JALAN
TERBAIK
Kedatangan Mbak Rina adalah warna
dalam hidupku. Dia adalah kakak perempuanku. Tiada hari kami isi dengan kisah,
ceria dan bahagia. Seperti menghiasi anak kucing dan sebagainya adalah hiburan
yang menyenangkan buatku. Kedatangannya bukan tampa sebab, Mbak Rina pulang
karena sakit tumor jinak di lutut kirinya membuat dia pulang dan memutuskan
untuk berhenti sekolah. Namun Mbak Rina menepis kesedihannya dengan bermain
bersamaku.
Waktu itu aku berumur 8 tahun dan
masih kelas 2 SD. Waktu itu aku pulang sekolah dan memainkan duit logam di
tanganku. Aku mengantungkan tasku dan duduk di samping Mbak Rina, menemani Mbak
Rina adalah tugasku. Aku harus mau mengambilkan tongkat ketika Mbak Rina akan
berjalan atau membuatkan susu, atau juga ke toko membeli apa yang Mbak Rina mau
dan juga yang lainya. Uang yang selalu ada di tangannya pemberian dari tetangga
yang prihatin atas sakit yang diderita Mbak Rina.
“Kamu tau? Uang logam itu kalo kamu
simpan akan berkembang loh…!” kata Mbak Rina.
“Masa iya Mbak?” tanyaku.
“Iya, kalau tidak percaya coba saja selipkan di bawah lipatan pakaian itu dan apa yang terjadi?” jelas Mbak Rina.
Aku pun menyelipkan uang logam di bawah lipatan pakaian dan
besoknya aku melihat uang logamku bertambah. Tak terpikir rupanya Mbak Rinalah
yang secara diam-diam menambah uang logam tersebut. Akhirnya ketahuan olehku
dan dia tertawa cengengesan. Walau dibalik senyum dan tawanya Mbak Rina
tersiksa dengan menyakit yang dideritanya. Pernah aku melihat Mbak Rina
meneteskan air mata sambil menulis Diary teman sejatinya. Pernah juga Mbak Rina
menangis sejadi-jadinya dan menyumpahi dirinya agar Allah lekas mencabut
nyawanya. Aku hanya diam dan ikut merasakan penderitaan yang Mbak Rina rasakan.“Masa iya Mbak?” tanyaku.
“Iya, kalau tidak percaya coba saja selipkan di bawah lipatan pakaian itu dan apa yang terjadi?” jelas Mbak Rina.
Bermacam-macam pengobatan telah didatangi namun hasilnya Nihil. Tidak membuahkan hasil, bengkak di lutut kirinya bukannya mengempis tapi malah membesar. Sementara ke dokter solusi satu-satunya adalah dengan jalan amputasi.
“Ngak Pak… Rina ngak mau diamputasi! Soal ajal pasti akan menemui setiap Manusia! Rina nggak sanggup melihat kaki rina hanya satu! Rina ngak sanggup Pak!”
Ibu memeluk dan menenangkan Mbak Rina, karena Mbak Rina menangis. Bapak hanya diam lalu menemui Dokter. Aku juga sempat mendengarkan.
“Jika pasien tidak mau, maka kami pun tidak bisa melakukannya! Kami khawatir”
Bapak hanya mengangguk mendengar perkataan Dokter.
Hari pun berganti bulan, bulan juga terus berganti dengan tahun. Penyakit yang Mbak Rina derita juga semakin memburuk! Dari bisa berdiri dengan tongkat kini hanya bisa dengan mengesot di lantai. Jelas semakin menyiksa Mbak Rina, tapi Mbak Rina selalu optimis suatu saat nanti dia pasti akan sembuh. Apalagi besok ada Tabib terkenal akan mengobatinya, menurut kabar jarang yang tidak sembuh jika Tabib itu yang mengobati. Mbak Rina pun memanggil aku, aku melihat Mbak Rina duduk di atas kasur dengan senyum.
“Dek, duduklah disini!”
“Iya Mbak!”
“Kamu sering doakan Mbak, ketika di langgar?”
“Sering Mbak!”
“Nanti doakan Mbak lagi ya? Yang serius dan sungguh-sungguh!”
“Iya Mbak!”
“Soalnya Mbak, bermimpi tadi malam! Di mimpi itu terlihat nyata bahwa Mbak akan sembuh dan menikah dengan lelaki tampan. Jika Mbak sembuh Mbak akan belikan apapun yang kamu mau. doakan Mbak ya?”
Seperti biasa aku ke langgar untuk mengaji, tapi sebelum semua itu dimulai seperti biasa aku menyempatkan diri untuk berdoa agar Mbak Rina sembuh. Kali ini dengan khusuk dan tetesan Air mata.
“Ya Allah… kasihanilah Mbak Rina yang aku sayangi. Dia begitu tersiksa oleh penyakitnya, tidakkah engkau mengkasihaninya? Sembuhkan Ya Allah untuk selama-lamanya! Berikan dia kebahagiaan yang sesunggunya! Aku tidak sanggup mendengar tangisnya, tak sanggup mendengar rintihan. Rintihan penderitaan yang memilukan. Sesungguhnya engkau Maha Pengasih, tunjukan pengasihmu… sesungguhnya Engkau Maha Penyayang tunjukan Sayangmu… Wahai yang Maha Pendengar!”
Kali ini tertetes air mataku, tak terhingga. Doa yang benar-benar tulus dari hati yang terdalam. Entah mengapa timbul di hatiku sebuah ketenangan. Aku yakin Allah akan mengabulkan doaku.
Di malamnya seperti biasa Mbak Rina menyuapiku makan. Aku benar-benar menikmati suapannya, berbeda dengan hari lainnya suapan itu terasa nikmat di mulutku. Tapi mulutku berucap tidak sesuai dengan hatiku.
“Sudah Mbak… aku sudah kenyang!”
“Sudah ya dek?”
Mbak Rina pun menaruh piringku di atas meja yang tidak jauh di sampingnya. Dilihat bengkaknya mengeluarkan darah, semua pada panik! Ibuku, pamanku dan bapakku ada yang mencari mobil untuk membawa Mbak Rina ke rumah sakit. Ada yang mecari lap untuk mengelap lantai yang terkena darah. Namun Mbak Rina terlihat lemas dan selang beberpa menit dia memejamkan mata dengan tenang.
Aku berpikir Mbak Rina hanyalah pingsan, namun ketika dicek nadinya tidak berdenyut lagi. Setelah aku tahu bahwa Mbak Rina meninggal, disaat itulah aku menangis sejadi-jadinya. Dimana doaku yang aku pintakan kepada Allah? Kenapa Allah malah mencabut nyawanya? Kenapa Allah begitu kejam padaku? Semua kekesalanku terluap hingga aku menangis dengan histeris.
“MBAK RINAAA….” tangisku.
Setelah satu minggu aku tidak dapat melupakan kejadian itu. Aku terus mengingait Mbak Rina, semua yang aku lihat seperti ada bayang Mbak Rina. Ketika melihat kursi di depan rumah terbayang Mbak Rina membacakan buku cerita untukku. Ketika melihat meja terbayang Mbak Rina menyuapiku. Ketika melihat kasur terbayang Mbak Rina memelukku.
“Mbak, kenapa Mbak pergi begitu cepat? Sepi rumah ini rasanya!”
Tiba-tiba pamanku menepuk bahuku.
“Iklaskan saja! Inilah jalan terbaik! Dari pada dia lama tersiksa lebih baik seperti ini! Dia sembuh untuk selama-lamanya! Paman mendengar dia sempat mengucapkan syahadat secara perlahan, insya Allah dia masuk surga dan kebahagiaan menunggunya”
Aku tersadar, inilah jawaban atas doaku. Ya, inilah jalan terbaik untuknya. Aku tersenyum semoga dia bahagia disana.
MENCINTAI DALAM DIAM
Sekitaran satu setengah tahun yang
lalu, kau dan aku dipertemukan di bangku perkuliahan. Semenjak pertemuan
pertama itu hingga saat ini rasa itu masih tetap ada dan jikalau berubah
semuanya itu karena rasa yang sekarang lebih kuat dari sebelumnya dan selama
ini aku memberanikan diri Mencintaimu dalam diam. Semua hal yang kita lakukan
berdua membuat hatiku memberontak. Hubungan seperti apa yang kita jalani
sekarang, entah itu persahabatan, adek tapi mesra (atm), saudara dan hubungan
lainnya. Semua itu membuatku bingung memulainya dari mana. Banyak dari kalangan
teman-teman mempertanyakan hubungan kita serta mendukung hubungan kita menjadi
lebih spesial (pacaran). Tapi sampai saat ini aku lebih memilih dekat seperti
ini saja tanpa harus ada ikatan spesial, karena aku gak mau terlalu jauh
melangkah. Takutnya nanti munculnya sebuah kebencian, karena adanya ikatan
spesial karena otomatis pasti akan ada kata putus dan aku gak mau merusak
hubungan indah ini hanya karena menginginkan sebuah status serta kepastian.
Biarkanlah ku terus Mencintaimu
walau dalam diam seperti ini. Mencintaimu dalam diam saja menjadi fitnah bagi
setiap pasang mulut apalagi terang-terangan. Aku gak tau ini cinta atau hasrat.
Tapi, yang aku tau, bersamamu, waktu berjalan lebih cepat dari biasanya.
Kenapa? Kenapa kebersamaan itu cepat sekali berlalu. Aku gak tau ini cinta atau
hasrat sesaat. Tapi, yang pasti bersamamu aku bahagia. Bila itu hanya hasrat
sesaat maka hentikanlah aku. Jangan biarkan aku jauh lebih dalam lagi. Tapi,
jika itu rasa cinta yang allah berikan untuk kita berdua. Maka, biarkanlah rasa
itu tumbuh, tumbuh dan tumbuh lebih lebat dari sebelumnya. Hingga tiba saatnya
dimana kita akan dipersatukan dalam ikatan yang halal.
Selama ini aku selalu menunggumu
walau aku sendiri gak tau adakah aku di hatimu. Sebenarnya aku takut menunggu
lebih lama lagi, aku takut ada perempuan baru yang akan menetap di hatimu dan
membuat namaku semakin sirna di hatimu. Sejenakku menggila memikirkan hal-hal
aneh. Bila ku terus menunggumu terlalu lama dan membuat umurku semakin
bertambah sementara aku terus mengharapkanmu tapi pada akhirnya kau memilih
membangun hubungan itu dengan perempuan lain. Pemikiran-pemikiran seperti itu
selalu menggerogoti otak dan hatiku. Tapi inilah aku perempuan biasa yang gak
cantik, yang hanya bisa kulakukan saat ini adalah membuatmu tersenyum dan
ketawa lepas, memunculkan hal-hal lucu baru sehingga kau mempunyai alasan untuk
mengingatku sehingga tak ada lagi kata bosan dan titik jenuh pun sirna. Tapi
itulah kau, kau layaknya hujan di hidupku. Tetesan air hujan selalu membasahi
bumi. Tapi, suara dan perlakukanmu selalu membasahi pipiku dengan air mata
kebahagiaan. Hujan saja dapat menyejukkan bumi begitu juga denganmu yang selalu
menyejukkan hatiku. Gemuruh petir riuh menerobos gendang telingaku sedangkan
riuh suaramu menerobos menembus hatiku jika itu adalah bentuk rasa sayangmu
maka biarkanlah tetap seperti itu. Jika semuanya hanya sekedar mimpi indah maka
bangunkanlah aku serta sadarkan aku dari mabuk cintamu kak.
Menjelajahi hati seseorang itu
tidaklah mudah maka dari itu aku lebih memilih mencintaimu dalam diam. Jika kau
tidak layak untukku maka akan kulayakan. Jika kau tidak pantas bersanding
denganku maka akan kupantaskan. Maaf bukan begitu jalan pikiranku, karena
inilah aku bersinar dengan caraku sendiri bukan bersinar dengan pantulan cahaya
dari siapapun atau bersinar dengan cara menutupi sinar orang lain. Jika waktu
berkata kau layak untukku dan aku layak untukmu. Maka, saat itulah kita akan sama-sama
menyinari kehidupan kita. saat itulah yang sedang kutunggu. Membangun hubungan
pendewasaan bukan hubugan kekanak-kanakan. Untukmu yang tidak menjanjikanku
kemewahan. Tapi membimbingku dan berjalan bersama menuju masa depan.
Ketika Waktu berkata semoga amanah
membangun kisahnya. Maka saat itulah kita akan sama-sama memperjuangkannya.
Hingga akhirnya kau bukan lagi mengetuk pintu hatiku tapi mengetuk pintu
rumahku. Dan bukan lagi bilang “I love you” tapi “I will marry you’.
The End
PESAN TERAKHIR
Di hari tanpa curahan sang surya,
gigi ini bergetar, menimbulkan nada bak jam dinding berdetak. Di malam kelam
ini udara dingin menyapa, menusuk tulang berbungkus kulit ini. Sendiri di dalam
keheningan, jauh dari kebisingan kota raya. Di bawah pohon besar nan rindang
ini ku menunggu sembari melepas segala kepenatan yang ada. Dering berisik mulai
kudengar ku ambil sakuku dalam-dalam, berusaha mendiamkannya dan menikmati
kesunyian ini. Berulang kali benda ini berbunyi, walau telah kuabaikan benda
ini tetap mengganggu. Ya, memang saat malam-malam ini ibu satu-satunya sang
penelepon. Dia pun tak lupa mengirim pesan elektonik singkat padaku. Tak kubaca
satu pun darinya. Karena kutahu hanya celotehan dan omomng kosongnya yang akan
ia lontarkan kepadaku. Memang sejak awal ibu tak menaruh sedikitpun hatinya
terhadap karirku ini, berlekak-lekok di atas panggung dengan sorotan cahaya
mengikutiku dan sejuta pasang lensa mengambil setiap langkahku. Apa salahnya?
Hal itu yang selalu membayang-bayang di benakku. Ketidak setujuaanya itu
membuatku semakin jauh darinya.
Air dari langit pun melunturkan
lamunku. Ku langkahkan kakiku untuk menghindari air yang terus mengejar. Makin
lama makin ku jauhkan langkahku. Langkah ini berhenti sejenak. Kutundukan
kepala sembari mengumpulkan segala tenaga yang tersisa. Aku pun tergeletak di
bahu jalan dengan napas terengah-engah dan kepala tertunduk. Air tersebut kini
telah menyelimuti seluruh tubuh ini. Tersodor sebuah payung yang menghalau
segala air yang menyerangku. Tampak sesosok dengan jubah hitam dan sepotong
kain yang menutupi kepala dan sebagian dari wajahnya. Dengan tulus dia
mengangkat tubuhku dan menuntunku melangkah ke kediamannya.
Dia membungkusku dengan sepotong
handuk hangat. Dan menyajikan kue-kue kecil juga teh hangat untuk mengembalikan
tenagaku hari ini. Kulihat sesosok wanita tua di sampingnya dengan tatapan
kosong dan mimik tak jelas menghiasi mulutnya.
“Siapa dia?” tanyaku sambil melirik kesampingnya.
Dia membuka kain yang menutupi wajahnya, sambil tersenyum lebar.
“Dia ibuku orang yang tersayang sepanjang hidupku!” serunya sembari memeluk wanita tua itu.
“Apa dia buta?” sambungku dengan nada penasaran.
“Iya… dia juga sedikit gagu dan lumpuh permanen.”
Mendengar jawabanya ku terdiam membeku, tampak suatu hal yang tak bisa menyentuh logika ku. “Bagaimana mungkin orang cantik yang bersembunyi di balik kain ini mempunyai ibu seperti ini?” hatiku terus bernego tanpa henti.
“ke..kenapa?” tanyaku dengan keraguan dan terbata-bata.
“Karena dia ibuku, aku akan menjadi pengelihatnya saat dia tak bisa melihat, aku akan menjadi pembicaranya saat dia tak bisa bicara, aku akan menjadi perabanya saat dia tak bisa meraba, aku juga akan menjadi geraknya saat dia tak bisa bergerak. Tapi semua yang kulakukan tak akan pernah bisa membalas semua hal yang telah ia lakukan kepadaku, dulu ia merawatku saat aku berenang dalam rahimnya. Dan tiap hari mulutnya tak henti mengalunkan harapan kesuksesanku.” Terang perempuan berjubah itu dengan iringan air mata.
“Siapa dia?” tanyaku sambil melirik kesampingnya.
Dia membuka kain yang menutupi wajahnya, sambil tersenyum lebar.
“Dia ibuku orang yang tersayang sepanjang hidupku!” serunya sembari memeluk wanita tua itu.
“Apa dia buta?” sambungku dengan nada penasaran.
“Iya… dia juga sedikit gagu dan lumpuh permanen.”
Mendengar jawabanya ku terdiam membeku, tampak suatu hal yang tak bisa menyentuh logika ku. “Bagaimana mungkin orang cantik yang bersembunyi di balik kain ini mempunyai ibu seperti ini?” hatiku terus bernego tanpa henti.
“ke..kenapa?” tanyaku dengan keraguan dan terbata-bata.
“Karena dia ibuku, aku akan menjadi pengelihatnya saat dia tak bisa melihat, aku akan menjadi pembicaranya saat dia tak bisa bicara, aku akan menjadi perabanya saat dia tak bisa meraba, aku juga akan menjadi geraknya saat dia tak bisa bergerak. Tapi semua yang kulakukan tak akan pernah bisa membalas semua hal yang telah ia lakukan kepadaku, dulu ia merawatku saat aku berenang dalam rahimnya. Dan tiap hari mulutnya tak henti mengalunkan harapan kesuksesanku.” Terang perempuan berjubah itu dengan iringan air mata.
Kata-kata perempuan itu kini
menghiasi pikiranku. Keesokannya kuputuskan untuk kembali ke rumah, dengan
harapan melihat senyuman dan pengampunan ibu. Di sepanjang langkah kubaca tiap
pesan singkat ibu, tertulis “ibu sayang kamu”. Dari sepuluh pesan, hanya
tulisan itu yang menghiasi. Tak terbayang bagaimana rindunya ibu kepadaku.
Kuambil seribu langkah untuk menuju rumah. Rasa rindu yang terus membuat
langkahku semakin cepat.
Kerinduan itu sirna saat ku berada
tepat di depan rumah. Betapa tercenangnya hati ini melihat selembar bendera
kuning menghiasi rumah kami. Seketika itu pula desak tangis hati ini keluar,
deras semakin deras. Kurasa pilu hati, menusuk dan menggores hati dengan
kasarnya. Kini kulihat ibu dengan kain mori membungkusnya. Ku terdiam dan hanya
mengingat semua yang pernah kami lakukan bersama. “Ibu izinkan aku menciummu
dan berilah aku senyumanmu!” Seruku dalam hati dengan derasnya air mata
penyesalan.
SECANGKIR KOPI
Secangkir kopi, teman yang selalu setia menemani setiap malam. Rasanya memang tidaklah nikmat jika nongkrong bersama saat malam tanpa ditemani secangkir kopi. Ada yang bilang “Di dalam sebuah rasa kopi terkandung sebuah perasaan nikmat yang dapat dirasakan setelah bekerja seharian.”. Tapi pernahkah kamu merasakan kopi tanpa ada sesuatu yang kamu kerjakan hari itu? Hanya rasa kopi saja yang kamu rasakan tanpa adanya makna mendalam yang kamu dapat pikirkan.Di depan sebuah rumah tua, didampingi riasan bintang-bintang. Aku bersama temanku menongkrong di tempat sunyi nan sepi, yang kami sebut rumah. Walau pada dasarnya, rumah itu bukan milik kami. Di dalam malam-malam yang sepi, aku selalu menuang secangkir kopi untukku dan temanku tanpa adanya tambahan gula yang terasa seperti hidup kami.
Bekerja… Bekerja… dan Bekerja.
Kata yang pantas bagi kami yang selalu menahan lapar sampai hari gajian nanti. Memang takdir tidaklah selalu sama. Bagi kami, para pemalas yang tidak peduli akan masa depan kami. Di dalam kelamnya masa muda yang kami hancurkan untuk keegoisan kami, Bagaikan minum kopi manis yang telah memanjakan kami dan menyisahkan rasa pahit. Terombang ambing di derasnya alur kehidupan, sementara yang kami lakukan hanya berpacaran dan berjudi adalah hal yang memang pantas untuk disesali.
“Tapi mengapa kita hanya menginginkan kenikmatan? Bukankah hal terbaik itu tenang? Tapi kita malah senang merampas hak-hak orang lain dan mementingkan keegoisan sendiri?”
Diriku sendiri juga berpikir di bawah cahaya rembulan sambil ditemani secangkir kopi. Melalui pandangan tajam, aku tatap sang rembulan dan terus bertanya-tanya. “Apa kita dilahirkan hanya untuk merasakan kenikmatan saja? Terus apa yang akan aku lakukan jika sudah seperti ini? Mengapa hal buruk ini selalu terjadi?”.
Di dalam dunia yang fana ini memang pantas kita terus dilanda kebingungan. “Kemana tujuan kita?” adalah hal yang lumrah di dunia ini. Tapi pada siapa kita mengadukan hal ini? Pertanyaan yang sangat sulit dijawab tapi memang selalu ada orang yang mengerti. Semua hal-hal itu membuat kepalaku mendidih, lebih baik kesampingkan hal itu dengan secangkir kopi di genggamanku. Di bawah sinar bulan aku mengatakan kesukaanku sekarang.
“Aku lebih suka kopi pahit daripada kopi manis, karena ini adalah hidupku!”
Rasa tersakiti, rasa dibenci, dan rasa tidak peduli adalah perasaan yang aku dapat dari masa laluku. Bahkan temanku sendiri tidak menghiraukan ucapanku, oleh karena itu aku lebih memilih kopi pahit. Walau selama ini aku suka kopi manis, rasa nikmat yang langsung didapat tanpa adanya rasa pahit diawal. Tapi manis yang kumau sekarang adalah manis yang aku dapat setelah rasa pahit.
Oleh karena itu aku sekarang menyukai kopi pahit, Berhenti mengeluh pada kehidupan dan mulai menerima kemudian menikmatinya. Lagi pula kopi pahit pada akhirnya juga akan menjadi manis.
TEMAN ATAU SAHABAT
Ketika hari mulai mendung, aku dan
teman teman akan menuju sebuah perjalanan yang pernah kami lewati bersama.
mungkin, perjalanan yang indah dulu akan terungkit kembali.
Satu persatu teman temanku datang.
Mereka tau kisah yang dulu kami alami berujung keindahan. Ketika semua
berkumpul kami berangkat menuju jejak kaki yang dulu.
Di tengah perjalanan kami, ada
satu orang teman yang merasa kesakitan. kami bertanya.
“Ada apa denganmu?”
“Aku merasa pusing” dengan nada lemah dia berbicara
“Apa kamu bisa melanjutan perjalanan ini”
“Pergilah, aku tidak apa apa. Teruskanlah perjalanan kalian tanpa aku”
Aku berpikir dia tidak akan bisa pulang sendiri. Aku membantu dia pulang karena aku sadar sebuah pertemanan sejati tidak akan bisa tergantikan oleh apa pun.
“Ada apa denganmu?”
“Aku merasa pusing” dengan nada lemah dia berbicara
“Apa kamu bisa melanjutan perjalanan ini”
“Pergilah, aku tidak apa apa. Teruskanlah perjalanan kalian tanpa aku”
Aku berpikir dia tidak akan bisa pulang sendiri. Aku membantu dia pulang karena aku sadar sebuah pertemanan sejati tidak akan bisa tergantikan oleh apa pun.
Aku mengantar dia sampai ke rumah
dengan perasaan hampa. Aku berpikir, perjalanan kali ini tidak akan seperti
dulu.
Dia berkata padaku.
“Terima kasih”
“Hai teman, kita ini teman, tidak usah berterima kasih”
“Ok”
“Baiklah, semoga cepat sembuh”
Dia berkata padaku.
“Terima kasih”
“Hai teman, kita ini teman, tidak usah berterima kasih”
“Ok”
“Baiklah, semoga cepat sembuh”
Aku kembali lagi kepada teman
temanku yang lain. Hatiku merasa sedih karena satu teman tidak ikut.
Teman temanku berkata “hai, jangan sedih kita akan lewati ini bersama. Kita teruskan perjalanan ini”.
Perjalanan pun berlanjut. Berawal dengan mengambil jeruk di tengah sawah yang luas. Jeruk jeruk yang dulu pernah kami petik tidak ada yang manis.
Di setiap samping pohon pohon jeruk terdapat buah timun mas yang setiap satu bijinya besarnya mencapai 3-6 kg. Kami buka mencari timun mas yang besar. Kami mencari timun mas yang kecil kecil karena tujuan kami untuk membuat rujak.
Teman temanku berkata “hai, jangan sedih kita akan lewati ini bersama. Kita teruskan perjalanan ini”.
Perjalanan pun berlanjut. Berawal dengan mengambil jeruk di tengah sawah yang luas. Jeruk jeruk yang dulu pernah kami petik tidak ada yang manis.
Di setiap samping pohon pohon jeruk terdapat buah timun mas yang setiap satu bijinya besarnya mencapai 3-6 kg. Kami buka mencari timun mas yang besar. Kami mencari timun mas yang kecil kecil karena tujuan kami untuk membuat rujak.
Di sebuah tumpukan tanah yang
tinggi terdapat pohon pohon pisang, jambu biji, jambu air dan cabai. Di sinilah
hal hal kecil bisa di dapatkan dengan mudah.
Perjalanan berlanjut menuju tempat
kecil yang di sekitarnya dipenuhi dengan padi, gunung gunung yang tinggi,
bendungan kecil yang airnya jernih, dan angin angin yang selalu berbicara.
Rujak yang akan kami buat cukup sederhana, tapi terasa istimewa saat canda tawa teman temanku terucap, hati yang selalu gembira membuat hal kecil menjadi besar.
Rujak yang akan kami buat cukup sederhana, tapi terasa istimewa saat canda tawa teman temanku terucap, hati yang selalu gembira membuat hal kecil menjadi besar.
Perjalanan berlanjut dengan cuaca
yang berubah menjadi panas. Di saat cuaca panas kami merasakan haus. Akhirnya
kami menuju sebuah kebun buah bentuknya bundar rasanya segar dan di dalamnya
ada air,
Buah itu adalah semangka, kami mengambil semangka itu 1 orang 1 biji. Dan kami kembali ke tempat kecil yang dipenuhi keindahan alam.
Buah itu adalah semangka, kami mengambil semangka itu 1 orang 1 biji. Dan kami kembali ke tempat kecil yang dipenuhi keindahan alam.
Kini kisahku berakhir dengan
dipenuhi kebahagiaan dari teman temanku. Aku sadar sebuah pertemanan itu akan
selalu berujung keindahan.
Perbedaan antara percintaan dan
pertemanan itu sangatlah jauh berbeda. Teman yang selalu di samping terkadang
kita tidak merasakannya. Tapi jika pacar kita, di samping kita, kita akan
sangat merasakannya. Padahal jika teman kita tidak ada di samping kita, kita
akan merasakan sangat kehilangan mereka. Jangan sampai pertemanan kalian
terpecah belah karena soal percintaan. Kalian akan sadar jika itu sudah
terjadi.
NENEKKU WANITA YANG HEBAT
Aku punya seorang nenek namanya
Riyati, dia punya 5 orang anak. Anak pertama sudah bekerja menjadi pengusaha
ikan asin dan mempunyai 2 putra, anak ke dua dia gak mau menikah dia di rumah
menemani nenek riyati dan kakek jojo tapi dia paling malas untuk bekerja cuma
memancing hobinya, anak ke 3 adalah ibu aku iya walaupun ibu aku gak menjadi
pengusaha bahkan ayah aku juga kerjanya seadanya ya karena faktor penyakit yang
dideritanya tapi mereka bisa membesarkan aku dan adik aku, hingga aku bisa
bekerja dan adikku bisa sekolah dan pastinya itu semua juga dengan bantuan
nenekku dan mengasuh anak dari kakaknya yang pertama, anak ke empat dia juga
sudah berumah tangga dan punya seorang putra 1, dia bekerja menjadi pembuat
tempe dan istrinya berdagang warung kecil-kecilan, dan anak ke lima dia sudah
berumah tangga punya seorang suami yang lumayan sukses dan punya dua orang anak
yang pintar-pintar, dia ikut suaminya di depok yang menjadi pengusaha tahu dan
tempe.
Walaupun nenek riyati sudah lanjut
usia bahkan suaminya kakek jojo pun sudah tudak sanggup untuk mencari nafkah
tapi nenek riyati sampe sekarang masih semangat bekerja, pekerjaannya adalah
memijat. Pagi, siang dan malam nenek memijat orang-orang, pulang pergi jalan
kaki walaupun kadang rumah si pasien agak jauh tetapi dia jalani dengan
senyuman, kadang ada yang merasa kasihan orang yang memintanya memijat
menjemput si nenek dan mengantarkanya lagi.
Nenek riyati tak pernah merasa
sedih dengan keadaanya, dia selalu tersenyum menjalani semua ini. Kadang aku
merasa sedih melihat nenek yang sehabis pulang memijat badannya terlihat lelah
tapi dia masih bisa tersenyum, ingin sekali aku bahagiakan dia melihat nenek
yang sudah lanjut usia itu di rumah saja tapi apa daya orangtuaku juga tidak
mampu, aku bekerja dengan gaji sedikit hanya aku tabungin untuk merapihi
rumahku yang memang setengah jadi dan untuk belanja keperluan sehari-hari.
Kadang anak-anaknya yang sudah sukses mengirimkan sejumlah uang tapi nenek
riyati masih saja bekerja dia tidak mau hidup bergantung sama anaknya, selama
tenaga masih bisa untuk bekerja nenek tidak akan berhenti semangat.
Nenekku adalah
wanita terhebat, walaupun usianya sudah tua tapi semangatnya luar biasa,
senyumannya mengalahkan semua yang indah di dunia ini dan semangatnya bagaikan
pahlawan tanpa tanda jasa.
SEBUAH SENYUMAN
Dia bernama Rangga, pemuda berusia
19 tahun. Dia menderita penyakit jantung yang sudah dia miliki sejak usia 15
tahun. Awalnya, dia seorang yang patuh, ramah, dan mudah bergaul dengan orang
lain. Dulu bahkan dia memiliki banyak teman yang bisa dia ajak bicara ataupun
bermain. Namun, sejak dia divonis penyakit jantung, dia lebih banyak mengurung
dirinya di dalam rumah dan tidak pernah sekalipun berani untuk pergi jauh dari
rumahnya. Dia bahkan belajar di dalam rumah dengan memanggil guru privat untuk
mengajarinya. Kehidupan Rangga mulai terasa membosankan sejak dia menderita
penyakit itu.
Suatu hari, Rangga baru pulang
dari check up di rumah sakit. Sejenak mobilnya harus berhenti ketika menemui
lampu lalu lintas berwarna merah. Tidak sengaja matanya menghadap ke arah luar,
dia melihat seorang gadis cantik di balik dinding kaca sebuah kafe yang berada
di seberang jalan. Gadis itu memancarkan wajah berseri-seri, rambutnya terurai
sepanjang pundaknya indah.
Lampu telah berubah menjadi hijau.
Mobil yang dikendarai Rangga pun melaju, namun tiba-tiba Rangga meminta
supirnya untuk menghentikan mobilnya sejenak. Dia keluar dari mobil dan
berjalan menuju kafe dimana dia melihat gadis itu. Rangga berjalan menyusuri
toko-toko yang berjajaran hingga ia bisa menemukan kafe yang menjadi tujuannya.
Di depan dinding kaca, langkahnya terhenti dan berdiri sejenak di sana. Sorot
matanya tertuju pada sosok gadis yang tengah sibuk melayani pembeli. Rangga
memperhatikan senyum indah yang tertuang di bibir gadis itu untuk para pembeli.
Melihat senyum gadis itu, serasa menyejukkan hatinya, seolah dia tengah melihat
senyum ibunya di dalam senyum gadis itu.
Dia melangkahkan kakinya membuka
pintu kafe dan masuk ke dalam. Dia mengayunkan kakinya mendekat ke meja pesan,
dimana gadis itu berdiri.
Ratih nama yang tertera dalam emblem nama yang bertengger di atas kantong kemeja kerjanya.
“Ratih, nama yang indah.” Gumam Rangga dengan nada sedikit berbisik.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya gadis bernama Ratih itu sambil tersenyum melihat ke arah Rangga,
Sekali lagi Rangga tersihir oleh senyum Ratih, dia terdiam dan hanya memandangi Ratih tanpa menyahut suara Ratih.
“Maaf, anda ingin pesan apa?” Ratih kembali bersuara untuk membuyarkan lamunan Rangga.
“Maafkan aku. Ummm… Aku… pesan Choco creamer 1.”
“Ada lagi?”
“Emmm… dan 1 Chocolate hangat.”
“Baiklah. Semuanya jadi Rp 30.000. Silahkan anda tunggu.”
Yang dilakukan Rangga hanya menunggu, namun dia sama sekali tidak meninggalkan tempatnya berdiri. Dia terlihat memperhatikan setiap langkah yang dilakukan Ratih di sana.
Ratih nama yang tertera dalam emblem nama yang bertengger di atas kantong kemeja kerjanya.
“Ratih, nama yang indah.” Gumam Rangga dengan nada sedikit berbisik.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya gadis bernama Ratih itu sambil tersenyum melihat ke arah Rangga,
Sekali lagi Rangga tersihir oleh senyum Ratih, dia terdiam dan hanya memandangi Ratih tanpa menyahut suara Ratih.
“Maaf, anda ingin pesan apa?” Ratih kembali bersuara untuk membuyarkan lamunan Rangga.
“Maafkan aku. Ummm… Aku… pesan Choco creamer 1.”
“Ada lagi?”
“Emmm… dan 1 Chocolate hangat.”
“Baiklah. Semuanya jadi Rp 30.000. Silahkan anda tunggu.”
Yang dilakukan Rangga hanya menunggu, namun dia sama sekali tidak meninggalkan tempatnya berdiri. Dia terlihat memperhatikan setiap langkah yang dilakukan Ratih di sana.
Lima menit, pesanan telah siap.
Ratih membawa dua pesanan Rangga dan diberikannya pada Rangga, namun hanya
Choco creamer yang diambil oleh Rangga.
“Itu untukmu, Ratih” Rangga melangkah pergi meninggalkan kafe itu dengan senyum puas.
Ratih yang saat itu merasa bingung dengan sikap Rangga yang baru saja ia temui.
“Aneh…” Ujar Ratih yang masih bersikap bingung.
“Itu untukmu, Ratih” Rangga melangkah pergi meninggalkan kafe itu dengan senyum puas.
Ratih yang saat itu merasa bingung dengan sikap Rangga yang baru saja ia temui.
“Aneh…” Ujar Ratih yang masih bersikap bingung.
Rangga kembali ke dalam mobil.
Untuk kesekian kali, sebelum mobilnya melaju dia melihat ke arah kafe itu,
kembali memperhatikan senyum Ratih yang indah itu dan karena itu dia tampak
bahagia. Sudah lama sekali Rangga tidak terlihat sebahagia ini. Dia tampak
seperti sosok Rangga 9 tahun lalu.
Pertama kali bertemu dengan Ratih
telah membuat Rangga terkesan dan tidak bisa melupakan hari itu. Sejak saat
itu, Rangga bukan lagi seorang yang tertutup, dia lebih sering berjalan-jalan
ke luar rumah dan tidak lagi mengurung dirinya di dalam rumah. Satu tempat yang
menjadi tujuannya, yaitu di kafe tempat Ratih bekerja. Rangga pun sering
singgah di kafe itu setiap hari dan membeli minuman yang menjadi pesanan
tetapnya yaitu Choco creamer. Namun selain itu, Rangga juga memesan Chocolate
hangat yang selalu dia tinggalkan untuk Ratih. Itulah cara Rangga mencuri
perhatian Ratih. Ya memang, melihat sikap Rangga, terlebih lagi selalu
memberinya minuman membuat diri Ratih geram dan terkumpul segudang pertanyaan
di dalam benak Ratih tentang Rangga.
Hari telah beranjak sore. Rangga
kembali mampir ke kafe itu lagi. Dan kali ini dia sedikit kecewa dengan apa
yang dilihatnya. Belum dia membuka pintu, dia masih berdiri di depan dinding
kaca. Dia melihat bukan sosok Ratih yang berdiri di meja bar untuk melayani
pesanan, melainkan orang lain. Hatinya sedikit kecewa, terlihat dari raut
wajahnya yang tiba-tiba berubah diam. Dia tidak bisa lagi melihat senyum indah
Ratih saat itu.
“Kenapa kamu tidak masuk?” Suara yang tiba-tiba terdengar. Rangga menoleh dan ditemukannya sosok Ratih berdiri di samping kanannya.
“Kamu?” Rangga tampak terkejut dengan kehadiran sosok Ratih yang ditunggu-tunggunya. Terlebih lagi perlahan Ratih mengayunkan kakinya melangkah mendekati tubuh Rangga dengan jarak yang makin terlihat dekat.
Ratih tiba-tiba tersenyum pada Rangga, dan menyodorkan sebuah minuman yang biasa Rangga pesan.
“Ini?”
“Bukankah kamu datang ke kafe ini untuk membelinya, dan aku sudah menyiapkannya. Ini untukmu.” Kelegaan datang di dalam hati Rangga, hari ini kedatangannya tidak sia-sia, kekecewaan yang hanya sebentar telah terobati dengan senyuman Ratih yang dia tunggu dan segelas choco cream.
“Kenapa kamu tidak masuk?” Suara yang tiba-tiba terdengar. Rangga menoleh dan ditemukannya sosok Ratih berdiri di samping kanannya.
“Kamu?” Rangga tampak terkejut dengan kehadiran sosok Ratih yang ditunggu-tunggunya. Terlebih lagi perlahan Ratih mengayunkan kakinya melangkah mendekati tubuh Rangga dengan jarak yang makin terlihat dekat.
Ratih tiba-tiba tersenyum pada Rangga, dan menyodorkan sebuah minuman yang biasa Rangga pesan.
“Ini?”
“Bukankah kamu datang ke kafe ini untuk membelinya, dan aku sudah menyiapkannya. Ini untukmu.” Kelegaan datang di dalam hati Rangga, hari ini kedatangannya tidak sia-sia, kekecewaan yang hanya sebentar telah terobati dengan senyuman Ratih yang dia tunggu dan segelas choco cream.
Hal yang tak terduga, kini Rangga
juga duduk berhadapan dengan Ratih di meja yang sama dan kafe dimana dia
pertama kali melihat Ratih. Entah apa yang menimpa diri Rangga, dia tiba-tiba
menjadi gugup dan membuat suasana sedikit canggung. Dan itu membuat Ratih
tertawa melihat tingkah Rangga yang memang terlihat aneh.
“Ngomong-ngomong, aku belum tahu namamu, siapa namamu?” Ratih berbicara dengan nada yang terdengar begitu santai.
“Ahhh?? Ah… namaku.. Rangga, usiaku 19 tahun.” Sahut Rangga yang masih dengan sikap kikuknya.
“Santai saja, seperti kamu belum pernah berhadapan dengan seorang gadis.” Sahut Ratih yang merubah suasana dengan candaannya.
“Memang aku belum pernah, satu perempuan yang kuhadapi adalah mendiang ibuku.” Jujur Rangga.
“Maafkan aku, jika menyinggung perasaanmu.”
“Ah lupakan. Terima kasih.”
Rasa gugup menimpa diri Rangga, sekali saat itu dia ingin mengungkapkan perasaannya pada Ratih, namun dia tidak tahu harus mulai dari mana. Otaknya berputar mencari cara untuk membuka mulutnya yang tersumpal oleh kata takut.
“Hei, Rangga apa yang kamu pikirkan?” Seru Ratih membuyarkan pikiran Rangga yang tengah risau.
“A..aaa…ku… Menyu..kai..mu. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu Ratih.” Seketika Rangga melontarkan kalimat itu dengan perasaan gugup hingga membuat suaranya terpatah-patah.
Suasana tertimbun dalam diam, Ratih berubah diam, diamnya menenggelamkan perasaan Rangga seketika. Saat itu hanya bisa terdengar alunan musik radio yang bergema di dalam kafe itu. Belum ada sepatah kata pun keluar dari mulut Rangga lagi ataupun Ratih.
“Maaf…” Ratih menatap Rangga dengan memasang mata sayu. “untuk saat ini aku masih belum memikirkan untuk menyukai seorang laki-laki, maafkan… maafkan aku.”
Bibir Rangga seketika kelu, menyadari memang hal yang dia takutkan telah terjadi. Mendengarkan kalimat itu cukup untuk sebagai jawabannya. Rangga memang tak pernah sekalipun merasakan jatuh cinta, sekalipun jatuh cinta hari ini perasaannya terubrak-abrik dengan penolakan yang halus.
“Ngomong-ngomong, aku belum tahu namamu, siapa namamu?” Ratih berbicara dengan nada yang terdengar begitu santai.
“Ahhh?? Ah… namaku.. Rangga, usiaku 19 tahun.” Sahut Rangga yang masih dengan sikap kikuknya.
“Santai saja, seperti kamu belum pernah berhadapan dengan seorang gadis.” Sahut Ratih yang merubah suasana dengan candaannya.
“Memang aku belum pernah, satu perempuan yang kuhadapi adalah mendiang ibuku.” Jujur Rangga.
“Maafkan aku, jika menyinggung perasaanmu.”
“Ah lupakan. Terima kasih.”
Rasa gugup menimpa diri Rangga, sekali saat itu dia ingin mengungkapkan perasaannya pada Ratih, namun dia tidak tahu harus mulai dari mana. Otaknya berputar mencari cara untuk membuka mulutnya yang tersumpal oleh kata takut.
“Hei, Rangga apa yang kamu pikirkan?” Seru Ratih membuyarkan pikiran Rangga yang tengah risau.
“A..aaa…ku… Menyu..kai..mu. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu Ratih.” Seketika Rangga melontarkan kalimat itu dengan perasaan gugup hingga membuat suaranya terpatah-patah.
Suasana tertimbun dalam diam, Ratih berubah diam, diamnya menenggelamkan perasaan Rangga seketika. Saat itu hanya bisa terdengar alunan musik radio yang bergema di dalam kafe itu. Belum ada sepatah kata pun keluar dari mulut Rangga lagi ataupun Ratih.
“Maaf…” Ratih menatap Rangga dengan memasang mata sayu. “untuk saat ini aku masih belum memikirkan untuk menyukai seorang laki-laki, maafkan… maafkan aku.”
Bibir Rangga seketika kelu, menyadari memang hal yang dia takutkan telah terjadi. Mendengarkan kalimat itu cukup untuk sebagai jawabannya. Rangga memang tak pernah sekalipun merasakan jatuh cinta, sekalipun jatuh cinta hari ini perasaannya terubrak-abrik dengan penolakan yang halus.
Malam muda sudah hampir
terlewatkan. Tubuh mereka masih anteng dalam kebungkaman, tak berinteraksi dan
hanya diam. Alunan musik radio yang melo seolah menginfeksi suasana. Tak tahan,
Rangga beranjak dan melepas senyuman untuk Ratih. Dia menyodorkan salam tangan
pada Ratih.
“Tapi masih bisakah kita berteman?” sepatah kata yang hanya bisa Rangga lontarkan.
Ratih membalas dengan anggukan kepala, dia juga membalas salam tangan dan tersenyum indah untuk Rangga. Rangga memberanikan dirinya melangkah keluar dengan menggenggam rasa kecewa, namun senyum masih berbalut di ujung wajahnya.
“Tapi masih bisakah kita berteman?” sepatah kata yang hanya bisa Rangga lontarkan.
Ratih membalas dengan anggukan kepala, dia juga membalas salam tangan dan tersenyum indah untuk Rangga. Rangga memberanikan dirinya melangkah keluar dengan menggenggam rasa kecewa, namun senyum masih berbalut di ujung wajahnya.
Sejak saat itu, Rangga mulai tak
pernah terlihat datang di kafe itu untuk sekedar menyeduh minuman yang sering
dia beli. Sekitar seminggu sudah sejak hari itu. Ratih selalu memandang ke arah
pintu, menanti kedatangan Rangga. Di jam yang sama, suasana yang sama, tidak
berubah sama sekali. Namun, ada yang berubah yang dirasakan Ratih yaitu
kehadiran Rangga yang mulai tak terlihat. Satu choco cream yang biasa Rangga
beli sudah siap saji, tinggal menunggu orangnya untuk mengambil. Ratih
merasakan keganjilan dalam hatinya, setiap kali melihat pintu terbuka dan
dinding kaca kafe, bayangan wajah Rangga muncul tiba-tiba. Moment yang
terlewatkan mulai dia raih untuk mengenangnya kembali.
Hari yang melelahkan. Usai menyelesaikan pekerjaannya. Ratih mengambil sebuah kertas kecil berisi sebuah nomor. Nomor itu milik Rangga yang dengan sengaja dia tinggalkan di meja terakhir mereka bertemu. Dengan perasaan ragu, dia tetap memberanikan dirinya menelpon nomor Rangga.
“Hallo…?” terdengar suara gadis kecil mengangkat telepon yang tidak lain adalah adik Rangga.
Tanpa basa-basi Ratih menanyakan tentang Rangga, gadis kecil itu hanya menjawab polos, “Kak Rangga ada di rumah sakit karena jantungnya tidak normal” Mendengar itu, mata Ratih membalak lebar. Tanpa ragu, Ratih berlari sekencangnya meninggalkan kafe. Dia menaiki sebuah taksi yang saat itu kebetulan lewat. Melaju ke rumah sakit dimana Rangga dirawat. Rasa rindunya sudah tak tertahan, hari itu dia berusaha untuk bisa melihat Rangga. Apakah ini rasa jatuh cinta? Apakah Ratih mulai merasakannya?
Hari yang melelahkan. Usai menyelesaikan pekerjaannya. Ratih mengambil sebuah kertas kecil berisi sebuah nomor. Nomor itu milik Rangga yang dengan sengaja dia tinggalkan di meja terakhir mereka bertemu. Dengan perasaan ragu, dia tetap memberanikan dirinya menelpon nomor Rangga.
“Hallo…?” terdengar suara gadis kecil mengangkat telepon yang tidak lain adalah adik Rangga.
Tanpa basa-basi Ratih menanyakan tentang Rangga, gadis kecil itu hanya menjawab polos, “Kak Rangga ada di rumah sakit karena jantungnya tidak normal” Mendengar itu, mata Ratih membalak lebar. Tanpa ragu, Ratih berlari sekencangnya meninggalkan kafe. Dia menaiki sebuah taksi yang saat itu kebetulan lewat. Melaju ke rumah sakit dimana Rangga dirawat. Rasa rindunya sudah tak tertahan, hari itu dia berusaha untuk bisa melihat Rangga. Apakah ini rasa jatuh cinta? Apakah Ratih mulai merasakannya?
Tiba di rumah sakit, Ratih berlari
masuk mencari informasi kamar Rangga. Kamar Dahlia 201, Ratih berlari menuju
kamar itu. Di depan kamar itu, seorang gadis kecil dan laki-laki paruh baya
yang tidak lain ayah Rangga berdiri sambil melihat kedatangan Ratih.
Ratih telah mendengar semua tentang kondisi Rangga dari ayah Rangga dan mempersilahkan Ratih untuk masuk ke dalam kamar rawat Rangga. Ratih duduk di samping tubuh yang terkulai lemas tak berdaya. Tidak ada suara apapun selain isak tangis yang keluar dari diri Ratih yang melihat tubuh lemah Rangga. Digenggamnya erat tangan Rangga.
Ratih telah mendengar semua tentang kondisi Rangga dari ayah Rangga dan mempersilahkan Ratih untuk masuk ke dalam kamar rawat Rangga. Ratih duduk di samping tubuh yang terkulai lemas tak berdaya. Tidak ada suara apapun selain isak tangis yang keluar dari diri Ratih yang melihat tubuh lemah Rangga. Digenggamnya erat tangan Rangga.
Esok sebuah kejutan datang, Rangga
telah lepas dari tidur yang panjang. Dia telah sadar. Ayah dan adiknya
menyambut kesadarannya dengan suka cita. Namun, tidak terlihat sosok Ratih
berdiri menyambut Rangga. Tatapan Rangga mengarah pada pintu, dia berharap
sosok Ratih datang di balik pintu itu. Sebelum itu terjadi, seorang perawat
lebih dulu membawa Rangga ke luar untuk medical check up.
Dalam jalan menuju ruang check up,
ada kerumunan orang tak sengaja mengalihkan perhatian Rangga. Aneh, tiba-tiba
Rangga merasakan dadanya berdegup kencang dan seorang anak kecil menghampirinya
memberikan sebuah buku catatan berwarna coklat yang memang miliknya. Sebuah
kertas kecil terlekat di atas buku itu dibacanya
Tertulis : Hey Rangga, cintamu ada
disini. Ratih.
Membaca kata singkat itu, seketika
Rangga terkejut. Matanya berkeliling mencari sosok Ratih. Di balik kerumunan
orang, sebuah lambaian tangan mengarah pada Rangga. Dia Ratih dengan senyuman
indah yang membuat hati seorang Rangga meleleh. Rangga mendekat ke arah Ratih,
dilihatnya Ratih tengah duduk manis di antara kerumunan orang sambil membawa
sebuah gitar yang siap dia mainkan. Senyum tak percaya bertengger di raut wajah
Rangga. Ketika itu, Ratih bernyanyi, sebuah lagu yang memang bermakna untuk
hubungannya bersama Rangga.
Aku tak akan melepaskan kamu yang
menggenggam hatiku. Kita takkan mungkin terpisahkan. Biarlah terjadi apapun
yang terjadi. Aku yang tak bisa melepaskan kamu yang miliki hatiku. Walau
terlalu cepat bagi kita berdua untuk mengatakan: selamanya kita akan bersama
melewati segalanya yang tak dapat memisahkan kita berdua. Selamanya kita akan
selalu bersama tak aka nada keraguan kini dan nanti.
Bersama lagu itu, sebuah jawaban
telah didapatkan Rangga. Cintanya terbalaskan. Hanya sebuah senyuman mampu
menyambut sebuah kebahagiaan bersama obsesi-obsesi manisnya. Sebuah bayangan
keraguan telah sirna dengan hanya melihat senyuman murni yang bertengger di
bibir Ratih. Cinta singkat Rangga dan Ratih.
KEHIDUPAN YANG PAHIT
Hidup ini kadang gak adil ada yang
selalu beruntung ada juga yang selalu sial yah begitu juga manusia kalau kita
ingin dekat kepada mereka pastinya penampilan kita harus bagus kalau tidak
pastinya dijelekki atau dibully.
Pada pagi hari seperti biasa jam
06.00 pagi mike sudah bangun dan siap siap mandi sesudah mandi menyantap
makanan masakan ibu yang lumayan enak dan dia menyantapnya dengan lahap.
Sesudah makan mike berangkat ke sekolah seperti biasa diantar ibunya setelah
nyampe di tempat tujuan mike siap menuju sekolah pada saat dia sudah sampai di
kelas tiba tiba saja dia dilempari kertas sama beberapa temannya tetapi dia
hiraukan, mike memang orangnya pendiam bergaya dengan yang sederhana dan dia pun
beranjak duduk di bangkunya tetap dia baru sadar ternyata bangkunya basah dan
kotor dan celananya pun basah tapi dia tetap tenang dan membersihkan bangku itu
pakai selembar kertas dan guru pun datang, “selamat pagi anak anak!” ujar guru.
“selamat pagi pak” ujar murid. “pada hari ini bapak akan memberikan kalian
tugas karena mata pelajarannya hari ini 3 les jadi masih bisa dikerjakan
sekarang dan dikumpulkan sekarang dan bapak akan memberikan tugas berkelompok
kepada kalian dan kalian bebas memilih teman untuk kelompok kalian” ujar guru.
Dan murid murid itu sibuk mencari teman yang cocok untuk kelompoknya dan tiap
per kelompok harus ada 5 murid karena mereka berjumlah 30 murid satu kelas.
Mike pun mencari teman untuk berkelompok dengannya tetapi tidak ada satu pun
yang mau berkelompok dengannya murid murid itu sekarang sudah sibuk dengan
tugasnya tetapi mike hanya diam di bangkunya.
Sudah lamanya 3 les selesai
akhirnya guru itu tiba tiba muncul. “baiklah anak anak sudah waktunya kalian
mengumpulkan tugas kalian itu” dan murid itu pun buru buru mengumpulkan
tugasnya. Selesai 3 les akhirnya pun istirahat. Mike pun ingin pergi ke kantin
tapi ada temannya yang bernama joe menyuruh dia untuk membeli kan makanan
untuknya juga ada beberapa temannya yang bernama james, ervin dan raja
menyuruhnya untuk membelikan makanannya dengan paksa “cepat kau belikkan
makanan itu udah lapar aku!” ujar raja. Mike hanya mengangguk dan dengan cepat
membelikan makanannya.
Akhirnya
mike telah membeli makanan itu kepada mereka berempay dan memberikannya kepada
mereka. “udah pergilah kau sana” ujar raja. Mike pergi tetapi ada beberapa
perempuan yang bernama rebeka dan janny menyuruh mike untuk membelikan mereka
minuman “mike! Cepat belikan minuman itu untukku aku udah haus! Cepatlah babu”
mike pergi membelikan minuman itu tapi karena waktu sudah mau habis akhirnya
mike dengan buru buru dan lari untuk membelikan minuman itu ke dua perempuan
itu tapi karena terlalu buru buru larinya dia pun terjatuh dan minuman itu
berserak mike memiliki luka pada kaki dan tangan dan rebeka dan janny pun
datang dan kaget “woi g*blok kenapa lama malah jatuh mana minuman kami?!” ujar
janny. Tapi mike bingung kemana minuman itu berada karena terseret jatuh waktu
tadi. “kok diam pengecut! Cepat kau cari kalo gak dapat dapat siap siap kena
kau!” mike buru buru mencarinya tetapi gak dapat dapat tiba tiba dia melihat
satu botol minuman itu di sela sela rumput hingga dia mendapatkannya tapi satu
botol lagi nggak tau kemana hingga dia sudah menyerah mencarinya dan dia
memberikan botol minuman dari pesanan janny itu kepada janny. “punyaku mana!”
ujar rebeka. Mike pun hanya diam dan menggeleng gelengkan kepalanya.
Pada
akhirnya rebeka pun marah dan tasnya pun dibuang di tempat sampah. Dan dia
menyiksa mike dengan kasar sampai bajunya disirami dengan air dan murid murid
itu tertawa melihat mike yang sendirian dengan basah kuyup tiba tiba lonceng
sekolah berbunyi pulang cepat karena ada rapat guru murid murid itu dengan
senangnya membereskan perlengkapannya mike hanya diam dan mengambil tasnya yang
ada di tong sampah. Tiba tiba ada 1 perempuan menghampiri nya dan berkata
“dasar samp*h” mike tetap diam dan menangis dia pulang sekolah dengan lesu
sampai tengah jalan tiba tiba mendung dan hujan. Mike dengan buru buru berlari mencari
tempat teduhan dan dia pun mendapatkannya mike melihat ada seorang murid dari
sekolah lain diam disitu dengan lesu. Murid itu melihat mike yang pakaiannya
berantakan dan tasnya juga ada bekas bekas dari sisa sampah dia juga melihat
wajah mike yang berantakan dan matanya yang memerah. Lalu murid ini berkata
“aku tau kau pasti juga habis kena bully”, mike hanya diam. “aku tau kok dari
wajahmu dan juga penampilanmu itu kau pasti sedih sekali bahkan tidak ada
satupun yang dekat denganmu, aku juga memiliki nasib yang sama sepertimu kawan.
Oh iya namamu siapa? Namaku bob namamu?” ujar murid itu, “namaku mike” ujar
mike. “mike? Nama yang menarik bro hmm hujannya deras sekali kebetulan aku bawa
2 roti dan 2 minuman gelas. Nih ambil ayo makanlah”. Mike pun mengambilnya dan
menyantapnya. Sambil makan makan mereka sambil tertawa karena bob berusaha
menghibur mike. Mereka pun menceritakan kisah kisah mereka di sekolah tanpa
disadari hujan sudah reda. “hmm kelihatannya hujan sudah reda? Sudah bisa
gerak. Mike?” ujar bob, “iya” kata mike. “mumpung sudah kelas 9 kau harus kuat
dari bullyan mereka gak terasa kita sudah tamat kok kau harus kuat sekuat
mungkin tetap sabar bukan kau saja yang dibully aku juga begitu dan bukan kita
berdua saja yang dibully tetapi justru murid yang lainnya pasti ada seperti
kita”. Mata mike pun berkaca kaca dan dia mengangguk. “inilah hidup ada manis
nya ada pahit nya baik lah bro semoga saja kita berjumpa di kelas 10” ujar bob
dengan senyumannya. Mike pun berkata “terima kasih banyak kawan, Cuman kau satu
satunya teman yang baru kali ini peduli kepadaku”. “yapp nggak masalah good bye
bro..” bob pun pergi meninggalkan mike dan mike tetap mengingat kata kata bob
itu di pikirannya…
Mike pun
akhirnya pergi…
Tamat
MANTAN SAHABAT
Nama ku reni, aku punya seorang
sahabat namanya puji sama ayu.
Ya umur kita gak sama dan gak jauh beda juga, aku lahiran tahun 97, puji 95 dan ayu 99. Sejak kecil mungkin sejak Tk aku dan puji bersahabat dan ketika aku kelas 4 sd bertemulah dengan ayu jadilah kita 3 sahabat yang sangat akur.
Ya umur kita gak sama dan gak jauh beda juga, aku lahiran tahun 97, puji 95 dan ayu 99. Sejak kecil mungkin sejak Tk aku dan puji bersahabat dan ketika aku kelas 4 sd bertemulah dengan ayu jadilah kita 3 sahabat yang sangat akur.
Aku seneng banget punya sahabat
seperti mereka, mereka selalu hibur aku selalu semangatin aku, pokoknya mereka
segalanya bagi aku tiada mereka sepi banget hidupku, dari kecil kita bersama
sudah seperti kakak beradik bahkan bertengkar pun kita tak pernah.
Hingga suatu saat si puji berkenalan dengan seorang cowok namanya tri, aku senang akhirnya sahabatku ini punya pacar, aku senang banget ngelihat sahabatku ini bahagia pacaran dengan tri. Dan aku pun berkenalan dengan seorang cowok namanya aji, iya dia akhirnya jadi pacar aku juga, si ayu pun begitu dia juga punya pacar.
Hingga suatu saat si puji berkenalan dengan seorang cowok namanya tri, aku senang akhirnya sahabatku ini punya pacar, aku senang banget ngelihat sahabatku ini bahagia pacaran dengan tri. Dan aku pun berkenalan dengan seorang cowok namanya aji, iya dia akhirnya jadi pacar aku juga, si ayu pun begitu dia juga punya pacar.
Setahun dua tahun hubungan kita
baik-baik saja tidak ada masalah dan kita masih tetap nongkrong bareng, main
bareng, bahkan kita pun masih sering curhat terus ketiduran bareng di kamar
aku. Gak tau persis masalahnya apa terjadilah cekcok antara aku dan puji,
mungkin ini salah aku, aku anggapnya bercanda ngomong sama dia “pacar kamu
sombong banget ajarin dah biar gak sombong” tapi si puji angap ucapanku serius
dia marah sama aku, aku bingung harus bagaimana dia sudah terlalu marah sampai
aku minta maaf pun tak ia pedulikan. Nyesel banget aku ngomong kayak gitu sama
si puji, hubungan persahabatan kita menjadi gak karuan.
Aku pernah sengaja menyapanya tapi
dia cuek sama aku, sakit banget rasanya. Bayangin saja sejak kecil kita
bersahabat, kita bareng dan kita pisah cuman gara-gara masalah sepele aku gak
nyangka banget kita bakalan berpisah dengan cara seperti ini.
Sekarang aku mulai jalani
hari-hariku tanpa puji, rasanya aneh ada yang kurang dan gak seru. Tapi setelah
aku bekerja dan sibuk dengan pekerjaanku akhirnya terbiasa hidup tanpa sahabat
lamaku, si ayu masih tetap bersahabat dengan aku dia baik banget mau mengerti
aku, tapi kita juga gak bisa terus-terus bersama dia bekerja di bekasi jauh
banget dari kampung, jaraklah yang membuat hubungan aku sama ayu rengang tapi
kita masih tetap sahabat, aku gak mau kehilangan sahabatku lagi seperti aku
kehilangan puji.
Sekarang puji sudah menikah dengan
pacarnya dan dikarunia seorang putri, aku ikut senang mendengarnya, walaupun
kamu tak lagi hadir dalam hari-hariku aku tetap sayang kamu seperti dulu aku
angap kamu sebagai kakak aku. Aku sangat berharap rasa benci dalam hati mu
perlahan hilang dan beribu maaf untuk kamu puji.
Akhirnya kita yang dulu sering
disebut 3 Angel yang selalu ceria pun sudah hilang, bagaikan gelas cantik yang
dibanting dan pecah, semuanya tinggal kenangan indah.
TEGAR
Sinar matahari menemani langkah
Echa seorang gadis yang sederhana dan selalu berprilaku santun kepada semua
orang. Hidup hanya di temani Nenek yang sudah berumur hampir mencapai satu abad
yang selalu ia rawat dengan senang hati. Hari-harinya hanya menjual kue di
ibu-ibu yang bermukim di kampung Duren selain itu sekolah dengan mengantongi Beasiswa
yang diberikan dari sekolah berhubung ia orang miskin dan cerdas di kelasnya.
“kue.. kue…” dengan membawa baki
kue di kepalanya.
“Ibu kue bu, kue pak?” dengan kesabaran gadis yang sudah berumur lima belas tahun ini menawari kue-kuenya yang dari pagi ia tawarkan ke warga-warga perkampungannya.
“Nak, sini!?” seorang ibu memanggil Echa.
“Iya bu, mau beli kue saya bu?” dengan wajah ceria Echa menghampiri ibu itu.
“iya nak, bungkuskan Lima ribu dan jangan lupa onde-onde dan kue lapisnya ditambah dua ribu” ibu itu melihat Echa dalam hatinya merasa kasihan.
“sudah bu, ini angsulannya tiga belas ribu” sambil menyodorkan bungkusan kue dan uang yang ada di telapak tangannya.
“Iya sama-sama nak,” ibu itu memberikan kembalian uang mungkin ingin bersedekah.
“ini uang ibu, kenapa dikasih kesaya?” seolah penuh tanda tanya di wajahnya.
“Tidak nak, ambil aja itu rezkimu” seraya tersenyum di wajahnya memancarkan wajah damai tersimpan arti.
Suasana angin sepoi-sepoi membelai rambut Echa gadis yang terkadang menangis dalam hatinya tetapi selalu memberikan senyum kepada orang-orang yang entah itu dikenalnya terkecuali ia tidak berani melemparkan senyum kepada orang gila.
“Ibu kue bu, kue pak?” dengan kesabaran gadis yang sudah berumur lima belas tahun ini menawari kue-kuenya yang dari pagi ia tawarkan ke warga-warga perkampungannya.
“Nak, sini!?” seorang ibu memanggil Echa.
“Iya bu, mau beli kue saya bu?” dengan wajah ceria Echa menghampiri ibu itu.
“iya nak, bungkuskan Lima ribu dan jangan lupa onde-onde dan kue lapisnya ditambah dua ribu” ibu itu melihat Echa dalam hatinya merasa kasihan.
“sudah bu, ini angsulannya tiga belas ribu” sambil menyodorkan bungkusan kue dan uang yang ada di telapak tangannya.
“Iya sama-sama nak,” ibu itu memberikan kembalian uang mungkin ingin bersedekah.
“ini uang ibu, kenapa dikasih kesaya?” seolah penuh tanda tanya di wajahnya.
“Tidak nak, ambil aja itu rezkimu” seraya tersenyum di wajahnya memancarkan wajah damai tersimpan arti.
Suasana angin sepoi-sepoi membelai rambut Echa gadis yang terkadang menangis dalam hatinya tetapi selalu memberikan senyum kepada orang-orang yang entah itu dikenalnya terkecuali ia tidak berani melemparkan senyum kepada orang gila.
Setelah dagangan terjual habis
hari-hari yang dilalui Echa yaitu mengurusi Nenek tercinta selain berjualan dan
sekolah di sekitar perkampungannya. Ia mengurusi neneknya dari memberi makan,
membersihkan tempat tidur dan bahkan ia memandikan Neneknya. Hanya nenek
satu-satunya harta yang paling berharga yang dimiliki olehnya terkadang mungkin
orang-orang kasihan melihat kehidupan malang yang dialami Ecah tetapi tidak ada
daya orang-orang membantunya.
“Nenek, ayo makan dulu?” suara lembut menawari sang Neneknya yang tidak bisa berbicara sejak dua tahun yang lalu.
Neneknya hanya bisa mengangguk diiringi senyum di wajah keriputnya.
“Nenek, ayo makan dulu?” suara lembut menawari sang Neneknya yang tidak bisa berbicara sejak dua tahun yang lalu.
Neneknya hanya bisa mengangguk diiringi senyum di wajah keriputnya.
Sambil
menyuapi Neneknya Echa selalu menemani dengan kisah-kisah dongeng karena, orang
lanjut usia terkadang kembali ke masa kanak-kanak hanya pengabdian seperti ini
yang bisa diberikan Echa kepada orang yang ia cintai. Sejak tiga tahun lalu ia
ditinggal oleh orangtuanya untuk selama-lamanya karena, kecelakaan yang
merenggut nyawa orangtuanya tidak bisa ia pungkiri dari takdir.
Teringat ketika ia masih berada di bangku SD menerima pelajaran Agama islam. Ia yakin bahwa kematian pasti menghampiri manusia. Kematian tidak ada yang bisa menolak. Termasuk kedua orangtuanya. Tetapi, ketegaran Echa bagaikan batu karang gadis tegar dan tidak ada kata mengeluh dalam hidupnya merupakan nilai istimewa yang ia miliki.
Teringat ketika ia masih berada di bangku SD menerima pelajaran Agama islam. Ia yakin bahwa kematian pasti menghampiri manusia. Kematian tidak ada yang bisa menolak. Termasuk kedua orangtuanya. Tetapi, ketegaran Echa bagaikan batu karang gadis tegar dan tidak ada kata mengeluh dalam hidupnya merupakan nilai istimewa yang ia miliki.
“Kring,
kring, kring” suara lonceng berbunyi dan itu terdengar di SMP Tut Wuri
Handayani beberapa meter jauhnya dari Kampung Duren.
Dari belakang ada temannya yang mengejar dengan tarikan nafas yang tersengal-sengal.
“Echaaa, tunggu!”
Tersentak Echa dari lamunannya gara-gara mendengar suara temannya yang dipanggil Efi.
“Ya, Ampun Fi kamu bikin saya kaget aja, bisa gak suaramu di pelanin sedikit!?”
Dengan wajah memelas ia meminta teman karibnya ini untuk mengecilkan suaranya yang lumayan cempreng seperti kaleng robek.
“Iya, maaf cha, suaraku kan emang gede?” wajahnya memerah karena malu selalu di tegur gara-gara perkara suara.
“Ya udah lain kali kalo panggil biasa aja, saya denger aja kan suara kamu udah gede jadi, gak pake teriak segede tadi.”
Efi hanya bisa mengangguk-angguk seperti Nenek Echa yang ketika ditawari makan olehnya.
“Oh ya Cha, ini buku catatanmu kemarin saya pinjam, hampir aja lupa” ia menyodorkan buku yang sudah lumayan lusuh karena tidak pernah diganti-ganti dan di dalamnya sangat padat sekali tulisan. Entah itu di bagian atas pinggir kiri kanan dan sebagainya.
“Hem iya, gak bilang makasih nih” seraya mengejek temannya yang sedikit centil itu.
“Hehe, makasih Cha aku lupa” Efi terlihat malu di wajahnya sampai pipinya berubah menjadi kepiting rebus.
Dari belakang ada temannya yang mengejar dengan tarikan nafas yang tersengal-sengal.
“Echaaa, tunggu!”
Tersentak Echa dari lamunannya gara-gara mendengar suara temannya yang dipanggil Efi.
“Ya, Ampun Fi kamu bikin saya kaget aja, bisa gak suaramu di pelanin sedikit!?”
Dengan wajah memelas ia meminta teman karibnya ini untuk mengecilkan suaranya yang lumayan cempreng seperti kaleng robek.
“Iya, maaf cha, suaraku kan emang gede?” wajahnya memerah karena malu selalu di tegur gara-gara perkara suara.
“Ya udah lain kali kalo panggil biasa aja, saya denger aja kan suara kamu udah gede jadi, gak pake teriak segede tadi.”
Efi hanya bisa mengangguk-angguk seperti Nenek Echa yang ketika ditawari makan olehnya.
“Oh ya Cha, ini buku catatanmu kemarin saya pinjam, hampir aja lupa” ia menyodorkan buku yang sudah lumayan lusuh karena tidak pernah diganti-ganti dan di dalamnya sangat padat sekali tulisan. Entah itu di bagian atas pinggir kiri kanan dan sebagainya.
“Hem iya, gak bilang makasih nih” seraya mengejek temannya yang sedikit centil itu.
“Hehe, makasih Cha aku lupa” Efi terlihat malu di wajahnya sampai pipinya berubah menjadi kepiting rebus.
Mereka
sahabat karib sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Tidak ada hal yang
istimewa ketika mereka bertemu seorang anak yang pembawaannya sederhana ketika
itu menyodorkan bungkusan biscuit coklat kepada si Efi. Mereka berteman sampai
sekarang dan menjadi dua sahabat yang santun dan ramah kepada semua oang. Suka
memberi walaupun terkadang mereka tidak memiliki apa-apa.
“Eh, Cha..
Cha ada nenek tuh kayaknya neneknya keberatan deh ngangkat barangnya kita bantu
yuk?” wajah Efi terlihat serius menunjuk ke arah nenek yang sedang dilihatnya
sambil menarik-narik lengan Echa.
“Mana-mana Fi saya nggak lihat?” Echa sedari tadi hanya celingak-celinguk mencari di mana wujud nenek yang ingin ditolong sahabatnya ini.
“Itu Cha yang di seberang jalan samping pohon rambutan” dilihatnya sudah nenek yang tergopoh-gopoh persis seperti neneknya.
Mereka berlari menghampiri nenek yang sedang kesulitan membawa barang-barangnya rupanya si nenek dari pasar karena yang dibawa nenek berbagai macam isi perut mungkin untuk cucunya.
“Nenek boleh kami bantu?” Efi dan Echa menawarkan diri.
“Nggak ussah Cu, Nenek bisa sendirii” seolah kesulitan mengeluarkan kata-katanya maklum sudah renta.
“Ayolah nek, beri kesempatan kami” mereka memelas sampai si Nenek mau untuk ditolong.
“Ya udah cu, Ini bawakan barang nenek” sambil menyodorkan barang yang tidak ada di tangannya karena nenek berfikir nanti anak-anak ini akan keberatan juga membawa barangnya. Karena segala macam Ubi jalar dan Pisang cukup banyak ia bawa sendiri.
“Mana-mana Fi saya nggak lihat?” Echa sedari tadi hanya celingak-celinguk mencari di mana wujud nenek yang ingin ditolong sahabatnya ini.
“Itu Cha yang di seberang jalan samping pohon rambutan” dilihatnya sudah nenek yang tergopoh-gopoh persis seperti neneknya.
Mereka berlari menghampiri nenek yang sedang kesulitan membawa barang-barangnya rupanya si nenek dari pasar karena yang dibawa nenek berbagai macam isi perut mungkin untuk cucunya.
“Nenek boleh kami bantu?” Efi dan Echa menawarkan diri.
“Nggak ussah Cu, Nenek bisa sendirii” seolah kesulitan mengeluarkan kata-katanya maklum sudah renta.
“Ayolah nek, beri kesempatan kami” mereka memelas sampai si Nenek mau untuk ditolong.
“Ya udah cu, Ini bawakan barang nenek” sambil menyodorkan barang yang tidak ada di tangannya karena nenek berfikir nanti anak-anak ini akan keberatan juga membawa barangnya. Karena segala macam Ubi jalar dan Pisang cukup banyak ia bawa sendiri.
Mereka
menyisiri jalan dilihatnya jalan yang dilalui ternyata menuju perkampungannya.
Mereka akhirnya tiba di sebuah rumah diperhatikan kembali ternyata rumah ibu
yang ditawarinya kue. Dia mengenal ibu itu, ibu itu bernama Ibu Ratna istri
Kepala Desa di kampung Duren.
“Assalamulaikum, Assalamualaikum,” berkali-kali memberikan salam belum ada orang yang menyahut atau membuka pintu. Dan akhirnya di buka pintu dan di jawab salam mereka.
“Kreeekkk.. kek.. kek Wa’alaikum salam, Nenek sudah pulang, kok nenek sama Echa?” ternyata tante ini mengenal Echa sedikit tertegun di hatinya ternyata ada juga orang yang memperhatikannya.
“Masuk nak, dan temanmu juga itu kelihatannya kecapean” sambil menawarkan bocah dua ini sang tante masuk ke ruangan belakang seperti mengambil sesuatu. Mereka menunggu di ruang tamu. Kedua bocah ingusan ini lama-lama bosan ingin cepat minta izin untuk pulang. Keluar Ibu Ratna dari balik kelambunya yang sudah kelihatan lusuh dimakan usia.
“Ini untuk kalian, karena sudah mengantar nenek kesini” menyodorkan beberapa lembar uang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan cukup untuk jajanan mereka selama dua minggu. Sambil mencium punggung tangan Ibu itu dan mereka segera pamit.
“Terima kasih bu, ini banyak sekali” seraya melempar senyum dan berlalu dari daun pintu. Dalam hati gadis yang hidup di bawah kemalangan yang tidak pernah henti-hentinya. Ia sangat menghargai pemberian ibu itu. dalam hatinya tidak pernah membayangkan. Bahwa ia akan menggenggam uang sebanyak itu. mungkin jualan kuenya hanya sampai seberapa saja. Itu sudah ia anggap rezki yang sangat banyak.
“Assalamulaikum, Assalamualaikum,” berkali-kali memberikan salam belum ada orang yang menyahut atau membuka pintu. Dan akhirnya di buka pintu dan di jawab salam mereka.
“Kreeekkk.. kek.. kek Wa’alaikum salam, Nenek sudah pulang, kok nenek sama Echa?” ternyata tante ini mengenal Echa sedikit tertegun di hatinya ternyata ada juga orang yang memperhatikannya.
“Masuk nak, dan temanmu juga itu kelihatannya kecapean” sambil menawarkan bocah dua ini sang tante masuk ke ruangan belakang seperti mengambil sesuatu. Mereka menunggu di ruang tamu. Kedua bocah ingusan ini lama-lama bosan ingin cepat minta izin untuk pulang. Keluar Ibu Ratna dari balik kelambunya yang sudah kelihatan lusuh dimakan usia.
“Ini untuk kalian, karena sudah mengantar nenek kesini” menyodorkan beberapa lembar uang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan cukup untuk jajanan mereka selama dua minggu. Sambil mencium punggung tangan Ibu itu dan mereka segera pamit.
“Terima kasih bu, ini banyak sekali” seraya melempar senyum dan berlalu dari daun pintu. Dalam hati gadis yang hidup di bawah kemalangan yang tidak pernah henti-hentinya. Ia sangat menghargai pemberian ibu itu. dalam hatinya tidak pernah membayangkan. Bahwa ia akan menggenggam uang sebanyak itu. mungkin jualan kuenya hanya sampai seberapa saja. Itu sudah ia anggap rezki yang sangat banyak.
PENGALAMAN YANG TAK TERLUPAKAN
Sungguh!! Aku sangat malu jika mengingat hal itu, hal yang
paling tak pernah terduga di umurku yang sekarang menginjak 17 tahun.Namaku tiara dewiana teman-teman memanggilku Tiara atau Ara. Aku sekarang berumur 15 tahun, tidak terasa sekarang aku duduk di bangku 1 SMA. Aku masuk di sekolah yang sangat favorit di jakarta yaiu Juniverse high school. Aku memiliki sahabat yaitu Sinta dan Rere mereka adalah sahabatku yang aneh tapi aku sayang pada mereka.
Di sekolah
“Araaaaaaa”
“Ya ampun sinta, rere aku hanya berjarak 1 meter dengan kalian kenapa harus manggilnya kayak gue di london aja” amukku pada kedua sahabat tercintaku
“hehehe, kamu kan kadang gak mau noleh ra, jadinya yah kita teriak aja” Rere hanya nyengir dan sinta pun hanya nganggukin kepala.
“Ah udahlah, ayo ke kelas” ajakku pada mereka berdua
“Ayooo” ujar mereka bersamaan. Kami pun berjalan di koridor kelas dengan posisi aku di tengah sinta sebelah kananku dan rere sebelah kiriku.
Di kelas
“eh guys, lo pada tau gak katanya di sekolah kita ada murid baru loh, gue harap semoga laki-laki terus di kelas kita” ujar Atna teman sekelasku
“Ha? Yang betul lo?” tanya sinta dengan mata melotot
“hiii, kapan sih gue boong sama lo sin, tapi gue gak tau dia kelas berapa dan cowok atau cewek” ucap Atna
tidak lama Ibu Nurul guru matematika pun masuk.
“hah, nereka is coming” ucap Rere sambil memelas
“Hahaha sabar ajah deh re” jawabku
“elu mah enak Ra, lu pasti ngerti” Rere pun makin melas
“makanan kali ah enak” candaku
kami pun berhenti mengobrol karena ibu nurul sudah mulai mengabsen kami satu per satu, setelah itu..
“Ya anak-anak kita kedatangan murid baru, silahkan masuk” ibu nurul pun menyuruh seorang laki-laki masuk kelas kami
“perkenalkan diri kamu” perintah ibu pada laki-laki tersebut. Kulihat laki-laki itu hanya menganggukan kepala
“Hi everyone, I”m Harris J. Nice too meet you”
ohh namanya harris, bagus juga.
“baiklah harris kamu duduk di belakang Rere dan Rara, Rara akan tanganmu” perintah ibu nurul. Aku pun hanya bisa mengangkat tangku. Harris pun mulai berjalan menuju bangku di belakangku. Semua anak-anak perempuan menatap Harris dengan tatapan yang sulit diartikan bahkan mereka tidak mengedipkan mata mereka sedikitpun, rere dan sinta pun sama seperti anak-anak yang lain.. Kulihat harris menatapku. Apa melihatku? Aishh jangan kegeeran Tiara, ucapku dalam hati.
Tidak terasa Kami sudah menginjak kelas 2 SMA dan Harris J menjadi pria populer di sekolah ini, bahkan sampe kaka kelas mengemis cinta darinya. Oh Tuhan sungguh aku sangat geram karena sungguh aku juga menyukai Harris walaupun aku tidak menunjukkannya di depan umum seperti teman-temanku.
Hari ini hari minggu, aku hanya berdiam diri di rumah, mama dan papa pergi keluar kota. “huh aku bosan” ucapku sambil melempar asal Handhphoneku. Tapi tiba-tiba HPku berdering, ternyata 1 pesan masuk. “nomor tidak dikenal” ucapku
from: 08XXXXXXX
“Hai Tiara”
TO: 08XXXXXX
“Hai, juga. Maaf ini siapa?”
from: 08XXXXX
“Harris J”
Ohmaigattt!! Ini nyatakan Harris mengirimkan pesan padaku oh ya ampun aku sangat senang. Buru-buru aku membalas pesannya aku takut jika harris harus menunggu.
to: 08XXXXXXX
“ada apa harris? Apa kau ada perlu?”
From: 08XXXXXXX
“bisakah kita bertemu di taman kota?”
Oh ya tuhan jantungku makin berdetak, harris J seorang laki-laki populer mengajakku bertemu. Jeritku dalam hati
to: 08XXXXXXX
“tentu harris, jam berapa kita bisa bertemu?”
from: 08XXXXX
“sekarang, aku akan menjemputmu”
Aku pun siap-siap untuk mandi dan lain lain. Aku harus tampil cantik di depan harris, hahah walaupun aku memang cantik.
15 menit kemudian aku mendengar suara motor harris di depan rumahku. “oh tuhan bagaimana ini? Aku baru selesai mandi” ucapku gelisah, buru-buru aku mengambil HPku dan ternyata ada sms dari Harris
From: 08XXXX
“aku sudah di depan rumahmu,”
to: 08XXXXX
“Ahh iya, kau masuk saja harris, pintu tidak terkunci”
from : 08XXXXX
“tidak apa-apa?”
to : 08XXXXX
“tentu saja, kau bukan maling kan?, heheh”
Dia pun langsung masuk di rumahku. Tidak lama aku keluar dengan menggunakan pakaian santai dan menggunakan topi tentunya, cuaca hari ini sangat panas.
“Ah maaf membuatmu menunggu lama” ucapku
“iya tidak apa-apa, ayo berangkat” ajaknya. Lalu kamipun berboncengan pergi menuju ke taman kota.
Di taman
“tunggulah di sini aku akan membelikanmu ice cream” harris pun pergi menuju kedai
“Baiklah” aku hanya bisa tersenyum sambil melihatnya yang makin menjauh. Tidak lama pun dia datang dengan membawa Ice cream rasa vanilla.
“ini” dia pun memberikan ice cream itu padaku.
“Thanks” ucapku. Dia pun hanya mengangguk.
Selama di taman kita berdua berjalan jalan sambil memberikan burung merpati makanan. Sungguh aku sangat senang, aku berdoa pada Tuhan semoga waktu ini tidak akan lama. Tiba-tiba saat aku ingin mengambil makan untuk merpati lagi, Harris menarik tanganku dan aku pun hampir saja memeluknya, tapi itu tidak terjadi. Aku tidak tau mengapa harris menatapku seperti itu dan aku sangat gugup
“ara aku menyukaimu”
THE END
KEPERGIANMU
Ingatkah kau saat semua meninggalkan kita di kelas berdua kau mengatakan hal yang membuatku tersentak ketika aku duduk manis penuh kecemasan. Ingatkah saat kau menuntun jalan untukku ketika aku tak berdaya. Ingatkah saat aku mengeluh kakiku sakit ketika untuk pertama kalinya aku menggunakan heels kau rela berjalan tanpa alas karena meminjamkan sandal yang pakai untukku. Dan ingatkah saat tanganku melingkar di pinggangmu karena ketakutanku pada anjing. Entah kenapa tiba-tiba aku mengingat semua tentangmu.“Jangan ngelamun dek” suara itu membuyarkan semua kenangan akan dirinya. Aku menoleh dan menyunggingkan senyuman lalu kembali menatap lekat ke arah langit
“Apa kau masih mengingat tirta” ucap seorang laki-laki padaku
Yah nama pemuda itu adalah Tirta Putra Dinata ialah pemuda yang memberiku sejuta yang indah, berlimpah perhatian juga selalu mengingatkanku dengan tutur kata yang lembut meski seringkali kuabaikan ia tak pernah lelah, hingga akhirnya ia pergi entah kemana bahkan saat aku menginginkannya kembali ia tak pernah datang sekedar untuk menghibur dan menghapus airmataku seperti dulu
“Maaf” aku hanya berucap lirih
“Tak apa. Aku mengerti” ucap Aldi sembari duduk di sampingku
Aldi adalah kekasihku meski begitu ia tak pernah melarangku untuk tetap berkutik pada masa lalu akan kenangan tantang Tirta.
Hari ini seperti biasa aku pergi ke tepian sungai, tapi saat aku tiba Gerimis menyapa dengan halus seolah gambaran untukku meluapkan isi hati. Beberapa hari terakhir aku tak menerima kabar dari aldi
“Mungkin ia sibuk” pikirku
Aku kembali duduk termenung di tempat yang sama, melempar batu yang sering dilakukan dua pemuda yang berbeda. Aldi dan juga Tirta.
Lalu tiba-tiba saja handphoneku berdering tanda ada pesan masuk.
Sejenak aku terdiam saat membaca pesan itu. Iya itu dari aldi
“Liana Sari kekasihku, aku tak pernah melarangmu untuk mengenang masa lalumu. Aku juga tak pernah membiarkanmu menangis sendiri. Tapi untuk kali ini aku ingin kau menjaga dirimu sendiri, jadilah wanita yang tangguh, dan jika kau ingin menangis lakukan hal itu saat hujan turun dengan deras luapka emosimu juga hancurkan tembok besar yang menghalangi bahagiamu. Dan ingatlah masalalu bukanlah hal yang mesti kau tangisi cukup kau simpan, kau kenang dan jadikan pelajaran.
Aku pergi bukan karena aku tak mencintaimu melainkan karena takdir tak mengingankan kita bersama lebih lama. I ALWAYS LOVE YOU.”
Perlahan airmataku terjatuh bersamaan dengan derasnya tetes hujan.
Apa kau akan akan meninggalkanku sama halnya seperti tirta? Apa kau akan membiarkanku sendiri lagi?
Sekali lagi aku kecewa karena harapan dan sekali lagi semuanya pergi tanpa berpamitan!
Kepergiammu kembali membawa luka yang lebih dalam dari sebelumnya
The End
SENYUM ITU SEDEKAH
Namanya Nisa seorang gadis yang bisa dibilang nakal, yang sudah beberapa kali keluar masuk sekolah hingga akhirnya dia dimasukkan orangtuanya ke sebuah pondok Pesantren. Meski menolak Nisa tidak bisa berbuat apa-apa, dengan kesal dia menuruti orangtuanya“huhh… sebel” gerutunya dalam hati.
1 minggu di laluinya dengan sangat lama, “lama banget sih disini, bt banget deh” dia marah di kamar asramanya.
“Nisa…!” temannya di asrama memenggil, ternyata itu Azizah, “iya Zah… ada apa…?” sambung Nisa.
“temenin aku ke koperasi yukk” ajak Zizah, “mau ngapain kita kesana” dengan expresi masih bt, “ya cari perlengkapan buat di asrama sekalian beli kitab yang baru” sahut Zizah, “ya udah tapi bentar aja ya” jawab nisa dengan sedikit malas, “okeyy sip” sahutnya Zizah.
Dengan masih bt mereka berdua berjalan menuju koperasi, kebetulan jalan menuju koperasi itu melewati asrama putra, walau terhalang tembok tapi masih bisa dilihat. Mata Nisa terhenti pada 1 jendela kamar asrama itu, “hey Sa kenapa…?” tanya Zizah seraya melihat ke arah yang dilihat Nisa.
“emmm hayooo gak boleh” sambung Zizah,
“siapa itu Zah?” tanya Nisa tanpa peduli olokan dari Zizah, “hehehe…” Zizah ketawa kecil, “kok ketawa Zah… aku serius” kesal Nisa.
“Jangankan kamu Sa, aku disini aja gak tau namanya” jawab Zizah.
“Kenapa kok gitu…” Nisa bingung
“kami disini menyebut dia wali senyum, dia selalu senyum pada siapapun” Zizah cerita. “owhh gitu” sahut Nisa dengan masih bingung.
“yu ah kita ke koperasi ntar dicari kakak asrama” ajak Zizah sambil berlari kecil menuju koperasi.
Sampai di kamarnya Nisa masih kepikiran santri yang tadi,
“siapa dia, senyumnya manis sekali, penuh dengan ketulusan serta keikhlasan, jika dilihat akan membwa ketenangan di dada” pikiran Nisa melayang kemana-kemana hingga ia tertidur
“Assalamu’alaikum ukhtiy…” sebuah suara dari belakang yang mengejutkan Nisa.
“walaikum salam akhiy” jawab Nisa dengan sedikit terbata. Karena laki-laki yang memberinya salam adalah yang tadi siang dilihatnya
“hati-hati ukhtiy dengan pikiranmu, setan akan mudah masuk jika di hatimu dan pikiranmu memikirkan hal yang terlalu duniawi” jawab lelaki itu.
“bagaimana akhiy kesini” tanya Nisa, “kuasa Allah melbihi segalanya…” jawab lelaki itu.
“uktiy yang membawa ana kesini.. pikiran ukhtiy yang manarik ana kesini.” jawab lelaki itu
“senyum itu sedekah yang paling mudah, namun harus ikhlas lillah tanpa niat yang merusaknya” seraya pergi lelaki itu dengan senyum manisnya.
Nisa terbangun dari tidurnya, “astgahfirullah… ternyata itu mimpi..” ucapnya,
Nisa bangun dan pergi ke kamar mandi mencuci mukanya.
“kenapa aku..” tanyanya dalm hati.
“inikah petunjuk-Mu ya Allah.”
lalu Nisa mengambil air wudhu dan dia sholat Tahajjud, membersihkan fikiran dari hal-hal yang merusak niatnya.
PERJUANGAN SEORANG GADIS
Mengingatkanku
pada sebuah perjuangan seorang gadis yang ingin menggapai impiannya kala itu.
Tepat setahun yang lalu..
Ia baru saja lulus SMA. Seperti siswa pada umumnya, ia ingin melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Semua memberi pendapat. Keluarga, sahabat, guru hingga orang yang mungkin belum ia kenal sebelumnya.
Dalam hatinya ia berkata Apa yang harus aku lakukan? Mana yang harus aku dengar? Mana yang harus aku ikuti? Semua ini membuatku bingung dan muak
Ia baru saja lulus SMA. Seperti siswa pada umumnya, ia ingin melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Semua memberi pendapat. Keluarga, sahabat, guru hingga orang yang mungkin belum ia kenal sebelumnya.
Dalam hatinya ia berkata Apa yang harus aku lakukan? Mana yang harus aku dengar? Mana yang harus aku ikuti? Semua ini membuatku bingung dan muak
Libur
panjang setelah pengumuman ujian telah tiba. Ia dinyatakan lulus. Namun kata
“lulus” saat itu belum memberinya angin segar. Waktu terus bergulir hingga
waktu pengumuman seleksi jalur rapor tiba. Tulisan warna merah dengan kata
“maaf” yang tertera. Ya, ia gagal melalui jalur itu.
Hatinya makin bergejolak melihat teman-temannya yang sudah lolos tahap itu. Masih ada jalur ujian tertulis yang menunggunya. Ia menunggu dengan secuil harapan yang tersisa.
Sembari menunggu waktu ujian tertulis tiba. Ia mencari informasi beberapa perguruan tinggi swasta yang sudah membuka pendaftaran. Ada satu perguruan tinggi swasta yang menarik minatnya. Ia merenung dan memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Aku bilang ke Ibu aja kali ya
Hatinya makin bergejolak melihat teman-temannya yang sudah lolos tahap itu. Masih ada jalur ujian tertulis yang menunggunya. Ia menunggu dengan secuil harapan yang tersisa.
Sembari menunggu waktu ujian tertulis tiba. Ia mencari informasi beberapa perguruan tinggi swasta yang sudah membuka pendaftaran. Ada satu perguruan tinggi swasta yang menarik minatnya. Ia merenung dan memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Aku bilang ke Ibu aja kali ya
“Bu,
apa kuliah itu harus di negeri ya? Kalo swasta gimana?” Tanyanya kepada ibunya
“Ya gak harus, tapikan kalo negeri bisa gampang cari kerja dek”
“Ibu sama ayah pengen aku masuk jurusan apa emangnya?”
“Ibu sama ayah sih pengennya kamu di Biologi Murni atau Kedokteran Hewan dek. Biar sesuai sama jurusan kamu sekarang. Kan kamu dari IPA”
“Oh, iya buk. Biar aku pikirin dulu”
Ia kembali ke kamarnya dan merenung
“Ya gak harus, tapikan kalo negeri bisa gampang cari kerja dek”
“Ibu sama ayah pengen aku masuk jurusan apa emangnya?”
“Ibu sama ayah sih pengennya kamu di Biologi Murni atau Kedokteran Hewan dek. Biar sesuai sama jurusan kamu sekarang. Kan kamu dari IPA”
“Oh, iya buk. Biar aku pikirin dulu”
Ia kembali ke kamarnya dan merenung
Apa?
Biologi murni? Dokter hewan? Aku gak pengen itu semua. Aku merasa gagal di
jurusanku sekarang, dengan hasil ujianku yang semua nilainya pas-pasan. Andai
ibu bapak tau apa yang aku rasakan saat ini. Aku bingung. Aku muak menjadi
boneka yang selalu diam.
Ia
membuka web mengenai perguruan tinggi swasta yang menarik minatnya kemarin.
Entah apa yang membuatku tertarik denganmu, hingga aku berkali-kali membuka web ini. Seperti ada magnet yang menarikku dan aku seperti melihat jiwaku disana. Aku ingin mencoba tes masuk perguruan tinggi swasta ini.
Ia mulai mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kepada kedua orangtuanya. Bahwa ia ingin mencoba tes masuk perguruan tinggi swasta itu.
Entah apa yang membuatku tertarik denganmu, hingga aku berkali-kali membuka web ini. Seperti ada magnet yang menarikku dan aku seperti melihat jiwaku disana. Aku ingin mencoba tes masuk perguruan tinggi swasta ini.
Ia mulai mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kepada kedua orangtuanya. Bahwa ia ingin mencoba tes masuk perguruan tinggi swasta itu.
Di
ruang keluarga, ia menghampiri kedua orangtuanya..
“Bu, yah aku ingin mencoba tes masuk perguruan ini”
“Ini di Bandung kan ya? Apa gak kejauhan?” timpal ayahnya
“Iya yah, ini di Bandung. Gak papa kan? Biar aku juga belajar mandiri”
“Mau ambil jurusan apa disini?” sahut ibunya
“Aku pengen ambil jurusan yang gak ada IPAnya buk”
“Loh bearti mau ambil jurusan IPS?” kata ayahnya
“Iya yah. Aku rasa pilihanku di IPA kemarin salah, kemarin di SMA aku udah nurut ayah sama ibu buat masuk jurusan IPA. Tapi di bangku kuliah ini, aku mohon. Aku pengen milih jurusan yang benar-benar aku inginkan, bukan karena ibu, ayah atau siapapun”
“Ya sudah, ibu dan ayah setuju aja asal kamu seneng” kata ibunya
Persetujuan dari kedua orangtuanya membuat gadis itu semakin bersemangat. Setiap hari ia belajar demi tes yang akan ia hadapi. Sampai suatu hari..
“Bu, yah aku ingin mencoba tes masuk perguruan ini”
“Ini di Bandung kan ya? Apa gak kejauhan?” timpal ayahnya
“Iya yah, ini di Bandung. Gak papa kan? Biar aku juga belajar mandiri”
“Mau ambil jurusan apa disini?” sahut ibunya
“Aku pengen ambil jurusan yang gak ada IPAnya buk”
“Loh bearti mau ambil jurusan IPS?” kata ayahnya
“Iya yah. Aku rasa pilihanku di IPA kemarin salah, kemarin di SMA aku udah nurut ayah sama ibu buat masuk jurusan IPA. Tapi di bangku kuliah ini, aku mohon. Aku pengen milih jurusan yang benar-benar aku inginkan, bukan karena ibu, ayah atau siapapun”
“Ya sudah, ibu dan ayah setuju aja asal kamu seneng” kata ibunya
Persetujuan dari kedua orangtuanya membuat gadis itu semakin bersemangat. Setiap hari ia belajar demi tes yang akan ia hadapi. Sampai suatu hari..
“Ibu,
kalo aku di Bandung bakalan di tengok gak?”
“Siapa yang mau ke Bandung? Masih ada kesempatan buat ujian tertulis. Ibu mau kamu kuliah yang deket aja”
Kata-kata itu membungkam mulutnya. Ia tertegun dan hanya diam mendengar perkataan ibunya. Semangat yang sudah dibangun seakan roboh dan hancur berantakan.
Apalagi ini? Liburan panjang atau penyiksaan panjang? Sesak rasanya. Aku kehilangan oksigen untuk bernapas walaupun di sekelilingku penuh dengan oksigen.
“Siapa yang mau ke Bandung? Masih ada kesempatan buat ujian tertulis. Ibu mau kamu kuliah yang deket aja”
Kata-kata itu membungkam mulutnya. Ia tertegun dan hanya diam mendengar perkataan ibunya. Semangat yang sudah dibangun seakan roboh dan hancur berantakan.
Apalagi ini? Liburan panjang atau penyiksaan panjang? Sesak rasanya. Aku kehilangan oksigen untuk bernapas walaupun di sekelilingku penuh dengan oksigen.
Di
sebuah chatroom, ada seseorang yang memberinya semangat untuk menjalani tes
masuk tersebut. Ya dia teman yang baru ia kenal.
“Gimana
ya, aku serasa pesimis buat tes besok”
“Jangan pesimis dong, ayo semangat. Tetep dijaga ya semangatnya. sampai ketemu di Bandung..”
“Jangan pesimis dong, ayo semangat. Tetep dijaga ya semangatnya. sampai ketemu di Bandung..”
Detik
berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari hingga tiba waktu untuk
tes masuk perguruan tinggi swasta itu.
“Ibu, ayah, aku berangkat dulu ya. Do’ain tesnya lancar”
“Iya, ibu sama ayah do’ain yang terbaik buat kamu” jawab ayahnya
“Ibu harus ikhlas ya aku kuliah di Bandung, biar nanti tesnya juga lancar kalo ibu udah ikhlas. Ini yang aku mau bu, aku harap ibu bisa ngerti”
“Ibu ikhlas, asal kamu seneng”
Setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya. Ia bergegas berangkat untuk mengikuti tes masuk.
“Ibu, ayah, aku berangkat dulu ya. Do’ain tesnya lancar”
“Iya, ibu sama ayah do’ain yang terbaik buat kamu” jawab ayahnya
“Ibu harus ikhlas ya aku kuliah di Bandung, biar nanti tesnya juga lancar kalo ibu udah ikhlas. Ini yang aku mau bu, aku harap ibu bisa ngerti”
“Ibu ikhlas, asal kamu seneng”
Setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya. Ia bergegas berangkat untuk mengikuti tes masuk.
Tes
masuk telah usai. Ia menunggu dengan cemas
‘Gimana kalo aku gak lolos? Aku udah pengen banget masuk perguruan tinggi ini. Kalau aja pengumumannya sebelum tes tertulis. Aku gak mau ikut tes tertulis lagi’.
Hatinya semakin gelisah dan rasa pesimis semakin menggerogoti semangatnya.
‘Gimana kalo aku gak lolos? Aku udah pengen banget masuk perguruan tinggi ini. Kalau aja pengumumannya sebelum tes tertulis. Aku gak mau ikut tes tertulis lagi’.
Hatinya semakin gelisah dan rasa pesimis semakin menggerogoti semangatnya.
“Ibu,
kalo seandainya aku gak lolos semua gimana ya?”
“Masa sih, putri ibu gak ada yang lolos. Pasti ada yang lolos kok”
“Masa sih, putri ibu gak ada yang lolos. Pasti ada yang lolos kok”
Tes
tertulis tiba, ia berangkat dengan setengah hati. Saat berpamitan dengan ibunya
ia berkata
“Ibu, sejujurnya aku udah gak pengen ikut tes ini lagi. Aku berharap untuk tidak lolos seleksi ini”
Menunggu adalah sesuatu yang menyebalkan. Begitu pula yang dirasakan oleh gadis ini.
Di ambang ketidakpastian..
Ia selalu berdo’a dan memohan yang terbaik untuknya. Harapannya hanya satu. Ia ingin lolos tes masuk bukan tes tertulis. Gelisah mulai menjadi-jadi. Hari-hari yang ia lewati penuh dengan ketidakpastian. Hingga tiba pengumuman tes masuk.
Aku yakin aku lolos, pasti lolos
“Ibu, sejujurnya aku udah gak pengen ikut tes ini lagi. Aku berharap untuk tidak lolos seleksi ini”
Menunggu adalah sesuatu yang menyebalkan. Begitu pula yang dirasakan oleh gadis ini.
Di ambang ketidakpastian..
Ia selalu berdo’a dan memohan yang terbaik untuknya. Harapannya hanya satu. Ia ingin lolos tes masuk bukan tes tertulis. Gelisah mulai menjadi-jadi. Hari-hari yang ia lewati penuh dengan ketidakpastian. Hingga tiba pengumuman tes masuk.
Aku yakin aku lolos, pasti lolos
Tulisan
berwarna hijau dengan kata “selamat” tertera di web perguruan tinggi swasta
itu. Seperti bangkit kembali dan bisa bernapas dengan lega. Kabar gembira ini
ia beritahukan kepada kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya merasa senang
melihat senyum di wajah putrinya. Kini ia tak menghiraukan hasil tes tertulis
lagi. Lolos atau tidak, ia akan tetap memilih perguruan tinggi swasta itu.
Sudah
terhitung dua semester ia menimba ilmu di perguruan tinggi swasta itu. Ia
merasa menemukan jati dirinya disana. Ia juga mendapat teman-teman yang
menyayanginya dan dapat mengikuti pelajaran dengan baik.
This
is me..
Sejatinya
kita kuliah dimana pun itu sama saja. Jangan merasa rendah apabila kuliah di
swasta, begitu sebaliknya jangan merasa tinggi kuliah di negeri. Timbalah ilmu
sesuai dengan keinginan dan kemampuanmu. Kuliah tak lagi sama dengan SMA,
apalagi jika merantau. Terpaan angin di luar akan semakin kencang. Carilah jati
dirimu disana, buat dirimu senyaman mungkin menghadapi kehidupan yang kian lama
kian keras ini. Ikuti kata hatimu dan apabila rencanamu belum berjalan,
yakinlah rencana-NYA sedang berjalan..
TAMAT
KEMBALI KEHILANGAN
“Bunga, sayang ayo bangun sholat dulu nak…”.
Teriak suara ibu sambil menepuk tangan anaknya itu. “Hmm… iya bu”, keluar dari
mulutnya sambil beberapa kali mengusap matanya yang masih tertutup. Setelah
mendirikan sholat berjamaah bersama ibunya. Terdengar langkah kaki mungilnya
yang terus berjalan menuju sekolah yang tak jauh dari daerah rumahnya itu.
“Bunga… Bunga… Tunggu”, teriak
salah satu anak perempuan di belakangnya. “Seperti suara Sera” pekik Bunga.
“Hosh… Hosh” suara nafas besar itu sudah di sampingnya. “Eh Sera kok kamu
lari-lari gitu sih” ucap Bunga. “Harusnya aku yang nanya kok kamu dipanggilin
diam aja?” jawab Sera. “Aku cuman mikirin aja hari ini Bapakku akan ke luar
dari penjara” jawab Bunga sambil menatap kosong ke arah sahabatnya itu.
“Harusnya kamu seneng dong bapakmu akan bersamamu lagi” jawabnya dengan
semanagat. “Mungkin…”, Kata yang keluar dari mulut Bunga.
Tringggg… suara bel sekolah
terdengar sangat jelas. Matahari mulai berjalan di atas kepala. Suara larian
kaki anak-anak mulai terdengar berhamburan ke luar kelas mereka. Tak
ketinggalan anak perempuan bernama Bunga itu juga berlari menuju rumahnya.
Ibunya yang ada di depan rumah langsung berkata “Ayo sayang cepat ganti baju
kita mau menjemput Bapak!” begitulah yang keluar dari mulut ibu yang memakai
baju rapi. Bunga dengan cepat mengganti baju dan menggandeng ibunya. Ibu dan
anak itu berjalan menuju kantor Polisi yang berjarak sekitar 1 km dari
rumahnya.
Ibu dan anak itu masuk ke kantor Polisi dan terdengar. “Selamat Siang bu, ada yang bisa saya bantu?” terdengar dari salah satu polisi itu. “Siang pak kami ke sini mau menjemput pak Riyanto” jawab Ibu. “Tunggu disini sebentar ya bu” suara salah satu polisi tersebut.
Ibu dan anak itu masuk ke kantor Polisi dan terdengar. “Selamat Siang bu, ada yang bisa saya bantu?” terdengar dari salah satu polisi itu. “Siang pak kami ke sini mau menjemput pak Riyanto” jawab Ibu. “Tunggu disini sebentar ya bu” suara salah satu polisi tersebut.
Saat melihat ke depan mata gadis
itu berkaca-kaca sambil melihat sesosok laki-laki yang ada di hadapannya itu.
“Bapak…” terdengar dari mulut gadis itu. “Aku benci Bapak… Bapak jahat ninggalin
Bunga sama ibu…” teriaknya begitu kencang dan tak terasa air matanya jatuh satu
demi satu dari matanya. “Maaf… sayang Bapak memang salah” jawab sesosok
laki-laki yang berdiri di hadapannya itu. “Sudah Bunga sayang jangan menangis”
sambil menenangkan anaknya. Tak lama setelah Bapak menandatangani beberapa
lembar kertas yang diberikan polisi.
Setelah sampainya di rumah “Bunga
maafkan Bapak, Bapak janji gak akan ninggalin Bunga lagi” mengawali pembicaraan
tersebut. “Bapak janji ya” terdengar sautan dari Bunga. Senyuman kecil terlihat
dari sosok laki-laki yang sedikit berkumis itu. Makan siang pertama kali
setelah 5 tahun yang lalu terasa begitu indah dengan lauk kangkung kesukaan
Bunga.
Adzan subuh terdengar memanggil
umatnya. Keluarga kecil itu berjamaah mendirikan sholat subuh. “Bapak yang
antar aku ya” ucap Bunga seraya tersenyum kepada Bapaknya itu. “Ya sudah ayo
berangkat sekarang” balas Bapak. Setelah sampai di depan gerbang sekolahnya
Bapak dan anaknya menghentikan langakahnya lalu Bapak berdiri menghadap Bunga
sambil berkata “Bunga sampai sini saja ya” sambil mengeluarkan uang lembar 5
ribu dan menyodarkan pada Bunga. “Bunga ambil juga ini ya”. Seru Bapak.
“Terimakasih ya Bapak” seru Bunga dengan semangat sambil mencium tangan
Bapaknya dan berlari meninggalkan Bapaknya di gerbang sekolahnya.
Sesudah sekolah Bunga sangat
senang dan berlari meninggalkan sahabatnya Sera yang sama-sama ke luar dari
gerbang sekolah. “Bunga tunggu aku” teriak Sera yang tidak di dengar oleh
Bunga.
Suara tapak lari Bunga terhenti tepat di depan rumahnya, ia melihat kerumunan yang sedang berada di rumahnya dan terlihat bendera kuning. Langkahnya mulai masuk ke dalam rumahnya dan saat badannya tepat berada di samping pintu masuk terlihat badan laki-laki yang sedang berbaring. “Ini bapak” ke luar dari mulutnya dan tak terasa air matanya menetes satu demi satu. “Apa yang sekarang terjadi bukan mimpi kan?” tanya anak yang sedang menahan tangisannya “Tidak Bunga bapakmu mengalami serangan jantung” salah satu suara dari kerumunan itu.
Suara tapak lari Bunga terhenti tepat di depan rumahnya, ia melihat kerumunan yang sedang berada di rumahnya dan terlihat bendera kuning. Langkahnya mulai masuk ke dalam rumahnya dan saat badannya tepat berada di samping pintu masuk terlihat badan laki-laki yang sedang berbaring. “Ini bapak” ke luar dari mulutnya dan tak terasa air matanya menetes satu demi satu. “Apa yang sekarang terjadi bukan mimpi kan?” tanya anak yang sedang menahan tangisannya “Tidak Bunga bapakmu mengalami serangan jantung” salah satu suara dari kerumunan itu.
“Pernahkah kau kehilangan orang
yang sangat kau cintai yang kedua kalinya dan dia tak akan kembali lagi?”
“Pernahkah kau membayangkan sebelum kau mengucapkan kata perpisahan pada orang yang kau cintai dia telah tiada untuk selamanya?…”
“Pernahkah kau saat kau berlari mendekati orang yang kau cintai tapi dia pergi meninggalkanmu untuk selamanya?…”
“Sekarang aku telah kehilangan Bapak yang aku cintai dan belum mengucapkan apapun padanya…”
“Jika boleh aku memilih,Tuhan beri Bapak umur lebih panjang agar kita lebih lama lagi bersama…”
“Terimakasih Bapak atas semua kasih sayang dan cintamu…”
“Pernahkah kau membayangkan sebelum kau mengucapkan kata perpisahan pada orang yang kau cintai dia telah tiada untuk selamanya?…”
“Pernahkah kau saat kau berlari mendekati orang yang kau cintai tapi dia pergi meninggalkanmu untuk selamanya?…”
“Sekarang aku telah kehilangan Bapak yang aku cintai dan belum mengucapkan apapun padanya…”
“Jika boleh aku memilih,Tuhan beri Bapak umur lebih panjang agar kita lebih lama lagi bersama…”
“Terimakasih Bapak atas semua kasih sayang dan cintamu…”
PELUANG DAN KEHIDUPAN
Aku mengayuh sepeda tua warisan
dari ayahku melewati sejajaran gedung-gedung tua berbahan batu bata merah yang
semakin lapuk termakan usia di pinggir jalan yang sama tuanya. Udara pagi
membelai kulitku yang pucat karena kedinginan meskipun aku sudah membebat
seluruh tubuhku dengan mantel yang tebal. Di keranjang depan terdapat dua lusin
koran yang siap kuantar ke kompleks perumahan tiga blok di depanku. Senin pagi
ini sudah menjadi tugasku untuk bekerja sebagai loper koran.
Hidup di tengah Kota London yang
keras dengan orangtua yang tidak lengkap bukanlah kehidupan yang ingin
kujalani. Aku berusaha menjalani kehidupan senormal mungkin. Aku tinggal hanya
bersama ayahku dan saudara perempuanku, Anne. Takdirku tidak seberuntung
anak-anak bangsawan yang pada jam segini tengah menyiapkan diri untuk pergi ke
sekolah. Bukannya aku tidak ingin sekolah, tapi biayalah yang menekanku. Aku
pergi ke sekolah umum di sebuah bangunan bekas balai pertemuan yang sudah tak
terpakai lagi di pinggir Padwell Street No. 18B setiap jam tiga sore.
Pengajarnya adalah sekelompok pemuda yang secara sukarela mengajari anak-anak
jalanan tanpa imbalan apapun, namun terkadang beberapa ibu yang baik hati
memberi mereka sejumlah makanan ataupun minuman gratis.
Sampai di Blok Green House aku
melemparkan koran ke depan pintu setiap rumah di blok ini. Beberapa ibu rumah
tangga tengah menyiram tanaman hias mereka dengan santai. Terkadang aku menyapa
mereka dan mendapat balasan senyuman, namun tidak jarang ada yang
mengabaikanku. Mrs. Farah Stephenson melambaikan tangan kanannya mengisyaratkan
agar aku berhenti sebentar di depan rumahnya.
“Bagaimana kabarmu James?” tanyanya dengan senyuman yang ramah. Beberapa lipatan terbentuk di pipinya saat sedang tersenyum. Rambutnya yang mulai memutih mengembang dengan potogan pendek sebahunya. Ia masih mengenakan baju tidurnya saat sedang ngobrol denganku.
“Tak pernah lebih baik dari ini, Mrs. Stephenson,”
“Apakah kau belajar dengan baik, sayang?”
“Ya, tentu saja. Buku-buku yang kau berikan sangat membantu, Mrs. Stephenson. Aku sangat berterima kasih,”
“Ah lupakan saja, itu Cuma buku-buku tua. Apakah kau sudah membaca bagian tentang peluang?”
“Ya, aku baru saja mempelajarinya kemarin sore bersama teman-teman di sekolah umum”
“Wah, itu bagus sekali. Kalau begitu, aku punya pertanyaan untukmu. Tiga orang sedang mengerjakan sebuah soal yang sama. Setiap orang mempunyai peluang yang bisa menyelesaikan soal itu, yaitu 1/3. Apabila mereka mengerjakannya bersama-sama, berapa besar peluang jika paling sedikit seorang saja yang bisa menyelesaikan soal itu? Jika kau bisa menjawabnya dengan benar, aku akan memberimu sebuah buku pelajaran kimia tua milik anakku, bagaimana James? Kau bisa?”
“Wah, hebat sekali Mrs. Stephenson! Aku akan menghitungnya dulu!” Mataku berbinar membayangkan imbalan yang bisa kuterima jika menjawab soal ini dengan benar. Aku mengeluarkan sebuah nota kecil yang bersampul hitam kumal yang kudapatkan di pasar loak dan sebuah pensil. Tiga menit kemudian, aku berhasil mendapatkan jawabannya.
“Jawabannya adalah 19/27 Mrs. Stephenson, apakah jawabanku benar?”
“Hmm, jawabanmu benar James. Tapi aku penasaran, bagaimana kau menghitungnya?”
“mudah saja Mrs. Stephenson, jika setiap orang mempunyai peluang yang sama bisa mengerjakannya yaitu 1/3, maka peluang tiap orang tidak bisa mengerjakannya juga sama, yaitu 2/3. Dari situ aku menghitung peluang yang mungkin terjadi, anggap saja ketiga orang itu adalah A, B, dan C. Ada delapan peluang yang mungkin terjadi, yaitu A B C (A bisa, B bisa, C bisa) / semuanya bisa mengerjakan, A B C (A tidak bisa, B bisa, C bisa), A B C (A bisa, B tidak bisa, C bisa), A B C (A bisa, B bisa, C tidak bisa), A B C (A bisa, B tidak bisa, C tidak bisa), A B C (A tidak bisa, B bisa, C tidak bisa), A B C (A tidak bisa, B tidak bisa, C bisa), dan peluang yang terakhir adalah A B C (A tidak bisa, B tidak bisa, C tidak bisa) / tidak ada yang bisa mengerjakan. Dari penjelasanmu Mrs. Stephenson, setidaknya paling sedikit ada satu orang yang bisa mengerjakan, jadi untuk mempercepat aku mencari komplemennya saja, yaitu tidak ada yang bisa mengerjakan, dan peluang tidak bisa mengerjakan yaitu 2/3. Peluang ketiganya tidak bisa mengerjakan adalah 2/3 x 2/3 x 2/3 , hasilnya adalah 8/27. Untuk mendapatkan hasil yang benar, aku harus melakukan operasi 1 – 8/27 = 19/27. kenapa harus 1? Sebab jika semua peluang di atas dijumlahkan, hasilnya adalah satu.”
“Demi Tuhan, kau cerdas James! Tunggu sebentar, akan kuambilkan bukunya.” Mrs. Stephenson melangkah panjang ke dalam rumah dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
“Bagaimana kabarmu James?” tanyanya dengan senyuman yang ramah. Beberapa lipatan terbentuk di pipinya saat sedang tersenyum. Rambutnya yang mulai memutih mengembang dengan potogan pendek sebahunya. Ia masih mengenakan baju tidurnya saat sedang ngobrol denganku.
“Tak pernah lebih baik dari ini, Mrs. Stephenson,”
“Apakah kau belajar dengan baik, sayang?”
“Ya, tentu saja. Buku-buku yang kau berikan sangat membantu, Mrs. Stephenson. Aku sangat berterima kasih,”
“Ah lupakan saja, itu Cuma buku-buku tua. Apakah kau sudah membaca bagian tentang peluang?”
“Ya, aku baru saja mempelajarinya kemarin sore bersama teman-teman di sekolah umum”
“Wah, itu bagus sekali. Kalau begitu, aku punya pertanyaan untukmu. Tiga orang sedang mengerjakan sebuah soal yang sama. Setiap orang mempunyai peluang yang bisa menyelesaikan soal itu, yaitu 1/3. Apabila mereka mengerjakannya bersama-sama, berapa besar peluang jika paling sedikit seorang saja yang bisa menyelesaikan soal itu? Jika kau bisa menjawabnya dengan benar, aku akan memberimu sebuah buku pelajaran kimia tua milik anakku, bagaimana James? Kau bisa?”
“Wah, hebat sekali Mrs. Stephenson! Aku akan menghitungnya dulu!” Mataku berbinar membayangkan imbalan yang bisa kuterima jika menjawab soal ini dengan benar. Aku mengeluarkan sebuah nota kecil yang bersampul hitam kumal yang kudapatkan di pasar loak dan sebuah pensil. Tiga menit kemudian, aku berhasil mendapatkan jawabannya.
“Jawabannya adalah 19/27 Mrs. Stephenson, apakah jawabanku benar?”
“Hmm, jawabanmu benar James. Tapi aku penasaran, bagaimana kau menghitungnya?”
“mudah saja Mrs. Stephenson, jika setiap orang mempunyai peluang yang sama bisa mengerjakannya yaitu 1/3, maka peluang tiap orang tidak bisa mengerjakannya juga sama, yaitu 2/3. Dari situ aku menghitung peluang yang mungkin terjadi, anggap saja ketiga orang itu adalah A, B, dan C. Ada delapan peluang yang mungkin terjadi, yaitu A B C (A bisa, B bisa, C bisa) / semuanya bisa mengerjakan, A B C (A tidak bisa, B bisa, C bisa), A B C (A bisa, B tidak bisa, C bisa), A B C (A bisa, B bisa, C tidak bisa), A B C (A bisa, B tidak bisa, C tidak bisa), A B C (A tidak bisa, B bisa, C tidak bisa), A B C (A tidak bisa, B tidak bisa, C bisa), dan peluang yang terakhir adalah A B C (A tidak bisa, B tidak bisa, C tidak bisa) / tidak ada yang bisa mengerjakan. Dari penjelasanmu Mrs. Stephenson, setidaknya paling sedikit ada satu orang yang bisa mengerjakan, jadi untuk mempercepat aku mencari komplemennya saja, yaitu tidak ada yang bisa mengerjakan, dan peluang tidak bisa mengerjakan yaitu 2/3. Peluang ketiganya tidak bisa mengerjakan adalah 2/3 x 2/3 x 2/3 , hasilnya adalah 8/27. Untuk mendapatkan hasil yang benar, aku harus melakukan operasi 1 – 8/27 = 19/27. kenapa harus 1? Sebab jika semua peluang di atas dijumlahkan, hasilnya adalah satu.”
“Demi Tuhan, kau cerdas James! Tunggu sebentar, akan kuambilkan bukunya.” Mrs. Stephenson melangkah panjang ke dalam rumah dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
Beberapa menit kemudian, ia
kembali dengan membawa sebuah buku tua bersampul kertas cokelat yang telah
usang. Di sampul itu tertera tulisan ‘milik Wayne Stephenson, kelas 1 SMU
Bradford’, di tangan satunya terdapat sebotol susu putih segar yang aku tak
tahu untuk siapa.
“Ini James, ambillah. Ambil juga susu ini, anggap saja sebagai bonus karena kau belajar dengan giat. Oh ya, sampaikan juga salamku untuk ayah dan adikmu ya,” Mrs. Stephenson memberikan buku itu beserta susunya. Kemudian ia membelai rambutku dengan kasih sayang, aku merasa senang sekali. Sebuah perlakuan yang tak pernah aku dapatkan dari ibuku yang sudah meninggal sejak aku masih kecil. Aku tersenyum gembira dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Mrs. Stephenson. Setelah itu, aku pamit untuk melanjutkan tugasku mengantarkan koran. Mrs. Stephenson tersenyum hangat menemani kepergianku dari depan rumahnya.
“Ini James, ambillah. Ambil juga susu ini, anggap saja sebagai bonus karena kau belajar dengan giat. Oh ya, sampaikan juga salamku untuk ayah dan adikmu ya,” Mrs. Stephenson memberikan buku itu beserta susunya. Kemudian ia membelai rambutku dengan kasih sayang, aku merasa senang sekali. Sebuah perlakuan yang tak pernah aku dapatkan dari ibuku yang sudah meninggal sejak aku masih kecil. Aku tersenyum gembira dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Mrs. Stephenson. Setelah itu, aku pamit untuk melanjutkan tugasku mengantarkan koran. Mrs. Stephenson tersenyum hangat menemani kepergianku dari depan rumahnya.
Aku yakin, setiap orang diciptakan
dengan membawa peluang berhasil dan gagal yang seimbang, yaitu setengah.
Semakin sering kau berusaha dan belajar dari kegagalan, maka peluang
keberhasilanmu akan semakin besar.
SAHABAT LEBIH BAIK DARIPADA SAUDARA JUDES
“Lagi lagi elo Ka, gue udah bilang berapa kali
sih, jangan dateng ke meja belajar gue” omel Laila.
Kenalin gue Laika Natasha, gue punya saudara kembar yang judes dan ngeselin namanya Laila Natalie.
“Ehh enak aja! Aku lagi ambil pensil nih” jawabku dengan nada marah.
Tiba tiba ibuku datang dengan jurus jewernya. “Ada apa sih?! Sini ikut ibu, sebelumnya rasakan ini… udah besar kok tengkar terus” kata ibu sambil mengajak kita ke ruang keluarga. Kami kesakitan karena jurus jewernya.
“Apaan sih bu? Kok Laila kena jewer sih, itu tuh si Laika harusnya” protes Laila.
“Apa?! Aku kan sudah bilang, aku lagi ambil pensil” kataku dengan ketus.
“Sudah! Ibu harus jual salah satu meja belajar kalian” kata ibu.
“Mejanya Laika aja bu” kata Laila.
Ting tong… tiba tiba pembicaraan kami terpotong oleh suara bel. Ternyata dia adalah Raffa, sahabat dekatku sekaligus teman curhatku.
Kenalin gue Laika Natasha, gue punya saudara kembar yang judes dan ngeselin namanya Laila Natalie.
“Ehh enak aja! Aku lagi ambil pensil nih” jawabku dengan nada marah.
Tiba tiba ibuku datang dengan jurus jewernya. “Ada apa sih?! Sini ikut ibu, sebelumnya rasakan ini… udah besar kok tengkar terus” kata ibu sambil mengajak kita ke ruang keluarga. Kami kesakitan karena jurus jewernya.
“Apaan sih bu? Kok Laila kena jewer sih, itu tuh si Laika harusnya” protes Laila.
“Apa?! Aku kan sudah bilang, aku lagi ambil pensil” kataku dengan ketus.
“Sudah! Ibu harus jual salah satu meja belajar kalian” kata ibu.
“Mejanya Laika aja bu” kata Laila.
Ting tong… tiba tiba pembicaraan kami terpotong oleh suara bel. Ternyata dia adalah Raffa, sahabat dekatku sekaligus teman curhatku.
“Tengkar lagi sama Laila?” tanya
Raffa.
“Iyaa… dia judes sih sok pake bahasa gaul segala” kataku sedih.
“Ikut aku yuk, pergi ke taman.. lagi bosen nih” ajak Raffa.
Aku mengangguk. Lalu, aku dan Raffa pergi ke taman.
“Iyaa… dia judes sih sok pake bahasa gaul segala” kataku sedih.
“Ikut aku yuk, pergi ke taman.. lagi bosen nih” ajak Raffa.
Aku mengangguk. Lalu, aku dan Raffa pergi ke taman.
“Aku mau bilang, kalo
sebenernya..” kata Raffa yang tiba tiba terpotong oleh Dinda.
“Tunggu, aku ikut Fa” kata Dinda.
“Ikut apaan sih, Din? Raffa kan lagi di taman” kataku dengan bingung.
“Hei, kamu gak tau kalo Raffa tuh sakit usus buntu! Aku sebagai pacarnya kan sedih juga, aku pingin ikutin dia terus” jelas Dinda.
“Ma.. maaf Ka, aku baru bilang sekarang, aku gak mau kamu sedih.. aku kan sahabatmu” kata Raffa sambil sedih. Aku menitikkan air mata. Aku gak mau kehilangan Raffa karena dia satu satunya sahabat yang setia dan selalu nemenin aku.
“Fa, siapa yang bikin kamu usus buntu? Katakan! Raffa…” kataku sambil terisak. Aku sedih sekali, aku gak mau kehilangan sahabatku. Apalagi Dinda bilang kalo penyakit itu sudah parah dan bisa menyebabkan meninggal.
“Auww.. sa..sakit! Tolong…” kata Raffa. Aku kaget setengah mati.
“Tunggu, aku ikut Fa” kata Dinda.
“Ikut apaan sih, Din? Raffa kan lagi di taman” kataku dengan bingung.
“Hei, kamu gak tau kalo Raffa tuh sakit usus buntu! Aku sebagai pacarnya kan sedih juga, aku pingin ikutin dia terus” jelas Dinda.
“Ma.. maaf Ka, aku baru bilang sekarang, aku gak mau kamu sedih.. aku kan sahabatmu” kata Raffa sambil sedih. Aku menitikkan air mata. Aku gak mau kehilangan Raffa karena dia satu satunya sahabat yang setia dan selalu nemenin aku.
“Fa, siapa yang bikin kamu usus buntu? Katakan! Raffa…” kataku sambil terisak. Aku sedih sekali, aku gak mau kehilangan sahabatku. Apalagi Dinda bilang kalo penyakit itu sudah parah dan bisa menyebabkan meninggal.
“Auww.. sa..sakit! Tolong…” kata Raffa. Aku kaget setengah mati.
Aku dan Dinda lalu membawa Raffa
ke klinik terdekat.
“Raffa! Bertahanlah… kumohon, lawan sakitmu!” teriakku saat Raffa dibawa ke UGD.
“Raffa! Bertahanlah… kumohon, lawan sakitmu!” teriakku saat Raffa dibawa ke UGD.
Ayah dan ibu Raffa sudah datang.
Aku lalu pulang dengan termenung sedih. Sesampai di rumah, ibu mendatangiku.
“Ada masalah ya? Coba cerita sama Ibu” kata Ibuku.
“Raffa dinyatakan operasi usus buntu, aku takut ada apa dengan dia” curhatku pada ibu.
“Hei Ka, biasa aja kale, itu kan kehendak Allah mau dia selamat apa gak” judes Laila muncul lagi.
“Apa? Kamu gak tau rasanya kehilangan sahabat setia seperti Raffa, aku sebel kenapa kamu selalu menggangguku! Pergi sana!” marahku sudah tidak tertahan.
“Sudahlah, ayo kita pergi bersama ke RS untuk menjenguk Raffa” ajak Ibu. Aku tersenyum lagi. Memang punya sahabat judes itu tidak enak apalagi kayak Laila.
“Bukan RS bu tapi Klinik Jogowono” kataku sambil tersenyum, ibu ikut tersenyum. Setelah aku bersiap sambil menunggu ibuku.
“Ada masalah ya? Coba cerita sama Ibu” kata Ibuku.
“Raffa dinyatakan operasi usus buntu, aku takut ada apa dengan dia” curhatku pada ibu.
“Hei Ka, biasa aja kale, itu kan kehendak Allah mau dia selamat apa gak” judes Laila muncul lagi.
“Apa? Kamu gak tau rasanya kehilangan sahabat setia seperti Raffa, aku sebel kenapa kamu selalu menggangguku! Pergi sana!” marahku sudah tidak tertahan.
“Sudahlah, ayo kita pergi bersama ke RS untuk menjenguk Raffa” ajak Ibu. Aku tersenyum lagi. Memang punya sahabat judes itu tidak enak apalagi kayak Laila.
“Bukan RS bu tapi Klinik Jogowono” kataku sambil tersenyum, ibu ikut tersenyum. Setelah aku bersiap sambil menunggu ibuku.
“Ikut gak kamu, La? Dibanding
bosen kayak gini” tanyaku pada Laila.
“Gak mau! Gak usah ngajak-ngajak aku kan bisa minta sendiri untuk ikut” kata Laila dengan nada kesal. Aku mendelik lalu meninggalkan Laila yang sedang membaca buku.
“Ayo Ka, ibu sudah siap nih” kata ibu. Aku pun mengangguk.
“Gak mau! Gak usah ngajak-ngajak aku kan bisa minta sendiri untuk ikut” kata Laila dengan nada kesal. Aku mendelik lalu meninggalkan Laila yang sedang membaca buku.
“Ayo Ka, ibu sudah siap nih” kata ibu. Aku pun mengangguk.
Sesampai di klinik, ibu lalu
menanyakan pada salah seorang suster yang bertugas melayani para tamu. “Maaf,
mau tanya apa ada anak yang bernama Raffa?” tanya ibu.
Lantas suster tersebut menjawab “Raffa? Dia sudah dibawa ke kamar mayat, besok acara penguburannya” kata suster itu. Aku kaget lalu menangis sekeras kerasnya.
Tiba tiba ibu Raffa datang lalu memberi surat kepadaku, isinya :
Lantas suster tersebut menjawab “Raffa? Dia sudah dibawa ke kamar mayat, besok acara penguburannya” kata suster itu. Aku kaget lalu menangis sekeras kerasnya.
Tiba tiba ibu Raffa datang lalu memberi surat kepadaku, isinya :
Laika, kamu jangan sedih, aku
sudah dia alam dan aku akan menjawab pertanyaanmu yang membuat aku usus buntu
adalah Mas Parno, tapi tenang dia sudah dipenjara. Bye Laika.
Aku kaget. Ternyata Mas Parno yang
mencokoki Raffa dengan cabai yang pedas. Aku tahan tangisanku sambil berkata
“tenang Raffa, aku akan mengingatmu”
I AM OKAY
“Kamu lagi, Ando! Sudah berapa kali kamu telat
bulan ini?” Teriak Bu Rahma, suaranya menggema di ruangan kelas itu. Orang yang
diajak bicara hanya menyengir, tanpa merasa bersalah.
“Mungkin sepuluh kali Bu,”
sahutnya kalem. Bu Rahma mendengus sebal. Bisa-bisanya ia mempunyai anak murid
seperti ini.
“Baiklah. Kamu masuk sana. Saya
tidak tau lagi harus memberi hukuman apa ke kamu agar kamu tidak telat lagi.”
Bu Rahma sudah kembali menjelaskan pelajaran, membuat susana di ruangan kecil
itu kembali hening. Setelah Ando mengucapkan terimakasih, ia duduk di kursinya.
Mencoret-coret buku pelajarannya, tanpa memperhatikan penjelasan Bu Rahma.
“Ando, kamu jawab nomor dua.” Ando mengangkat kepalanya saat merasa terpanggil.
Ia melihat berderet angka yang tertulis dengan indah di papan tulis. Bibirnya
tersenyum miring. Angka-angka itu seperti teman sejatinya yang bisa ia
taklukkan dengan mudah.
Beberapa detik saja, beberapa
angka sudah ia temukan. Bu Rahma tersenyum tipis, itu kelebihan Ando dibalik
sifat berandalannya.
“Lo bisa diem gak sih?” Ando memukul meja yang
ada di depannya. Orang-orang yang sedang mengobrol di kantin langsung diam.
Semua pasang mata langsung terarah pada Ando, memperhatikan apa yang terjadi
selanjutnya lagi. Ando bangkit berdiri, melihat sosok laki-laki yang ada di
hadapannya dengan tatapan tajam. Sebuah pukulan mendarat pada pipi laki-laki
itu, membuat luka lebam. Laki-laki bernama Satya itu tersenyum miring, lalu
mendaratkan pukulan lagi di pipi Ando. Mereka saling memukul, sampai ada suara
yang menghentikan mereka.
“Kalian lagi! Pergi ke ruang BK.”
Ando dan Satya yang sudah babak belur mengekor guru yang berjalan ke ruang BK.
Ando menghela napas. Surat tentang
kelakuan dirinya sudah mendarat di tangan papa dan mamanya. Nasib buruk akan
menimpanya. Sebuah pukulan lebih dahsyat akan diterimanya lagi, pasti. Sudah
pasti, dan akan terus begitu.
Wajah papanya yang marah
menyambutnya di ruang tamu. Ando tersenyum kecut. Sudah kebal, begitu baginya.
“Ando! Kamu buat ulah apa lagi hari ini?” Papa Ando melempar surat dari ruang
BK. Wajahnya merah padam, menahan gejolak amarah yang ada di hatinya.
“Hanya mendaratkan sebuah pukulan
yang membuat luka lebam.” Setelah mengucapkan itu, wajah papanya bertambah
marah. Papanya bangkit dari duduknya, dan mendaratkan sebuah tamparan keras di
pipi Ando. Ando menggigit bibir bawahnya keras-keras, berusaha menahan rasa
nyeri yang ada di hatinya. Rasa sakit di hatinya jauh lebih besar daripada di
pipinya.
Mamanya menghampiri papanya.
“Sudahlah, pa. Tak ada gunanya kita menasihati dia, telinganya itu sudah
tersumbat,” ucap mamanya menyindir Ando. Ando terdiam, perkataan itu jauh lebih
menyakitkan daripada tamparan tadi. Rasanya ada seribu jarum yang menusuk-nusuk
hatinya.
Papanya sudah duduk kembali di sofa.
Wajahnya sudah jauh lebih tenang daripada tadi. Ando masuk ke dalam kamarnya,
dan mengunci pintu. Ia meringkuk di balik pintu, memeluk tubuhnya sendiri.
Kenapa? Kenapa ia tidak bisa menerima sebuah kasih sayang? Dulu, sebelum ia
berbuat masalah, saat dirinya mendapat berbagai medali, apa pernah orangtuanya
membanggakan dirinya? Apa pernah segala ucapan selamat ia terima? Jawabannya
tidak pernah. Hanya segala keburukannya yang dilihat oleh papa dan mamanya. Ia
mengangkat kepalanya, melihat ruangan kamarnya dengan pandangan nanar.
Ando merasa ada seseorang yang
menepuk pundaknya. Ia menoleh singkat. Lalu tersenyum samar. “Ada apa, Fin?”
Orang yang diajak bicara tersenyum simpul. “Lo disuruh ke ruang guru, katanya
lo disuruh lomba lagi tuh.” Ando mengangguk, lalu kakinya melangkah ke ruang
guru.
Ando menatap Bu Rahma yang sedang
mengurus berlembar-lembar kertas. Sesekali matanya mengamati ruangan besar
berkipas angin itu. Bu Rahma mengangkat kepalanya, memperhatikan Ando dengan
saksama. “Kamu lomba lagi, mewakili sekolah ini. Besok kamu datang ke sekolah
seperti biasa.” Ando mengangguk singkat setelah Bu Rahma selesai bicara, dan
melangkah keluar.
Lomba lagi, lagi dan lagi. Tapi,
buat apa kalau orangtuanya sendiri pun tidak bangga?
Ando mengendarai motornya dengan
sangat cepat. Napas Ando memburu. Seperti biasa, ia mendapat juara pertama lagi
dalam lomba kali ini. Tapi, sebuah telepon ia terima tadi. Mamanya kecelakaan.
Suatu berita yang sangat buruk bagi Ando. Pikirannya kacau. Ia sangat
menyayangi mamanya, walaupun ia tidak tau, apakah mamanya menyayanginya atau
tidak.
BRAKK!! Motor hitam Ando menabrak
mobil yang ada di depannya. Tubuhnya terguling, menghantam benda-benda di
sekitarnya. Darah berucuran dari kepalanya. Penglihatannya menjadi gelap.
Mungkin, meninggal jauh lebih baik, daripada terus merasakan sakit di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar