pengganti
Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para wali dan pemimpn agama se-Tanah
Jawa.setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya terhadap Majapahit
sekarang berubah. Ia mneyetujui aliran tuban untuk memberi fatwa kepada Raden
Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa
Sunan Giri bersikap demikian?
Karena
pada tahun 1478 kerjaan Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau
Girindrawardhana dari kadipaten kediri atau keling. Dengan demikian sudah
tepatlah jika Sunan Giri meneyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab
pewaris sah tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja
Majapahit yang terakhir.
Demak
kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan dilancarkan.
Prabu Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara pada tahun 1498.
Pada
tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam kedudukannya
karena melihat kedudukan Demak yang didukung Giri Kedaton semakin kuat dan
mapan. Prabu udara kuatir jika terjadi peperangan akan menderita kekalahan,
maka dia minta bekerjasama dan minta bantuan Portugis di Malaka. Padahal putera
mahkota Demak yaitu Pati Unus pada tahun1511 telah menyerang Protugis.
Sejarah
telah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untu menemui
Alfinso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta (ggamelan),
sepotong kain panjang bernama “Beirami” tenunan kambayat, 13 batang lembing
yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah jika pada tahun 1517
Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta majapahit secara sah. Dengan
demikian jatuhlah Majapahit ke tangan Demak. Seandainya Demak tidak segera
menyerang Majapahit tentunya bangsa Portugis akan menjajah Tanah Jawa jauh
lebih cepat daripada Bangsa Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan
diboyong ke Demak Bintoro. Termasuk mahkota rajanya. Raden Patah diangkat
sebagai raja Demak yang pertama.
Sunan
Ampel juga turut membantu mendirikan Mesjid Agung Demak yang didirikan pada
tahun 1477 M. Salah satu diantara empat tiang utama mesjid Demak hingga
sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Beliau
pula yang pertama kali menciptakan huruf pegon atau tulisan arab berbunyi bahasa
Jawa. Dengan huruf pegin ini beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam
kepada para muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap diapaki sebagai bahan
pelajaran agama Islam dikalangan pesantren.
6. Penyelamat Aqidah
Sikap
Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat hati-hati, hal ini didukung pleh
Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah tersebut dalam permusyawaratan
para wali di mesjid Agung Demak. Pada waktu itu Sunan Kalijaga Mengusulkan agar
adat istiadat Jawa seperti selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan
dimasuki rasa keislaman. Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah
Sunan Ampel. “Apakah tidak mengkhawatirkan dikemudian hari bahwa adat istiadat
dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama
Islam, jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah?”
Dalam
musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel, “Saya setuju dengan
pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang masih bisa diarahkan
kepada ajaran Tauhid kita akan memberinya warna Islami. Sedang adat dan
kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus kearah kemusyrikan kita tinggal sama
sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit kita bisa memberinya warna
Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun tentang kekhawatiran kanjeng
Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa dibelakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya.
Adanya
dua pendapat yang seakan bertentangan tersebut sebenarnya mengandung hikmah.
Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar agama Islam
cepat diterima oleh orang jawa, dan hal ini terbukti, dikarekan dua wali
tersebut pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolerir Islam maka
penduduk jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam.
Sebaliknya,
adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan
murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga
membuat umat semakin berhati-hati menjalankan syariat agama secara benar dan
bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar,
dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak
tergelincir kelembah kemusyrikan.
Sunan
Ampel wafat pada tahun 1478 M, beliau dimakamkan di sebelah Barat Mesjid Ampel.
SUNAN
GUNUNG JATI
1. Asal Usul Sunan Gunung Jati
Dalam
usia yang begitu muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia
ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir tapi anak yang
masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke
tanah jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan
kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.
Sewaktu
berada di negeri Mesir Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulam besar
didaratan timur tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka
ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan
melakukan dakwah.
2. Perjuangan Sunan Gunung Jati
Sering
kali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang
bergelar Sunan Gunung Jati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah
adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja
Pajajaran adalah seorang penyebar Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut
Sunan Gunung Jati. Sedangkan Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang
dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunung Jati berperang melawan Portugis.
Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati adalah makam dekat Sunan Gunung
Jati yang ada tulisan Tubagus Pasai adalah Fathullah atau Fatahillah atau
Faletehan menurut Lidah Orang Portugis......
Syarif
Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang ke negeri Caruban Larang Jawa
Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah
pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan
keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan
Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat
dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta diizinkan tinggal di Pasambangan
atau Gunung Jati.
Syarifah
Muda’im dan puteranya Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Lahfi.
Sehingga kemudian hari Syarif Hidayatullah terkenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Tibalah saat yang ditentukan, pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi
Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479 karena
usia lanjut pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan negeri Caruban kepada
Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhan yaitu orang yang dijunjung tinggi.
Disebutkan,
pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran
untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam
kembali tetapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia
tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.
Syarif
Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang
sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat
yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik
oleh Adipati Banten. Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan puteri
Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinannya inilah kemudian
Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang putera yaitu Nyi Ratu Winaon dan
Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa, Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian, beliau sering
bermusyawarah dengan anggota para wali lainnya di mesjid Demak. Bahkan
disebutkan beliau juga membantu berdirinya mesjid Demak.
Dari
pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif
Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memploklamirkan diri
sebagai raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan
tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya
disalurkan lewat Kadipaten Galuh.
Dengan
bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah
besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surakanta,
Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah
Keslutanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin
bertambah besarlah Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing
datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seorang
keluarga istana Cirebon kawin dengan pembesar dari negeri Cina yang berkunjung
ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin
erat.
Bahkan
Sunan Gunung Jati pernah diundang ke negeri Cina dan kawin dengan puteri Kaisar
Cina bernama puteri Ong Tien. Kaisar Cina pada saat itu dari dinasti Ming juga
beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan
baik antara Cirebon dan negeri Cina, hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina
untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.
Sesudah
kawin dengan Sunan Gunung Jati, puteri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi
Ratu Rara Semanding. Kaisar ayah puteri Ong Tien ini membekali puterinya dengan
harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan puteri
Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan
tersimpan di tempat yang aman. Istana dan Mesjid Cirebon kemudian dihiasi lagi
dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.
Mesjid
Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1980 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati
atau isteri Sunan Gunung Jati. Dari pembangunan mesjid itu melibatkan banyak
pihak, diantaranya Wali Songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden
Patah. Dalam pembangunan itu Sunan Kalijaga mendapat penghormatan untuk
mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan umat. Selesai membangun mesjid,
diteruskan dengan membangun jalan raya yang menhubungkan Cirebon dengan
daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam diseluruh
tanah pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan
wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah
semakin terhimpit.
Pathak
Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi
dilihatnya para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu.
Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah
puteri gurunya.
Pada
tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin
memperluas kekuasaannya ke pulau jawa. Pelabuhan sunda kelapa yang jadi incaran
mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang
mengancam kepulauan nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim adipati
Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Ada salah
seorang pejuang Malaka yang ikut ke tanah jawa yaitu Fatahillah. Ia bermaksud
meneruskan perjuangannya di tanah jawa. Dan dimasa Sultan Trenggana ia diangkat
menjadi panglima perang.
Pengalaman
adalah guru yang terbaik, dari pengalamannya bertempur di Malaka tahulah
Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat
memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa
hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah, Portugis kembali ke
Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentuk arahnya.
Selanjutnya
Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu
sisa-sisa pasukan Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena
Fatahillah dibantu putera Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Sebakingking.
Dikemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar
Pangeran Hasanuddin.
Kurang
lebih sekitar tahun 1479, Sunan Gunung Jati pergi ke daratan Cina dan tinggal
didaerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.
Daratan
Cina sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka disanalah Sunan
Gunung Jati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau
menguasai ilmu pengobatan tradisional. Disamping itu , pada setiap gerakan
fisik dari ibadah Sholat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat
atau akupuntur, terutama bila seseorang mau mendirikan Sholat dengan baik,
benar lengkap dengan amalan sunah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat
Cina agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan
sholat lima waktu, maka orang yang berobat kepada Sunan Gunung Jati banyak yang
sembuh sehingga nama Gunung Jati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.
Di
negeri naga itu Sunan Gunung Jati berkenalan dengan Jenderal Ceng Ho dan
sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah
masuk Islam. Pada suatu ketika Sunan Gunung Jati berkunjung ke hadapan kaisar
Hong Gie, pengganti kaisar Yung Lo dengan puteri kaisar yang bernama Ong Tien.
Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan
Gunung Jati di negeri Cina adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam,
beliau hendak melaksanakan sholat tahajjud. Beliau hendak sholat di rumah
tetapi tidak khusu’ lalu beliau sholat di mesjid, di mesjid juga belum khusu’.
Beliau heran padahal bagi para wali, sholat tahajjud itu adalah kewajiban yang
harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kemudian Sunan Gunung Jati sholat
diatas perahu dengan khusu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah sholat
dan berdo’a.
Ketika
beliau terbangun beliau merasa kaget. Daratan pulau jawa tidak nampak lagi.
Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri
Cina. Di negeri Cina beliau membuka praktek pengobatan. Pendudu Cina yang
berobat disuruhnya melaksanakan sholat. Setelah mengerjakan sholat mereka
sembuh. Makin hari namanya makin terkenal, beliau dianggap sebagai sinshe yang
berkepandaian tinggi terdengar oleh kaisar. Sunan Gunung Jati dipanggil
keistana, kaisar hendak menguji kepandaian Sunan Gunung Jati sebagai tabib dia
pasti dapat mengetahui mana seorang yang hamil muda atau belum hamil.
Dua
orang puteri kaisar disuruh maju. Seorang diantara mereka sudah bersuami dan
sedang hamil muda atau baru dua bulan. Sedang yang seorang lagi masih perawan
namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil.
Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak
seperti orang yang belum hamil. Hai tabib asing, mana diantara puteriku yang
hamil? Tanya kaisar.
Sunan
Gunung Jati diam sejenak. Ia berdoa kepada Tuhan.
Hai
orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab! Teriak kaisar Cina.
Dia!
Jawab Sunan Gunung Jati sembari menunjuk puteri Ong Tien yang masih Perawan.
Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikiann pula seluruh
balairung istana kaisar.
Namun
kemudian tawa mereka terhenti, karena puteri Ong Tien menjerit keras sembari
memegangi perutya.
Ayah!
Saya benar-benar hamil.
Maka
gemparlah seisi istana. Ternyata bantal diperut Ong Tien telah lenyap entah
kemana. Sementara perut puteri cantik itu benar-benar membesar seperti orang
hamil.
Kaisar
menjadi murka. Sunan Gunung Jati diusir dari daratan Cina. Sunan Gunung Jati
menurut, hari itu juga ia pamit pulau ke pulau jawa. Namun puteri Ong Tien ternyata
terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunung Jati maka dia minta kepada ayahnya
agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau Jawa.
Kaisar
Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunung Jati ke pulau
Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dan barang-barang berharga lainnya
seperti bokor, guci emas dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang
pembesar kerajaan yaitu Pai Li bang seorang menteri negara. Lie Guan Chang dan
Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunung Jati tatkala
beliau berdakwah di Cina.
Dalam
pelayarannya ke pulau jawa, mereka singgah di kadipaten Sriwijaya. Begitu
mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa
heran.
Ada
apa ini? Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya.
Tetua
masyarakat balik bertanya. Siapa yang bernama Pai Li Bang?
Saya
sendiri, jawab Pai Li Bang.
Kontan
Pai Li Bang digotong penduduk diatas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin
besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya.
Setelah
duduk dikursi Adipati, Pai Li Bang bertanya, sebenarnya apa yang terjadi?
Tetua
masyarakat itu menerangkan. Bahwa adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan
Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya,
karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan
Raden Hasan.
Dalam
kebingungan itulah muncul Sunan Gunung Jati, beliau berpesan bahwa sebentar
lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri Cina, namanya Pai Li Bang.
Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu
adalah seorang menteri negara di negeri Cina.
Setelah
berpesan begitu Sunan Gunung Jati meneruskan pelayarannya ke pulau jawa. Pai Li
Bang memang muridnya. Dia semakin kagum dengan gurunya yang ternyata mengetahui
sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke pulau jawa. Pai Li Bang
tidak menolak keinginan gurunya, dia bersedia menjadi adipati Sriwijaya. Dalam
pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan
aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti
menjadi nama kadipaten Pai Li Bang, dalam perkembangannya karena proses
pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal
dengan sebutan Palembang hingga sekarang.
Sementara
itu puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke pulau jawa. Sampai di
Cirebon dia mencari Sunan Gunung Jati, tapi Sunan Gunung Jati sedang berada di
Luragung. Puteri itupun menyusulnya. Pernikahan antara puteri Ong Tien denga
Sunan Gunung Jati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 puteri
Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati
di Cirebon jangan lah merasa heran disana banyak ornamen cina dan nuansa cina
lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari cina.
Wali
songo selalu bermusyawarah apabila menghadapi suatu masalah pelik yang
berkembang di masyarakat. Termasuk kebijakan dakwah yang mereka lakukan kepada
masyarakat jawa.
Mula-mula
sunan Ampel tidak setuju atas cara dakwah yang
dilakukan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Namun Sunan Kudus mengajukan pedapatnya. Saya setuju
dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang
masih bisa diarahkan kepada agama tauhid maka kita akan memberikannya warna
Islami. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus ke arah
kemusyrikan kita tinggal sama sekali. Sebagai misal, gamelan dan wayang kulit,
kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera masyarakat. Adapun
tentang kekuatiran kanjeng Sunan Ampel, saya mempunyai keyakinan bahwa
dibelakang hari akan ada orang yang menyempurnakannya.
Adanya
dua pendapat yang seakan bertentangan tersbut sebanarnya mengandung hikmah.
Pendapat Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus ada benarnya yaitu agar Islam cepat
diterima oleh orang jawa, dan ini terbukti, dikarenakan dua wali tersebut
pandai mengawinkan adat istiadat lama yang dapat ditolerir Islam maka penduduk
jawa banyak yang berbondong-bondong masuk agama Islam. Pada prinsipnya mereka
mau menerima Islam dengan lebih dahulu dan sedikit demi sedikit kemudian
mereka akan diberi pengertian akan kebersihan tauhid dalam iman mereka.
Sebaliknya,
adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus disiarkan dengan
murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran yang hakiki, sehingga
membuat umat semakin berhati-hari menjalankan syariat agama secara benar dan
bersih dari segala macam bid’ah. Inilah jasa Sunan Ampel yang sangat besar,
dengan peringatan inilah beliau telah menyelamatkan aqidah umat agar tidak
tergelincitr ke lembah musyrik.
SUNAN
DRAJAD
1. Asal Usul
Nama
asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putera Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan
merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim memulai perjalanannya
dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah ditempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah Barat itu
perahu beliau tiba-tiba dihantam oleh ombak yang besar sehingga menabrak karang
dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwanya. Tapi bila Tuhan belum
menentukan ajal seseorang biar bagaimanapun hebatnya kecelakaan pasti dia akan
selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan
besar yaitu ikan talang datang kepada Raden Qosim dan beliau pun menaiki
punggung ikan tersebut hingga selamat ke tepi pantai. ..... silahkan
dilanjutkan bacanya
Raden
Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterima
kasih kepada ikan talang yang telah menolongnya sampai ke tepi pantai. Untuk
itu beliau berpesan kepada anak keturunan beliau untuk tidak memakan daging
ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa
penyakit yang tiada obatnya lagi.
Ikan
talang tersebut membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah
desa Jelag (sekarang termasuk desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat
itu Raden Qosim disambut masyarakat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka
tahu bahwa Raden Qosim adalah putera Sunan Ampel seorang wali besar dan masih
terhitung kerabat kerajaan Majapahit.
Di
desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya menyiarkan
agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya.
Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya
menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km disana beliau mendirikan
langgar atau surau untuk berdakwah.
Tiga
tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat
berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di
bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan
Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut.
Raden
Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya dalam berdakwah
menyebarkan agama Islam beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak
berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi.
Tidak boleh dicampur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski
demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah, didalam
museum yang terletak disebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas
gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada
kesenian Jawa.
Dalam
catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang wali yang
hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga rajin mencari
rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Dikalangan rakyat
jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.
2. Ajaran Sunan Drajad yang Terkenal
Ajaran
Sunan Drajad bersumber dari :
1. Al-Quran
2. Sunnah
3. Ijma
4. Qiyas
5. Ajaran guru dan pendidik seperti
Sunan Ampel
6. Ajaran dan pemikiran atau paham yang
telah tersebar luas di masyarakat
7. Tradisi di masyarakat setempat yang
telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan
8. Fatwa Sunan Drajad sendiri.
Diantara
ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono
teken marang wong wuto
Menehono
mangan marang wong kan luwe
Menehono
busono marang wong kang mudo
Menehono
ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya
kurang lebih demikian :
Berilah
tongkat kepada orang buta
Berilah
makan kepada orang yang kelaparan
Berilah
pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah
tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun
maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta)
Sejahterkanlah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan) Ajarkanlah budi
pekerti (etika) kepada yang tidak tahu malu atau belum punya adab tinggi.
Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana.
Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat
dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan
untuk mengamalkannya.
Tentang
puncak ma’rifat Sunan Drajad menuliskan perumpaannya sebagai berikut :
“Ilang,
jenenge kawula,
Sirna
datang ana keri,
Pan
ilangwujudira,
Tegese
wujude widi,
Ilang
wujude iki,
Aneggih
perlambangira,
Lir
lintang karahinan,
Keserodotan
sang hyang rawi,
Artinya:
Hilang
jati diri makhluk,
Lenyap
tiada tersisa,
Karena
hilang wujud keberadaannya
Itulah
juga wujud Tuhan,
Itulah
yang ada ini,
Adapun
persamaannya,
Seperti
bintang diwaktu siang
Yang
tersinari matahari.
Disamping
terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau jua
dikenal sebagai anggota wali songo yang turut serta mendukung dinasti Demak dan
ikut pula mendirikan mesjid Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Dibidang
kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga pertama kali yang
menciptakan Gending Pangkur, hingga sekarang gending tersebut masih disukai
rakyat jawa. Sunan Drajad demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau
karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan
melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau dejat para ulama
muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah SWT.
SUNAN
MURIA
1. Asal Usul Sunan Muria
Beliau
adalah putera Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya
Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara
halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang
ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya disebelah utara kota Kudus. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliau lah satu-satu wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
2. Sakti Mandraguna
Bahwa
Sunan Muria itu adalah wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan
letak padepokannya yang terletak di atas gunung. Menuju ke makam Sunan Muria
pun perlu tenaga ekstra karena berada diatas bukit yang tinggi.
Bayangkanlah,
jika sunan Muria dan isterinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik
turun guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah
kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat
dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak
mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus dengan
jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian yang tinggi, demikian
pula dengan murid-muridnya.
Bukti
bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam
kisah perkawinan dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah puteri Sunan Ngerang,
yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat
tinggalnya di Juana.
Demikian
saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada
suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap
20 tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus, Adipati Pathak Warak, Kapa dan
Adiknya Gentiri. Tetangga dekat jua diundang, demikian pula snak kadang yang
dari jauh.
Setelah
tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya Dewi Roro Pujiwati keluar
menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik
jelita. Terutama Dewi Roroyono yang telah berusia 20 tahun, bagaikan bunga yang
sedang mekar-mekarnya.
Bagi
Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal
ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan
setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak
memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis
itu.
Sewaktu
menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pthak Warak belum
menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya
yang mempesona, sekarang gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak
tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus
menerus.
Karena
dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda
Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu
bertindak kurang ajar.
Tentu
saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketiak lelaki itu berlaku kurang
ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis
naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian
sang adipati.
Pathak
Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi
dilihatnya para tamu undangan menertawakan kekonyolan itu, diapun semakin malu.
Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah
puteri gurunya.
Roroyono
masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan
oleh Pathak Warak.
Malam
hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ketempatnya masing-masing. Tamu dari
jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan
Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan
matanya.
Pathak
Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-ngendap ke kamar Roroyono.
Gadis itu diserepnya sehingga tidak sadarkan diri, kemudian melalui genteng
Pathak Warak masuk dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi
Roroyono dibaw alari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
Setelah
Sunan Ngerang mengetahui bahwa puterinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau
berikrar siapa saja yang berhasil membawa puterinya kembali ke ngerang akan
dijodohkan dengan puterinya itu dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi
Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah
maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang
bersedia memnuhi harapan Sunan Ngerang.
Saya
akan berusaha mengambil Diajeng Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, kata
Sunan Muria.
Tetapi
ditengah perjalan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan
yang lebih dulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa
heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
Mengapa
kakang tampak tergesa-gesa? Tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan
penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa
dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang
lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut
kembali Dewi Roroyono.
Kakang
sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid kakang sangat
membutuhkan bimbingan. Biarlah kami berusaha merebut diajeng Dewi Roroyono
kembali. Kalau berhasil kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar
membantu, kata kapa.
Aku
masih sanggup untuk merebutnya sendiri, ujar Sunan Muria.
Itu
benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam lebih penting, percayalah
pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali, kata kapa ngotot.
Sunan
Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak
enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok
para santrinya di padepokan Gunung Muria.
Untuk
merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata minta
bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh
sakti yang jarang tandingannya. Usaha itu berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan
ke Ngerang.
Hari
berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha
Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
Hai
Pathak Warak berhenti kau, bentak Sunan Muria.
Pathak
Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang
didepannya.
Minggir!!
Jangan menghalangi Jalanku, hardik Pathak Warak.
Boleh,
asal kau kembalikan Dewi Roroyono !
Goblok!!
Dewi Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri!! Kini aku hendak mengejar mereka!!
Umpat Pathak Warak.
Untuk
apa kau mengejar mereka?
Merebutnya
kembali! Jawab Pathak Warak dengan sengit.
Kalau
begitu langkahi dulu mayatku, Dewi Roroyono telah dijodohkan denganku, ujar
Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa
basa basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangkak ke arah Sunan
Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putera Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya
dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah
dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak
mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan
Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira
oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan entiri telah bercerita jujur bahwa mereka
sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Dewi Roroyono,
maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.
Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
Kapa
dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah tanah di desa Buntar. Dengan
hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.
Sedang
Sunan Muria memboyong isterinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup
Bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak
demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari
keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita
jelita itu. Siang malam mereka tidak bisa tidur. Wajah wanita itu senantiasa
terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperisteri kakak seperguruannya
mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam didada.
Mengapa mereka dulu terburu-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan
Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang
mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan
pandangan matanya dan menjaga kehotmatan (kemaluan) mereka.
Andaikata
Kapa dan Gentiri tidak memandang terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi
Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona dan tidak terjerat
oleh iblis yang memasang perangkap pada pandangan mereka.
Kini
Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki iblis. Mereka bertekad hendak
merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk
menjadikan wanita itu sebagai isteri bersama secara bergiliran. Sungguh keji
rencana mereka.
Gentiri
berangkat lebih dahulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan
niatnya dipergoki oleh murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dahsyat.
Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin
panas. Akhirnya gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian
Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa.
Kapa cukup cerdik. Dia datang ke gunung Muria secara diam-diam dimalam hari.
Tak seorangpun yang mengetahuinya.
Kebetulan
pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke
Demak Bintoro. Kapa menyerep murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah, yang
ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian yang dengan mudahnya Kapa menculik
dan membawa wanita impiannya itu ke pulau sprapat.
Pada
saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro. Sunan Muria bermaksud
mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat. Ini biasanya
dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih
sang Wiku itu pernah meneolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti
ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan
dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam
yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri.
Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk
agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata,
kedatangan Kapa ke pulau Sparapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang
Datuk.
Memalukan!
Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan isteri kakang seperguruanmu
sendiri itu! Hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
Bapa
Guru ini bagaiman, bukakah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela? Protes
Kapa.
Sampai
matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu
muridku sendiri !
Perdebatan
antara guru dengan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria
sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat isterinya
sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa
dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu
mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa Langsung melancarkan serangan dengan
jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono
untuk membebaskan belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan
dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono.
Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata
serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik
menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu
membalikkan serangan lawan.
Karena
Kapa menggunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka
ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
Maafkan
saya tuan Wiku….,ujar Sunan Muria agak menyesal. Tidak mengapa. Menyesal aku
turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan
kejahatan, gumam Sang Wiku.
Bagaimanapun
Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak.
Pada
akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup bahagia.
SUNAN
GIRI
1. SYEKH MAULANA ISHAK
Di
awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu, salah
seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya
memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama Budha.
Pada
suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya pasalnya
puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah diusahakan
mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri belum sembuh
juga.
Memang
pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. Banyak sudah
korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah jawa esok sakit sorenya mati.
Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka dan hampir semua kegiatan sehari-hari
menjadi macet total.
Atas
saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang dapat
menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah
penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara
disebar hampir keseluruh pelosok negeri. Tapi sudah berbulan-bulan tidak
juga ada yang dapat memenangkan sayembara tersebut.
Permaisuri
makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan
menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati
penyakit puterinya.
Diiringi
beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan tugasnya.
Para pertapa biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng gunung, maka kesanalah
tujuan Patih Bajul Sengara.
Patih
Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya
tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana
Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi dinegeri Blambangan.
Patih
Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur
disebuah goa. Syekh Maulana Ishak mau mengobati puteri Prabu Menak Sembuyu
dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam. Syekh Maulana Ishak
memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi Sekar Dadu sembuh sekali
diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja
maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi
kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
2. Hasutan Sang Patih
Tujuh
bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari
semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang memeluk agama Islam.
Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan
hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal
ini.
Patih
Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada
pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin
Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada agama lama.
Pada
saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar
bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu.
Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera pamit
kepada isterinya untuk meninggalkan Blambangan.
Akhirnya,
pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan isteri
tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan
Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang
dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah
ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua
bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya.
Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senagn dan bahagia
melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada
yag lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.
Lain
halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan
kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut
Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali
di Blambangan, maka Patih baju Sengara berulah lagi..
Bayi
itu! Benar Gusti Prabu! Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan
dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal
diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu!
Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang
Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur
menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror
dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau
demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara
langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan
diperintahkan untuk dibuang ke samudera.
3. Joko Samudra
Pada
suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika
perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu
itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nahkota
memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah
perahunya membentur karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya
menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang
digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu.
Semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang
bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi
mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.
Nahkoda
kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali.
Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan digerakkan
kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Dihadapan
Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka
peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu
secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang
nahkoda.
Bayi…?
Bayi siapa ini ? gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari
dalam peti.
Kami
menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal.
Bayi
ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai
anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi ini
ditemukan di tengah smudera maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya
nama Joko Samudra.
Ketika
berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru
kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula
pertama Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke
Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren
Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada
suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna
melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat agar
selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan
diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba
Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya.
Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata. Untuk
mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi
ikatan pada sarung murid itu.
Esok
harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
Siapakah
diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan
Ampel.
Saya
Kanjeng Sunan…..ujar Joko Samudra.
Melihat
yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa
anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng
Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra, kesempatan itu digunakan Sunan
Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samudra.
Nyai
Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah
selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu
hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah Nyai Ageng Pinatih.
Teringat
pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan
Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti
menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia
percaya penuh kepada wali besar yang dihormati masyarakat bahkan juga
masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
4. Raden Paku
Sewaktu
mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putera
Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung
saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah
berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan
yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan pengetahuan.
Di
negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama
besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung yang nama aslinya
adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan
teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan
agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan
datang.
Pesan
itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di
negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh
Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak
bayi.
Raden
Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah
samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru
pada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya
Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di
Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri yang sangat dicintainya.
Raden
Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan dirinya
yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib
ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau
sudah meninggal dunia.
Di
negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka
pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak disia-siakan oleh
Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan
tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama
lainnya.
Ada
yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu yang
langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada
bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf
dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu
yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam
perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat
tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia lanjut dan
berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.
Setelah
tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup
oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah jawa.
Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.
Kelak,
bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul
dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun pesantren, demikianlah
pesan anahnya.
Kedua
pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada
Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban,
sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu
Nyai Ageng Pinatih.
5. Membersihkan Diri
Pada
usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan
ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati.
Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau
pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi
kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga
buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan.
Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu Hurairah
diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di
pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian
keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah
kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden paku membagi-bagikan barang dagangannya
dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
Tentu
saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan
Raden Paku, Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa
barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?
Jangan
kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar
saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan.
Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah
ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum,
nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.
Itu
diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang
lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam gelombang dan
badai?
Raden
Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu
Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan.
Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan pulau Banjar akan dibeli.
Paman
tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng
isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
Memang
benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi
hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk
bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan
Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar
perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.
Sebaiknya
ibu lihat dulu pinta Raden Paku.
Sudah,
jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori
karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.
Tapi
ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu
isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari banjar,
seperti rotan, damar , kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh
lebih besar ketimbang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.
6. Perkawinan Raden Paku
Al-kisah
ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai
sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya. Setiap kali ada orang yang
hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib
celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal
dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja lewat didepan pekarangan Ki
Ageng Supa Bungkul. Begitu ia berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu
jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki
Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau
harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.
Memang,
Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah
delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan puterinya yang bernama
Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu
disampaikan kepada Sunan Ampel.
Tak
usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi
Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu menjadi niat Ki Ageng
Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan
Ampel.
Tapi…….bukankah
saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah
ujar Raden Paku.
Tidak
mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi
Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.
Itulah
liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi
menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk seorang
bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah
berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau.
Sambil berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat
sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara.
Lama-lama
kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi
menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin
kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai
Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang
banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan
habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih
menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya,
maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah
Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar
goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga
sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai
bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri
Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip dengan tanah
yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui
desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk,
hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah
ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian
mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka
dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.
Atas
dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel,
tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri sudah terkenal ke
seluruh nusantara.
Menurut
Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri
Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan diatas bukit
di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan
Giri yang ada. Diatas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan
rakyat dibicarakan adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri
berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu
dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut
babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh
penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.
Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat
dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga
membangun mesjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para
santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar
bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan
sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat
diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib
hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.
7. Peresmian Mesjid Demak
Dalam
peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan
pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber
yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul
Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia
haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika
sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran
wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah
mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan
pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan Sholat jamaah Jum’at.
Sunan
Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum
Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak
bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk
wayang yang ada sekarang ini.
Sunan
Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak
bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit
itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan
bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu
Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para
dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang
arti sebenarnya adalah sunan Giri yang menata.
Maka
perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan
diawali dengan sholat jum’at kemudian diteruskan dengan pertunjukkan
wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.
8. Jasa-jasa Sunan Giri
Jasa
yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah
jaw bahkan ke nusantara.
Beliau
pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali
yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat
Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut
menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal
jama’ah.
Keteguhannya
dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif
bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai
ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.
Di
dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali
menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang
dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: jamuran, Cublak-ublak
Suweng, Jithungan dan Delikan.
Sembari
melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan
menyanyikan lagu Padhang Bulan :
“Padhang-padhang
bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane
na ing latar,
Ngalap
padhang gilar-gilar,
Nundhung
begog hangetikar.”
(malam
terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman,
mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud
dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama
Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi
ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan
dan kesesatan.
9. Para Pengganti Sunan Giri
Sunan
Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang
lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh
Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa.
Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan
menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.
Giri
Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri
meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan
Sunan Giri
8. Pengeran Singosari
Pangeran
Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat
II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah
pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton.
Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap
abadi sepanjang masa.
SYEKH
MAULANA MALIK IBRAHIM
1. Asal usul SYEKH MAULANA MALIK
IBRAHIM
Jauh
sebelum Maulana Malik Ibrahim datang ke Pulau Jawa. Sebenarnya sudah ada
masyarakat Islam di daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu
bisa dibuktikan dengan adanya makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun
yang meninggal pada tahun 475 Hijriyah atau pada tahun 1082 M.
Jadi
sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di pulau Jawa, yaitu daerah Jepara
dan Leren. Tetapi Islam pada masa itu masih belum berkembang secara
besar-besaran.
Maulana
Malik Ibrahim yang lebih dikenal penduduk setempat sebagai Kakek Bantal itu
diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik
hingga akhir wafatnya yaitu pada tahun 1419 M.
Pada
masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan
rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik
sudah ada yang beragam Islam, tetapi masih banyak yang beragama Hindu atau
bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam
Dakwah kakek bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi
yang tepat berdasarkan ajaran Al-Qur’an yaitu :
“Hendaklah
engkau ajak kejalan TuhanMu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan
petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran)
dengan cara yang sebaik-baiknya (QS. An Nahl ; 125)”
Ada
yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki dan pernah mengembara di
Gujarat sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di
pulau Jawa. Gujarat adalah wilayah negara Hindia yang kebanyakan penduduknya
beragama Hindu.
Di
Jawa, kakek bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu melainkan
juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang
terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam
yang bercampur dengan kegiatan Musyrik. Caranya , beliau tidak langsung menentang
kepercayaan mereka yang salah itu melainkan mendekati mereka dengan penuh
hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak Islami sebagaimana
ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dari
huruf-huruf arab yang terdapat pada batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh
Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang
dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu
menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat, bukan hanya
pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat bawah yaitu kaum fakir
miskin.
Keterangan
yang tertulis dimakamnya ialah sbb : “inilah makam Almarhum Almaghfur, yang
berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para pangeran, para Sultan dan para Menteri,
penolong para Fakir dan Miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya
simbol negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah
meliputinya dengan RahmatNya dan KeridhaanNya, dan dimasukkan ke dalam Surga.
Telah Wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal tahun 822 H.”
Menurut
literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak
beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan
orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya
lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim
atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang
disegani dan dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati
penduduk setempat sehingga mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan
suka rela dan menjadi pengikut beliau yang setia.
Sebagai
misal beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali,
beliau tidak menjelaskan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing
untuk bisa mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih
banyak lagi. Sesudah itu mereka dianjurkan bersyukur kepada yang memberikan
Rezeki yaitu Allah SWT.
Dikalangan
rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari
kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat
menjadi 4 kasta yaitu ; kasta brahmana, kstaria, waisya dan sudra. Dari ke
empat kasta tersebut kasta sudra adalah yang paling rendah dan sering di tindas
oleh kasta-kasta yang lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim
menerangkan kedudukan seseorang didalam Islam, orang-orang kasta sudra dan
waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa
dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul
dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Dihadapan Allah semua
manusia adalah sama, yang paling mulia diantara mereka hanyalah yang paling
taqwa disisi Allah SWT.
Taqwa
itu letaknya dihati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia
untuk berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi
segala laranganNya.
Dengan
taqwa itulah manusia akan hidup bahagia di dunia dan di akherat kelak, orang
yang bertaqwa sekalipun dia dari kasta sudra bisa jadi lebih mulia daripada
mereka yang berkasta ksatria dan brahmana.
Mendengar
keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta sudra dan waisya merasa lega,
mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia yang utuh sehingga
wajarlah bila mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita.
Setelah
pengikutnya semakin banyak, beliau kemudian mendirikan mesjid untuk beribadah
bersama-sama dan mengaji. Dalam membangun mesjid ini beliau mendapat bantuan
yang tidak sedikit dari Raja Carmain.
Dan
untuk mempersiapkan kader umat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan
menyebarkan agama Islam ke seluruh tanah Jawa dan seluruh Nusantara maka beliau
kemudian mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik
dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.
Pendirian
pesantren yang pertama kali di Nusantara itu di ilhami oleh kebiasaan
masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan Pendeta Brahmana yang mendidik cantrik
dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah
salah satu strategi para wali yang cukup jitu, orang
Budha dan Hindu yang mendirikan mandala-mandala untuk mendidik kader tidak
dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau itu mendirikan pesantren yang
mirip dengan mandala-mandala miliki kelompok Hindu dan Budha tersebut untuk
menjaring umat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren Gresik
kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi
pesantren tersebut berlangsung hingga dijaman sekarang. Dimana para ulama
menggodok calon mubaligh dipesantren yang diasuhnya.
Bila
orang bertanya suatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab
dengan berbelit-belit melainkan dijawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai
dengan pesan Nabi yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak
dipersulit, umat harus dibuat gembira, tidak ditakut-takuti.
Pada
suatu hari Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya tentang : Apakah yang dinamakan
Allah itu ?
Beliau
tidak menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala surga kepada
hambaNya yang berbakti dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang
membangkang kepadaNya.
Jawabannya
cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.”
Dua
tahun sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya
membimbing umat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga
memberi pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik.
Beliau pula yang mempunyai gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi
lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistem pengairan yang baik ini lahan
pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para petani menjadi
makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andaikata
Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup
rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang.
Sebagaimana sabda Nabi bahwa kefakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana
mungkin bisa beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan
sesuap nasi. Inilah resep yang harus ditiru.
2. Tamu dari Negeri Carmain
Ada
ganjalan di hari Syekh Maulana Malik Ibrahim, dia telah berhasil mengIslamkan
sebagian besar rakyat Gresik. Yang mana saat itu Gresik merupakan bagian dari
wilayah Majapahit. Kalau seluruh rakyat sudah memeluk Islam sementara Raja
Brawijaya penguasa Majapahir masih beragama Hindu, apakah dibelakang hari tidak
timbul ketegangan antara rakyat dengan rajanya.
Untuk
menghindari hal itu maka Syekh Maulana Malik Ibrahim mempunyai rencana mengajak
Raja Brawijaya untuk masuk agama Islam.
Hal
itu diutarakan kepada sahabatnya yaitu Raja Carmain. Ternyata Raja Carmain juga
mempunyai maksud serupa. Sudah lama Raja Carmain ingin mengajak Prabu Brawijaya
masuk agama Islam. Pada tahun 1321 M. Raja Carmain datang ke Gresik disertai
putrinya yang cantik rupawan. Putri Raja Carmain itu bernama Dewi Sari,
tujuannya dalam misi tersebut adalah untuk memberikan bimbingan kepada para
putri istana Majapahit mengenal agama Islam.
Bersama
Syekh Maulana Malik Ibrahim rombongan dari negeri Carmain itu menghadap Prabu
Brawijaya. Usaha mereka ternyata gagal. Prabu Brawijaya bersikeras
mempertahankan agama lama dengan ucapan diplomatis. Bahwa dia bersedia masuk
Islalm bila Dewi Sari bersedia dipersuntingnya sebagai isteri. Dewi Sari
menolak, tidak ada gunanya masuk Islam bila ditunggangi dengan kepentingan
duniawi. Beragama seperti itu hanya akan merusak keagungan agama Islam.
Rombongan
dari negeri Carmain lalu kembali ke Gresik. Mereka beristiharat di Leran
sembari menunggu selesainya perbaikan kapal untuk berlayar pulang
Sungguh
sayang sekali, selama peristirahatan di Leran banyak anggota dari negeri
Carmain yang diserang wabah penyakit. Banyak diantara mereka yang tewas,
termasuk Dewi Sari.
Kabar
kematian Dewi Sari terdengar ke telinga Prabu Brawijaya, Raja yang memang
tertarik dan merasa jatuh cinta kepada Dewi Sari itu kemudian menyempatkan diri
beserta para punggawanya berkunjung ke Leran. Raja Brawijaya memerintahkan
kepada para punggawanya untuk menggali kubur dan memakamkan Dewi Sari dengan
upacara kebesaran.
Setelah
rombongan dari negeri Carmain itu meninggalkan pantai Leran Prabu Brawijaya
menyerahkan seluruh daerah Gresik kepada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk
diperintah sendiri dibawah kedaulatan Majapahit.
Penyerahan
wilayah itu adalah siasat dari sang Raja agar rakyat Gresik yang beragama Islam
itu tidak memberontak kepada Rajanya yang masih beragama Hindu.
Amanat
Raja Majapahit itu diterima oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim dengan sukarela.
Sesuai dengan ajaran Islam yang menganjurkan perdamaian walaupun dengan kafir
zimmi yaitu orang-orang bukan muslim yang mau hidup berdampingan dengan aman
dalam suatu negara.
Demikianlah
sekilas tentang Syekh Maulana Malik
Ibrahim, seorang waliyullah yang dianggap sebagai ayah dari Wali Songo. Beliau
wafat di Gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.
SUNAN KUDUS
1. Asal Usul
Menurut salah satu sumber, Sunan
Kudus adalah putera Raden Usman haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang
Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini disebelah utara kota
Blora. Di dalam babad tanah jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah
memimpin pasukan Majapahit. Sunan ngudung selaku senopati Demak berhadapan
dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran
yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur
sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan
oleh sunan Kudus yang puteranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita
kekalahan, namun berkat siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka Raden Patah
yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhinya berimbang.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi
yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat
dihentikan. Adipati Terung yang memimpin laskar Majapahit diajak damai dan
bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini
keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak
dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang
itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
2. Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada
ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal.
Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asil Kiai Telingsing ini adalah
Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri cina yang datang ke pulau
jawa bersama laksamana jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam
sejarah, jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk
mengadakan tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di jawa, the Ling Sing cukup
dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang
terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana
beliau bukan hanya mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada
penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni
kepada Kiai Telingsing, termasuk Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar
kepada ulama yang berasal dari cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian
dari sifat positif masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam
mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah
Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga
berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
3. Cara Berdakwah yang Luwes
A.
Strategi Pendekatan kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung
gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada
masyarakat sebagai berikut :
1. Membiarkan dulu adat
istiadat dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak
mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
2. Bagian adat yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
3. Tut Wuri Handayani, artinya
mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan
untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri
Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
4. Menghindarkan konfrontasi
secara langsung atau secara keras didalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan
prinsip mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
5. Pada akhirnya boleh saja
merubah adat dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat
Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non
muslim agar mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa
mereka lakukan kecuali dengan konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam
secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah merupakan
dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati.
Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh
Sunan Ampel maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat
Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau
Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga,
kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.
B.
Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam
tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan
lama dan memegang teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam
masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus
atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo
Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dari
kapal besar.
Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah
Sunan Kudus.
Rakyat Kudus yang kebanyakan
beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan
Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu adalah hewan suci yang
menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang
dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus hendak
menyembelih sapi dihadapan rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan
menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya
sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah
Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah
jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam
rumahnya.
Sedulur-sedulur yang saya hormati,
segenap sanak kadang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara. Saya melarang
saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab diwaktu saya masih
kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu
seekor sapi datang menyusui saya.
Mendengar cerita tersebut para
pemeluk agama Hindu terkagum-kagum. Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah
titisan dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. Demi rasa
hormat saya kepada jenis hewn yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya
melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.
Kontan para penduduk terpesona atas
kisah itu.
Sunan kudus melanjutkan, salah satu
diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau
dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah, kata Sunan Kudus.
Masyarakat semakin tertarik. Kok ada
sapi di dalam Al-Qur’an mereka menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah
mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu
berhasil diraih akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat
berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk mesjid yang dibuat Sunan
Kudus pun tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah
menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh
dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang
Hindu merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna
mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C.
Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu
kedalam agama Islam hanya karena sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati
sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan
candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang
tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus
membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan.
Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini
disesuaikan dengan ajaran Budha, “Jalan berlipat delapan” atau Sanghika Marga”
yaitu :
1. Harus memiliki pengetahuan
yang benar
2. Mengambil keputusan yang
benar
3. Berkata yang benar
4. Hidup dengan cara yang benar
5. Bekerja dengan benar
6. Beribadah dengan benar
7. Dan menghayati agama dengan
benar.
Usahanya pun membuahkan hasil,
banyak umat Budha yang penasaran, untuk itu Sunan Kudus memasang lambang
wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan
ke mesjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
D.
Selamatan Mitoni
Didalam cerita tutur disebutkan
bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih
berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui, rakyat jawa
banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan
ajaran Islam, misalnnya berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela
sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga,
selamatan neloni. Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan
upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau
mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan Kalijaga
dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang isteri orang
jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni
sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan
supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara
keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara
selataman boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada
para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang
dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah
dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti nabi Yusuf, dan
bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu sang ayah dan ibu
harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.
Sebelum acara selamatan dilaksanakan
diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang
dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya
yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan
masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan
rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (hajatkan
dihajatan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu
dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di
kuburan atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan
gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh
masyarakat. Baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam
undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas
hamilnya sang isteri yang telah tiga bulan.
Sebelum masuk mesjid, rakyat harus
membasuh kaki dan tangannya dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus
membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama
dikalangan Hindu dan Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu
mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya
masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka
belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus
mengundang masyarakat lagi. Kali ini tidak usah membasuh tangan dan kakinya
waktu masuk mesjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong
memenuhi undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi
cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada keterangan
sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikuatirkan mereka
jenuh Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan,
tapi disitulah letak segi positipnya, rakyat ingin tahu kelanjutan ceramahnya.
Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan
maupun tidak, karena ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada
syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih
dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil
menebus kesalahannya dimasa lalu. Rakyat menaruh simpati dan
menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup
banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adau kesaktian dan
melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan
Maskumambang. Didalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran
agama Islam.
Sunan Kudus di
Negeri Mekkah
Didalam legenda dikisahkan bahwa
Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah
Suci Mekkah.
Sewaktu berada di Mekkah beliau
menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan disana ada wabah penyakit yang sukar
diatasi. Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil
melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar
jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi
tidak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap
penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambutnya dengan sinis.
Dengan apa tuan akan melenyapkan
wabah penyakit itu? Tanya sang Amir.
Dengan doa jawab Ja’far Sodiq
singkat.
Kalau hanya doa kami sudah puluhan
kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi
mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.
Saya mengerti memang tanah arab ini gudangnya
para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak
terkabulkan, kata Ja’far Sodiq.
Hem, sungguh bernai tuan mengatakan
demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?
Anda sendiri yang menyebabkannya,
kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya. Anda telah menjanjikan hadiah yang
menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa
hanya karena mengharapkan hadiah.
Sang Amir pun terbungkam seribu
bahasa atas jawaban itu.
Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan
melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far
Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit
mengganas dinegeri arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita
sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
Bukan main senangnya hati sang Amir.
Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud
diberikan kepada Ja’far Sodiq.
Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia
hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir
mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman
mesjid Kudus yang didirikannya sekembali dari tanah suci.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu
masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para wali mengadakan sidang untuk
menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far
Sodiq yang bertugas didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan
Kudus maka Raden Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
SUNAN BONANG
1. Asal usul Sunan Bonang
Dari berbagai sumber disebutkan
bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Putera
Sunan Ampel dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila.
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati
itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang
Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya
menantu Raja Majapahit.
Sebagai seorang wali yang disegani
dan dianggap Mufti atau pemimpin agama se tanah jawa, tentu saja Sunan Ampel
mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah
diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin.
Sudah bukan rahasia bahwa latihan
atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim
adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan
sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur
bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan
pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga
belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti
ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai
Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke
Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan
Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan
Surabaya.
2. Bijak dalam Berdakwah
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim
ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu
berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan
yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu
lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum
Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa
seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat
bagi pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim
membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Dan
tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus
melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden
Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan
Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam. Sehingga
tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan
dengan paksaan.
Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini
sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun
Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka
masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
3. Karya Satra
Beliau juga menciptakan karya sastra
yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap
sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan
beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden,
Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab
“Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering
disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang
disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa
disebut wirid.
4. Kuburnya ada dua
Sunan Bonang sering berdakwah
keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia pada saat berdakwah di
Pulau Bawean.
Berita segera disebarkan ke seluruh
tanah jawa. Para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan
memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau
Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal dari
Madura dan Surabaya menginginkan jenasah beliau dimakamkan di dekat ayahnya
yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikan kain kafan pembungkus
jenasah mereka pun tak mau kalah. Jenasah yang sudah dibungkus dengan kain kafan
milik orang bawean masih ditambah lagi dengan kain kafan dari Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang
Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep untuk membikin ngantuk orang-orang
Bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenasah Sunan Bonang kedalam kapal dan hendak
dibawa ke Surabaya. Karena tindakannya tergesa-gesa kain kafan jenasah
tertinggal satu.
Kapal layar segera bergerak ke arah
Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang
dipergunakan tidak bisa bergerak akhirnya jenasah Sunan Bonang dimakamkan di
Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban.
Sementara kain kafannya yang
ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenasahnya. Orang-orang Bawean pun
menguburkannya dengan penuh khidmat.
Dengan demikian ada dua jenasah
Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau.
Dengan demikian tak ada permusuhan diantara murid-muridnya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525
M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban sehingga sampai
sekarang makam itu banyak yang diziarahi orang dari segala penjuru tanah air.
SUNAN KALIJAGA
1. Diusir dari Kadipaten
Sunan Kalijaga itu aslinya bernama
Raden Said. Putera Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilakita.
Tumenggung Wilakita seringkali
disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggawale yang beragama
Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.
Sejak kecil Raden Said sudah
diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena
melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan
rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.
Gelora jiwa muda Raden Said seakan
meledak-ledak manakala melihat praktek oknum pejabat kadipaten Tuban disaat
menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata.
Rakyat yang pada waktu itu sudah
sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara,
mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang
ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk
persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.
Walau Raden Said putera seorang
bangsawan dia lebih menyukai kehidupan bebas, yang tidak terikat adat istiadat
kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala
lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga yang paling atas. Justru
karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk
kehidupan rakyat Tuban.
Niat untuk mengurangi penderitaan
rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat
banyak. Dia cukup memahaminya pula posisi ayahnya sebagai adipati bawahan
Majapahit. Tapi niatnya itu tidak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia
sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci
Al-Qur’an maka sekarang dia keluar rumah.
Di saat penjaga gudang Kadipaten
tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari
rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada
rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan
mereka.
Tentu saja rakyat yang tak tahu
apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak
diduga-duga. Walau mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki
itu karena Raden Said melakukannya dimalam hari secara
sembunyi-sembunyi.
Bukan hanya rakyat yang terkejut
atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga gudang kadipaten juga
merasa kaget, hatinya kebat-kebit karena makin hari barang-barang yang hendak
disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu semakin berkurang.
Ia ingin mengetahui siapakah pencuri
barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari
kejauhan, dari balik sebuah rumah tak jauh dari gudang kadipaten.
Dugaannya benar, ada seseorang yang
membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu
memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya pencuri itu adalah Raden Said
putera junjungannya sendiri.
Untuk melaporkannya sendiri kepada
adipati Wilatikta ia tak berani. Kuatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga
gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang adipati untuk memergoki
pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.
Raden Said tak pernah menyangka
bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar adari
gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit kadipaten
menangkapnya, beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan
ayahnya.
Adipati Wilatikta marah melihat
perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri
barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit.
Tapi untuk itu Raden Said harus
mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama kali dilakukannya
maka ia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian
disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas
hukuman yang sudah diterimanya?
Sesudah keluar dari hukuman dia
benar-beanr keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat
cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?
Dia mengenakan topeng khusus,
berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di
kabupaten tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat yang curang.
Harta hasil rampokan itu
diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi
ketika perbuatannya itu mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud
mencelakakannya.
Ada seorang pemimpin perampok sejati
yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin
perampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga
mengenakan topeng seperti Raden Said juga.
Pada suatu malam Raden Said baru
saja menyelesaikan sholat isya mendengar jerit tangis para penduduk desa
kampunya sedang djarah perampok.
Dia segera mendatangi tempat
kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu
segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asik
memperkosa seorang gadis cantik.
Raden Said mendobrak pintu rumah
sigadis yang sedang diperkosa. Didalam sebuah kamar dia melihat seorang
berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha
mengenakan pakaiannya kembaili. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis
tersebut.
Raden Said berusaha menangkap
perampok itu namun pemimpin perampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak
terdenganr suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain
berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa
perampok tadi menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said jadi panik dan
kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata
terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.
Kepala desa yang merasa penasaran
mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang
dibalik topeng itu sang kepada desa menjadi terbungkam. Sama sekali tak
disangkanya bahwa perampok itu adalah putera junjungannya sendiri yaitu Raden
Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu, Raden Said dianggap perampok dan
pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti dan saksi hidup atas kejadian
itu.
Sang kepala desa masih berusaha
menutup aib junjungannya. Diam-diam ia membawa Raden Said ke istana kadipaten
tuban tanpa sepengetahuan orang.
Tentu saja sang adipati jadi murka.
Raden Said di usir dari wilayah kadipaten tuban.
Pergi dari kadipaten tuban ini! Kau
telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri, pergi! Jangan kembali sebelum kau
dapat menggetarkan dinding-dinding istana kadipaten tuban ini dengan ayat-ayat
Al-Qur’an yang sering kau baca di malam hari.
Sang adipati Wilatikta juga sangat
terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan
kedudukannya ternyata telah menutup kemungkinan ke arah itu, sirna sudah segala
harapan sang adipati.
Hanya ada satu orang yang dapat
mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said itu
berjiwa luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan
yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan tanpa sepengetahuan ayah dan
ibunya dia meninggalkan istana kadipaten tuban untuk mencari Raden Said untuk
diajak pulang.
2. Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir
dari kadipaten tuban, ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya
dia menetap dihutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun ia menjadi perampok
budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokkannya itu tak
pernah dimakannya. Seperti dahulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.
Yang dirampoknya hanya para hartawan
atau orang kaya kikir, tidak menyantuni rakyat jelata. Dan tidak mau membayar
zakat.
Di hutan Jatiwangi dia membuang nama
aslinya. Orang menyebutnya dengan Brandal Lokajaya.
Pada suatu hari, ada seorang
berjubah putih lewat hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal lokajaya sudah
mengincarnya. Orang itu membawa tongkat yang gagangnya berkilauan.
Terus diawasinya orang tua berjubang
putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi
direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu
dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.
Dengan susah payah orang itu bangun,
sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya.
Raden Said pada saat itu sedang mengamati gagang tongkat yang
dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja
terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti
emas. Raden Said heran melihat orang tua itu menangis. Segera diulurkannya
kembali tongkat itu. Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan.
Bukan tongkat ini yang kutangisi
ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput ditangannya.
Lihatlah ! aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut
ketika aku jatuh tersungkur tadi.
Hanyam beberapa lembar rumput. Kau
merasa berdosa? Tanya Raden Said heran.
Ya, memang berdosa! Karena kau
mencabutnya tanpa sesuatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu
tidak mengapa. Tapi untuk sesuatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa jawab
lelaki itu.
Hari Raden Said bergetar atas
jawaban yang mengandung nilai iman itu.
Anak muda sesungguhnya apa yang kau
cari dihutan ini?
Saya menginginkan harta?
Untuk apa?
Saya berikan kepada fakir miskin dan
penduduk yang menderita,.. hem…sungguh mulia hatimu, sayang…caramu
mendapatkannya yang keliru.
Orang tua….apa maksudmu?
Boleh aku bertanya anak muda? Desah
orang tua itu. Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah
tindakanmu itu benar?
Sungguh perbuatan bodoh sahut Raden
Said. Hanya menambah kotor dan bau pakaian saja.
Lelaki itu tersenyum, demikianlah
amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram
atau mencuri itu sama halnya dengan mencuci pakaian dengan air kencing.
Raden Said tercekat. Lelaki itu
melanjutkan ucapannya. Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari
barang yang baik atau halal.
Raden Said makin tercengang
mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa
keliru perbuatannya selama ini. Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki tua itu.
Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka
dan tertarik dengan lelaki tua berjubah putih tersebut.
Banyak hal yang terkait dengan usaha
mengentaskan kemiskinan dan penderitaan rakyat pada saat ini. Kau tidak
bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para
penduduk miskin. Kau harus memperingatkan pada penguasa yang zalim agar mau
mengubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat
membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya.
Raden Said semakin terpana, ucapan
seperti itulah yang didambakannya selama ini. Kalau kau tak mau kerja keras dan
hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal.
Ambillah sesukamu!
Berkata demikian lelaki itu menunjuk
pada sebatang pohon aren. Seketika itu pohon berubah menjadi emas. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda
sakti dan banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang
aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir.
Kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.
Tapi setelah mengerahkan ilmunya,
pohon aren itu tetap berubah menjadi emas. Berarti orang tua itu tidak
menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran, ilmu apakah yang
telah dipergunakan orang tua itu sehingga mampu merubah pohon menjadi emas.
Raden Said terdiam beberapa saat
ditempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah
jadi emas seluruhnya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi
emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala
Raden Said. Pemuda itu jatuh terjerembab ke tanah roboh dan pingsan.
Ketika sadar, buah aren yang rontok
itu telah berubah menjadi hijau seperti aren-aren yang lainnya. Raden Said
bangkit berdiri, mencari orang tua berjubah putih tadi. Tapi yang dicari nya
sudah tidak ada ditempat.
Ucapan orang tua tadi masih
terngiang ditelinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan
dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait
dengan upaya memberantas kemiskinan.
Raden Said mengejar oarang itu.
Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat
bayangan orang tua itu dari kejauhan.
Sepertinya santai saja orang itu
melangkahkan kakinya tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun
terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah setelah tenaganya habis terkuras dia
baru bisa sampai dibelakang lelaki berjubah putih itu.
Lelaki berjubah putih itu berhenti,
bukan karena kehadiran Raden Said melainkan didepannya terbentang sungai cukup
lebar. Tak ada jembatan dan sungai itu tampaknya sangat dalam dengan apa dia
harus menyeberang.
Tunggu……, ucap Raden Said ketika
melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi.
Sudilah kiranya tuan menerima saya
sebagai murid…..pintanya.
Menjadi muridku? Tanya orang tua itu
sembari menoleh. Mau belajar apa?
Apa saja, asal tuan manerima saya
sebagai murid….
Berat, berat sekali anak muda,
bersediakah engkau menerima syarat-syaratnya?
Saya bersedia….
Lelaki itu kemudian menancapkan
tongkatnya ditepi sungai. Raden Said diperintah menunggui tongkat itu. Tak
boleh beranjak dari tempat itu sebelum orang tua itu kembali menemuinya.
Raden Said bersedia menerima syarat
ujian itu.
Selanjutnya lelaki itu menyeberangi
sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan diatas
air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air, ia
semakin yakin calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita
dan mungkin saja golongan para wali.
Setelah lelaki tuan itu hilang dari
pandangan Raden Said, pemuda ini duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib
yang dibacanya didalam Al-Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera
berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa kahfi ratusan
tahun yang silam.
Doanya dikabulkan. Raden Said
tertidur dalam semedinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati
tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.
Setelah tiga tahun lelaki berjubah
putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan.
Barulah setelah mengumandangkan adzan pemuda itu membuka sepasang matanya.
Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi
pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke tuban mengapa dibawa ke tuban?
Karena lelaki berjubah putih itu adalah sunan Bonang. Raden Said kemudian
diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya yaitu tingkat para
waliyullah. Dikemudian hari Raden Said terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Kalijaga artinya orang yang menjaga
sungai, karena dia pernah bertapa ditepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan
Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup pada masa itu. Dijaga
maksudnya supaya tidak membahayakan umat, melainkan diarahkan kepada ajaran
Islam yang benar.
Ada juga yang mengartikan legenda
pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun
Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup., itu artinya
Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai petunjuk jalan
kehidupan.
Raden Said kemudian disuruh
menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah
untuk terjun kedalam kancah masyarakat jawa yang banyak mempunyai aliran
kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Sunan Bonang mampu berjalan diatas
air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan tidak terkena percikan
air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang
berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang
sendiri yaitu Islam.
3. Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan
kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup.
Terlebih setelah usah adipati tuban menangkap para perampok yang mengacau
kadipaten tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika terguncang.
Kebetulan saat ditangkap oleh
prajurit tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang
persis dengan yang dikenakan oleh Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup
rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah adipati tuban
bahwa Raden Said tidak bersalah.
Ibu Raden Said menangis
sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat
disayanginya itu, sang ibu tak pernah tau bahwa anak yang didambakannya itu
bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke tuban. Hanya saja tidak langsung ke
istana kadipaten tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.
Untuk mengobati kerinduan sang ibu,
tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an
jarak jauh lau suaranya dikirim ke istana tuban.
Suara Raden Said yang merdu itu
benar-benar menggetarkan dinding istana kadipaten. Bahkan mengguncangkan
isi hati adipati tuban dan isternya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan
dirinya. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya
kembali. Pada akhinya, dia kembali bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak
terkirakan betapa bahagianya adipati tuban dan isterinya menerima kedatangan
putera-puterinya yang sangat dicintainya itu.
Karena Raden Said tidak bersedia
menggantikan kedudukan ayahnya akhirnya kedudukan adipati tuban diberikan
kepada cucunya sendiri yaitu putera Dewi Rasawulan dan Empu Supa.
Raden Said meneruskan
pengembaraannya, berdakwah atau menyebarkan agama Islam di jawa tengah hingga
ke jawa barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat
ditermia dan dianggap sebagai guru suci se tanah jawa. Dalam usia lanjut beliau
memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang
beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangan nya diterima di
sisi Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar